Jakarta, Akuratnews.com – Usia Muhammadiyah kini telah memasuki abad ke-2. Eksistensi Muhammadiyah selama satu abad lebih dalam upaya membumikan pandangan keislaman moderat kini mendapatkan tantangan yang tidak mudah dari berbagai ideologi “asing” yang bercorak transnasional.
Menguatnya intoleransi, sektarianisme, radikalisme dan ekstremisme yang dihembuskan kelompok transnasional di ruang publik menjadi penanda akan tantangan-tantangan yang secara nyata dihadapi oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil moderat seperti Muhammadiyah.
Arus gelombang ideologi transnasional yang membawa wabah radikalisme, intoleransi, dan ekstremisme kian menguat dan mendapatkan momentumnya ketika keran
reformasi dibuka secara lebar.
“Tapi anehnya ideologi radikal tersebut semakin mendapat tempat di kalangan publik kita”, ungkap Muhammad Abdullah Darraz, Direktur Eksekutif MAARIF Institute dalam sambutannya pada acara Peluncuran dan Diskusi Jurnal MAARIF di Auditorium Uhamka, Rabu, (28/02/18).
“Muhammadiyah sepatutnya memiliki daya tahan dan daya tangkal terhadap berbagai pengaruh gerakan radikal yang berkembang dewasa ini, sehingga penetrasi ideologi radikal yang memecah belah umat dan intoleran terhadap realitas perbedaan dapat dicegah dan dibendung” lanjut Darraz,
Seringkali Muhammadiyah dicitrakan identik dengan ideologi Wahabisme yang memiliki corak radikal. Padahal ada banyak perbedaan yang mencuat antara Muhammadiyah dan wahabi dalam berbagai aspek, dengan tanpa menafikan titik-temu dan titik kesamaan diantara keduanya.
Misalnya dalam hal purifikasi keagamaan, maka antara Muhammadiyah dan Wahhabi memiliki titik singgung. Namun dalam banyak hal Muhammadiyah memiliki banyak perbedaan dengan Wahhabi, dimana didalam Muhammadiyah keterbukaan (inklusifitas) dan penghargaan terhadap pluralitas masih menjadi nilai-nilai yang digenggam.
Namun ketika publik melihat menguatnya gejala radikalisme di Indonesia yang dikaitan dengan paham Wahabisme, maka serta merta pula publik memperhatikan Muhammadiyah.
Karena gerakan pemurniannya aqidah juga menginspirasi Muhammadiyah. Anggapan ini kemudian berangsur menunjukkan bahwa anggapan itu keliru, bahkan saat ini terorisme didentikan dilakukan oleh Kalangan Khawariij.
Dar al-Ahdi wa al-Syahadah merupakan penegasan Muhammadiyah, bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang dibangun di atas konsensus kebangsaan, dan Pancasila sebagai dasar ideologi Negara yang final.
Prof Dr H. Suyatno, M.Pd, Rektor Universitas Muhammadiyah Prof Dr. HAMKA yang juga Bendahara Umum PP Muhammadiyah dalam sambutannya mengatakan, Muhammadiyah adalah salah satu pondasi, perumus dan penjaga NKRI tidak ada keraguan di dalamnya.
“Ini tercermin dalam gagasan Dar al-Ahdi wa al-Syahadah saat Mukhtamar Muhammadiyah ke 47 tahun 2015 lalu” ujarnya.
Senada dengan itu, Darraz menyatakan, posisi Muhammadiyah sebagai organisasi moderat bisa banyak berperan untuk menetralisir ancaman paham radikal-terorisme di Indonesia.
Meski demikian, di kalangan Muhammadiyah sendiri perlu adanya internalisasi lebih dalam ideologi Islam Moderat Berkemajuan di kalangan akar rumput. Dalam situasi sosial politik saat ini, masyarakat rentan terpapar paham radikalisme dan terorisme.
“Sebagai organisasi Islam modemis terbesar, peran Muhammadiyah sangat strategis dalam membendung paham ini. Pada level elit-elit Muhammadiyah, radikalisme dan terorisme direspon dengan beragam sikap dan pandangannya. Jurnal edisi kali ini memuat semua itu” ujar salah satu narasumber yang juga peneliti senior MAARIF Institute, Dr Zuly Qodir, MA.
(Jewe)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!