Tahun 2017, Presiden Joko Wi dodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
Disusul pada 7 Juni 2018, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menandatangani Per mendikbud RI Nomor 20 Ta hun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter dalam Satuan Pendidikan Formal. Dua aturan ini merupakan im plementasi dari Nawacita atau agenda prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo Nomor 8, yakni tentang penguatan revolusi karak terbangsa melalui budi pekerti dan pendidikan karakter peserta didik sebagai bagian dari revolusi mental.
Ada lima nilai dasar dalam aturan tersebut yakni: religiositas, nasionalis me, mandiri, gotong royong, dan integritas. Lahirnya per aturan ini merupakan respons atas pentingnya penguatan pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai dasar bagi anak didik dan masyarakat pada umumnya untuk membentengi ideologi dan identitas bangsa Indonesia dari ancaman intoleransi dan radikalisme prokekerasan.
Rentannya Sekolah
Ancaman atas ideologi dan identitas kebangsaan adalah nyata. Sejak sepuluh tahun terakhir, muncul gejala sekolahsekolah menengah atas negeri menjadi pusat penyemaian intoleransi, eksklusivitas, anti- Pancasila, antikebinekaan, bahkan kekerasan dalam ber ba gai bentuknya (Farha Ciciek : 2008; MAARIF Institute: 2011).
Penelitian Setara Insti tute pada 2015 cukup men cengangkan. Pasalnya, 7,6% pelajar di DKI Jakarta dan Bandung setuju dengan ideologi dan sepak terjang ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah). Riset ini juga mengungkap bahwa 8,5% dari 684 responden pelajar, setuju untuk mengganti dasar negara Pancasila dengan agama ter tentu.
Pada 2016, Setara Ins titute menggelar survei toleransi pelajar Indonesia dengan melibatkan 760 responden pelajar SMA negeri di Jakarta dan Bandung, Jawa Barat. Sur vei ini menyimpulkan bahwa 35,7% siswa memiliki paham dan pemikiran intole ran, 2,4% menunjukkan sikap intoleran dalam tindakan dan perkataan, serta 0,3% ber potensi menjadi teroris.
Tren ini semakin mengkhawatirkan ketika pada 2017 lalu, survei Wahid Foundation bersama Kementerian Agama RI yang melibatkan tak kurang dari 1.626 pelajar menemukan bahwa 58% responden setuju berdirinya negara Islam di Indo nesia dan 60% pelajar bersedia berjihad kewilayah konflik seperti Poso dan Suriah.
Temuan lain survei ini menyebut bahwa 10% res pon den pelajar mendukung serangan bom Thamrin, dan 6% men dukung ISIS. Pada tahun yang sama (2017), penelitian Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mendapati 58,8% respon den setuju ideologi radikalisme kekerasan dan 51,1% intoleran terhadap kelompok yang ber beda agama.
Penelitian ini me li batkan 1.522 siswa SMA atau sederajat dan 337 mahasiswa. Sementara itu, survei teranyar dari lembaga yang sama pada Oktober 2018 meng ungkap bahwa 50,87% guru memiliki opini intoleransi dan 40,41% memiliki opini radi kal. Dalam beberapa riset kualitatif, membenarkan data-data kuantitatif di atas.
Setidaknya ada tiga pintu yang menyebabkan proses penetrasi paham intoleran dan radikalisme pro kekerasan di sekolah.
Pertama, indoktrinasi yang dilakukan oleh guru mata pelajaran ketika proses bela jar-mengajar (Farha Ciciek: 2008; MAARIF Insti tute: 2011).
Kedua, infil trasi pandangan keagamaan melalui kegiatan ekstra kurikuler (Farha Ciciek: 2008; MAARIF Insti tute: 2011, 2017).
Ketiga, lemahnya artikulasi dan implementasi regulasi tentang kegiatan ekstrakurikuler yang menguatkan kebinekaan (MAARIF Institute : 2017).
Peran Strategis dan Tantangannya
Di tengah ancaman nyata penetrasi paham intoleransi dan radikalisme prokekerasan tersebut, sangat penting melihat kembali mekanisme orga nisasi sekolah di Indonesia. Setidaknya, sekolah memiliki perangkat pengawasan yang melekat yakni auditor dan peng awas sekolah.
Auditor dan pengawas sekolah memiliki peran strategis dalam upaya mencegah penyebaran gagasan into leransi dan radikalisme prokekerasan di lingkungan seko lah. Peran strategis auditor mengacu pada Permen dikbud Nomor 55 Tahun 2015 yang menjelaskan bahwa auditor juga bertugas untuk melakukan pembinaan teknis pengawasan .
Pengawasan internal berjenjang ini sangat penting guna pencegahan intoleransi dan radikalisme di kalangan guru dan tenaga kependidikan. Sementara di tingkat peng awas sekolah, berdasarkan Permendikbud Nomor 6 Tahun 2018 dijelaskan bahwa tugas pengawas sekolah adalah mendampingi kepala sekolah.
Pendampingan ini terdiri atas supervisi akademik dan supervisi manajerial, termasuk evaluasi dan penilaian sekolah. Pengawasan akademik dan manajerial diandaikan termasuk di dalamnya adalah mengawasi mekanisme belajar-mengajar di sekolah termasuk aktivitas siswa dan kebijakan manajerial di sekolah.
Jika menilik pada tugas di atas, pengawas sekolah memainkan peran yang sangat strategis dalam upaya pencegahan penetrasi kelompok intoleran dan radikalisme prokekerasan di sekolah. Akan tetapi, penting juga untuk mengamati proses dan praktik pengawasan yang selama ini sudah berjalan, termasuk masalahmasalah yang dihadapi dalam praktik pengawasan tersebut.
Penelitian terbaru MAARIF Ins titute pada 2018 menemu kan bahwa setidaknya ada empat masalah utama; Pertama, rasio jumlah auditor dan pengawas yang tidak sebanding dengan jum lah sekolah yang mesti diawasi, termasuk di dalamnya adalah masalah jarak geo grafis dengan sekolah yang di awasi.
Kedua, terbatasnya pengetahuan tentang intoleransi dan radikalisme prokekerasan. Masalah ini akan berdampak pada sikap dan perilaku atas isu intoleransi dan radikalisme. Lebih dari itu, pengawasan terhadap paham dan gerakan intoleransi dan radikalisme di sekolah belum menjadi perhatian utama aktor pendidikan.
Ketiga, pemahaman peng awas an sekolah hanya bersifat audit keuangan, dan belum mak simal pada praktik audit kinerja se bagai bagian dari pengawasan akademik dan manajerial.
Keempat, belum adanya perangkat praktis yang membantu memudahkan kerja-kerja pengawasan, khususnya untuk mencegah masuknya paham dan gerakan intoleransi dan radikalisme di se kolah.
Penguatan Kapasitas
Mencermati hal itu, pen ting untuk mengarus utamakan upaya penguatan kapasi tas auditor dan pengawas se kolah. Penguatan kapasitas ini seti daknya ada dalam dua hal;
Pertama, penguatan kapasitas pengetahuan tentang ancam an intoleransi dan radikalisme disekolah. Melalui itu, auditor dan pengawas akan memiliki bekal pengetahuan yang memadai untuk mengenali gejala-gejala intoleransi dan radikalis medi sekolah.
Kedua, penguatan keterampilan peng awasan yang tidak hanya bersifat audit keuangan, tetapi juga lebih pada audit kinerja, supervisi aka demik, dan supervisi mana jerial sekolah, sehingga sekolah memiliki ketahanan dalam membentengi sekolah dari ancaman intoleransi dan radikalisme.
Keteram pil an pengawasan ini akan lebih baik jika didukung dengan pe rangkat tek nis pengawasan, termasuk di antaranya panduan penanganan kasus-kasus yang ber kaitan dengan intoleransi dan radikalisme di sekolah dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk orang tua dan masyarakat. Ikhtiar inilah yang kini tengah dihelat oleh MAARIF Institute dan Inspektorat Jen deral Kemendikbud RI, khususnya Inspektorat III.
Sejak 2011, MAARIF Institute bersama Kemendikbud banyak bekerja sama untuk penguatan di level siswa, guru, dan kepala sekolah. Penguatan kapasitas auditor dan pengawas sekolah adalah sa lah satu upaya penting dan strategis untuk penguatan pendidikan karakter sebagai mana digerakkan oleh Presiden Joko Widodo. Karakter religio sitas, nasionalisme, mandiri, gotong royong, dan integritas adalah identitas bangsa Indo nesia yang mesti diperkuat dalam bingkai kebinekaan dan persatuan.
KHELMY K PRIBADI
Direktur Program MAARIF Institute, Alumnus Pascasarjana Sosiologi UI
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!