JAKARTA – Paham-paham radikal yang bertentangan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang cinta damai ditengarai telah merasuk ke berbagai aspek kehidupan. Untuk mencegah kemungkinan terburuk yang bisa melanda bangsa Indonesia, seluruh komponen masyarakat harus bahu membahu untuk menangkal radikalisme. Salah satu cara yang mendesak untuk dilakukan adalah melalui banku pendidikan.
“Lembaga pendidikan termasuk wilayah yang rawan dimasuki paham-paham radikal,” demikian papar Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Abd Rohim Ghazali, dalam acara ‘Program Penguatan Kapasitas Auditor dan Pengawas Sekolah’ yang dilaksanakan Maarif Institute bekerjasama dengan Inspektorat III Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 25-27 Juni 2019 di Hotel Golden Palace, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Menurut Rohim, berdasarkan riset yang pernah dilakukan Maarif Institute terhadap beberapa sekolah di Indonesia seperti di Padang, Surakarta, Sukabumi, Denpasar, Cirebon, dan Tomohon, ada tiga aspek yang menjadi pintu masuk paham radikal ke sekolah. Pertama, melalui pintu alumni. Para alumni yang sudah malang melintang di luar, bisa mempengaruhi adik-adik kelasnya, terlebih pada saat reuni di sekolah, mereka bisa membawa dan menularkan paham yang aneh-aneh ke sekolah.
Kedua, melalui pintu guru. Guru kerap melakukan indoktrinasi bagi murid-muridnya baik di dalam maupun di luar kelas. Paham-paham transnasional yang intioleran dan radikal yang entah berasal dari mana, bisa masuk ke ruang kelas karena peran guru. Maka pengawasan terhadap guru-guru sangat penting untuk menangkal radikalisme.
Dan, yang ketiga, yang paling pokok, adalah melalui kebijakan kepala sekolah. Dalam setiap sekolah, peran kepala sekolah sangat penting. Jika kepala sekolahnya memiliki sikap yang intoleran, maka kebijakan-kebijakannya pun cenderung intoleran.
Kebijakan kepala sekolah bisa menjadi pisau bermata dua. Jika kepala sekolahnya memiliki wawasan pluralisme yang baik maka akan lahir kebijakan-kebijakan yang baik juga. Tapi jika kepala sekolahnya intoleran, sangat mungkin kebijakan-kebijakannya mengarah pada tumbuh kembangnya radikalisme di sekolah.
Selain ketiga hal itu, tambah Rohim, yang perlu diwaspadai juga keberadaan OSIS. Organisasi intra sekolah sangat baik untuk menambah wawasan dan pendidikan informal bagi para siswa. Tapi, jika ada kegiatan diskusi atau pengajian, biasanya mengundang nara sumber dari luar. Karena sudah popular di media sosial, diundang menjadi penceramah dalam acara-acara resmi OSIS. Melalui para penceramah inilah, kadang-kadang paham-paham radikal juga masuk ke sekolah. “Oleh karena itu, guru-guru harus ikut mengawasi, atau paling tidak harus menyaring nara sumber yang akan mengisi kegiatan OSIS,” tandas Rohim
Peran Kearifan Lokal
Dalam pelatihan yang diikuti para pengawas dan para wakil kepala sekolah bidang kesiswaan dari Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Utara, Selain Rohim, tampil sebagai pembicara Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Mataram, Prof. Dr. Suprapto. Dari penilitian yang dilakukannya tentang Promosi Toleransi dan Multikulturalisme di Sekolah dalam Kasus di Kota Mataram, ditemukan bebarapa aspek penting yang mampu menjaga daya tahan masyarakat terhadap kemungkinan masuknya paham-paham radikal, di antaranya yang paling berpengaruh adalah kearifan lokal.
Menurut Suprapto, Mataram merupakan kota yang multientis, terdiri dari beberapa suku seperti Sasak, Bali, Mbojo, Samawa, Jawa, Arab, Melayu, dan Cina. Agamanya juga sangat beragam, ada Islam, Hindu, Kristen, Budha, dan Kong Hu Cu. Di samping itu, warga Mataram juga memiliki banyak ragam budaya dan bahasa.
Karena keragaman ini, kadang terjadi konflik yang disebabkan karena kesalahpahaman atau karena faktor lain. Tapi, sejatinya, sejak dahulu, warga Mataram memiliki beberapa kearifan lokal yang berfungsi untuk mengikis kesalahpahaman atau hal-hal lain yang bisa memilcu disharmoni.
“Di antara kearifan lokal yang sangat baik untuk menangkal konflik, atau menangkal paham-paham yang bisa memecah belah adalah Saling Ayoin, Saling Pelangarin, Saling Pesilak, Saling Jot, dan Saling Tolong,” papar Suprapto.
Saling Ayoin adalah budaya saling mengunjungi satu sama lain antar warga tanpa memandang perbedaan agama atau suku. Saling Palangarin adalah budaya saling melayat jika ada ada anggota keluarga yang meninggal. Saling Pesilak adalah budaya saling mengundang jika hendak menyelenggarakan hajat seperti pernikahan, sunatan, dan lain-lain. Adapaun Saling Jot adalah budaya saling mengantarkan makanan pada hari-hari besar agama tertentu. Dan Saling Tolong adalah budaya tolong menolong, biasanya dalam membajak sawah atau lading bagi para petani.
Sumber: https://indopolitika.com/ksp-ajak-tangkal-radikalisme-dari-bangku-sekolah/
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!