Pasca wafatnya Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bisa dikatakan Ahmad Syafii Maarif atau yang biasa dipanggil Buya Syafii adalah satu dari segelintir tokoh yang mampu mewarnai diskursus terkait kebangsaan dan keindonesiaan. Ditengah hiruk-pikuk bangsa ini, Ia mampu menjadi oase dan suluh bagi umat.

Buya Syafii terus gelisah dan tak pernah lelah memikirkan permasalahan yang menimpa bangsanya. Peran beliau untuk bangsa ini tak diragukan lagi. Berbagai kritik, pesan, nasehat dan pemikiran terus diberikan dan di dedikasikan untuk tanah air ini. Pemikiran-pemikiran beliau merupakan sumbangsih tanpa pamrih.

Martin van Bruinessen menyebut Buya Syafii sebagai “Indonesia’s last remaining public wise old man” dan “a unique paragon of moral leadership”. Perpaduan sinergi antara tingkat intelektual dengan integritas moral menyebabkannya berbeda dari tokoh-tokoh lain.

Buya Syafii merupakan salah satu “Tiga Pendekar dari Chicago” bersama Amien Rais dan Nurcholis Madjid. Pria yang lahir dari salah satu daerah pedalaman Indonesia, tepatnya di Desa Calau, Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatera Barat pada 31 Mei 1935. Sekarang menjelma sebagai sosok yang multikulturalis, pluralis, nasionalis dan juga ikon lintas agama.

Bermula dari Fundamentalis Tulen

Buya Syafii yang kita kenal sekarang tidak datang dari ruang hampa, yang tiba-tiba menjelma sebagai tokoh bangsa. Melainkan, datang melalui proses yang panjang, berliku dan banyak aral melintang. Dari yang mulanya seorang tokoh Muhammadiyah fundamentalis-puritan berubah drastis menjadi tokoh yang multikulturalis, pluralis, nasionalis sehingga menghantarkannya menjadi ikon lintas agama dan guru bangsa.

Perubahan paradigma tersebut terjadi saat beliau belajar langsung dengan tokoh neo-modernis asal Pakistan, Fazlur Rahman, di Universitas Chicago. Sebelum bertemu dan belajar langsung dengan Fazlur Rahman, Buya Syafii pernah menjadi seorang pendukung nalar ide negara Islam atau “syari’ah centris” agar bisa diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Syafii muda beranggapan bahwa kekacauan dan keburukan yang terjadi di Indonesia selama ini disebabkan semata-mata karena bangsa ini tidak menerepkan sistem syariah. Ketika itu beliau sangat getol dan terus berjuang untuk memformalisasikan Islam. Ia meyakini dengan berdirinya negara Islam, maka semua hal akan menjadi beres.

Cara pandang tersebut tak lepas dari pengaruh Abul Ala Al-Maududi, seorang tokoh neo revivalis dari Pakistan dan konsep M. Natsir, yang Islamis. Buya adalah pendukung kuat gagasan negara Islam Indonesia pada periode tahun 1950-1970. Pemikiran tokoh-tokoh Masyumi plus Maududi adalah rujukan utamanya.

Mengalami Status Quo

Menjelang usia Buya Syafii hampir setengah abad yakni, 40 tahun beliau tetap memegang prinsip dan yakin akan merek serba Islam tersebut. Hatta, beliau mengalami status quo dalam pemikirannya, sebagaimana diterangkan dalam autobiografinya:

“Selama periode Athens (1976-1978) dari segi pemikiran Keislamanku, belum ada perkembangan yang berarti. Aku masih terpasung dalam status quo pemikiran. Masih berkutat pada Maududi, Maryam Jameela, tokoh-tokoh Ikhwan, Masyumi dan gagasan tentang negara Islam”.

“Iqbal, pemikir dan penyair Besar Pakistan itu memang telah kuikuti, tetapi ruh ijtihadnya belum singgah secara mantap di otakku yang masih bercorak aktivis, belum reflektif, dan kontemplatif. Apalagi aku aktif di MSA (Muslim Student’Association) yang masih sangat merindukan tegaknya sebuah Negara Islam di suatu negeri. Seakan-akan dengan merek serba Islam itu semuanya akan menjadi beres”.

Paradigma tersebut berubah, ketika beliau bertemu dan belajar langsung dengan Fazlur Rahman saat nyantri melanjutkan pendidikan Strata-tiganya (S3) di kampus Chicago Amerika Serikat. Sebagaimana pernyataannya “pergumulanku dengan kuliah-kuliah Rahman selama empat tahun telah memengaruhi sikap hidupku dengan sangat mendasar sekalipun ilmuku tidak sampai seperempat ilmunya.”

Menjadi Kosmopolit

Perjalanan dan pengalaman yang menimpa Buya Syafii telah membawanya pada pemahaman yang lebih luas dan substantif. Dari lorong pemikiran yang sempit menuju lorong yang kosmopolit. Tentunya apa yang terjadi pada beliau tak datang begitu saja, melainkan melalui proses demi proses secara gradual.

Perpindahan dan perubahan paradigma tersebut, diterangkan oleh pakar psikologi ternama Amerika Serikat, William James dengan istilah konversi. Dalam buku klasiknya yang berjudul The Varieties of Religious Experience (1985), ia mendefinisikan konversi sebagai sebuah proses dimana “religious ideas, previously peripheral in his consciousness, now take a central place, and that religious aims form the habitual centre of his energy”.

Artinya, konversi itu terjadi jika suatu pandangan keagamaan yang dulunya hanya dianggap pinggiran dan tak penting atau bahkan menyimpang oleh seseorang. Namun kemudian ia berubah menjadi meyakini bahwa yang pinggiran itu menjadi sentral atau sangat penting. Maka orang itu telah mengalami apa yang disebut dengan konversi.

Merujuk pada makna konversi di atas, apa yang terjadi pada Buya Syafii merupakan suatu contoh dari konversi tersebut. Konversi yang dialami oleh beliau ialah, bermula dari tokoh Muhammadiyah fundamentalis-puritan menjadi tokoh yang humanis, pluralis dan kosmopolit.

Hal tersebut terjadi ketika beliau bertemu dan belajar langsung dengan Fazlur Rahman di Universitas Chicago. Di kampus Chicago di bawah perkuliahan Fazlur Rahman, Buya mengalami pencucian otak dari pendukung formalisasi Islam menuju Islam yang substantif. “Terlalu lama otakku berdansa di panggung paham keislaman yang kurang mencerahkan”, jelasnya.

Sang Intelektual Organik

Dari kisah perjalanannya, kita bisa melihat kepribadian Buya Syafii yang terus gelisah, kepo dan selalu mencari pelepas dahaga atas kegelisahan dan keingintahuannya. Dengan segala pengorbanan, akhirnya beliau bertemu dengan Fazlur Rahman di kampus Chicago yang bisa melepaskan dahaga tersebut.

Di usia senjanya, lantas tak membuat Buya Syafii hanya berdiam diri dan bersantai dalam menikmati hari tuanya. Justru, beliau terus gelisah akan kondisi yang menimpa bangsa dan tanah air yang dicintainya ini. Jiwanya yang selalu gundah dan gelisah atas pelbagai persoalan yang ada dan ingin terlibat langsung, membuatnya dekat dengan konsep “Intelektual Organik” Antonio Gramsci.

Manifestasi pemikiran beliau dapat dilihat dari karya-karyanya serta menginisiasi berdirinya beberapa komunitas intelektual progresif seperti; Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), hingga Maarif Institute for Humanity and Culture.

Hingga saat ini pun, beliau masih menyempatkan diri untuk hadir dalam berbagai seminar, agenda kemanusiaan dan kerja-kerja intelektual lainnya. Beliau juga selalu menumpah ruahkan buah pikirannya dalam resonansi di Republika serta berbagai media lainnya.

Penulis: Nirwansyah

Sumber: kalimahsawa.id/Maret 10, 2020

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

18 − sixteen =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.