Pendahuluan

Persaudaraan sejati hanya mungkin diwujudkan manakala kita percaya kepada konsep kesatuan umat manusia dan kepada prinsip keadilan universal. Tanpa kedua dasar itu, harapan yang serba ideal itu akan menjadi sia-sia. Dalam al-Qur’an terbaca ayat ini yang artinya:

“Adalah manusia itu umat yang tunggal. Lalu Allah membangkitkan para nabi dengan membawa berita gembira dan kabar ancaman. Dan Dia turunkan bersama mereka akan kitab (wahyu) dengan kebenaran untuk memberi keputusan di antara manusia tentang hal-hal yang mereka perselisihkan padanya. Dan tidaklah berselisih tentang kitab (wahyu) itu kecuali orang-orang yang telah diberikan ia kepada mereka, sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan lantaran ada kedengkian di antara mereka. Maka Allah memberikan petunjuk kepada orangorang yang beriman tentang hal yang diperselisihkan oleh orang-orang itu dengan kebenaran atas izinNya. Dan Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus.”

Tentang keadilan universal, al-Qur’an a.l. menyatakan: “…dan apabila kamumenegakkan hukum atas manusia, supaya kamu tegakkan dengan adil.” Manusia di sini bersifat umum, tidak peduli apa pun bangsa, agama, atau kelasnya. Al-Qur’an dengan sangat tegas mengatakan bahwa umat manusia itu tunggal adanya. Belakangan barulah Mahatma Gandhi juga mengatakan demikian bahwa: “All humanity is one undivided and indivisible family, and each one of us is responsible for the misdeeds of the others.”

Selanjutnya mari kita telusuri masalah krusial ini yang menyangkut masa depan persaudaraan sejati umat beriman sejagat, dengan membandingkan beberapa pendapat para ahli yang relevan, Muslim dan non-Muslim.

Teks suci dan penafsiran revolusioner

Indonesia beruntung karena dari rahimnya telah lahir seorang mufasir Hamka dengan pemikirannya tentang al-Qur’an yang sangat berani, tetapi ditegakkan atas landasan teks suci. Berdasarkan pemahamannya atas ayat yang artinya: “Dan tidak ada satu umat/komunitas pun, kecuali telah [hidup] dan berlalu padanya seorang pemberi peringatan (nadzîr),”

Hamka memberikan penafsiran berani dan revolusioner tentang ayat ini, sesuatu yang sulit kita jumpai pada kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang lain. Bagi Hamka, tidaklah jauh dari kemungkinan nama-nama besar dalam sejarah peradaban semisal Lao-tse, Konghucu, Buda Gautama, Zarathustra, dan pengarang pertama Upanisad “adalah Nabi-nabi Allah belaka yang diutus kepada umat mereka. Dan mungkin juga Socrates di Yunani seorang Nabi.”

Nama-nama besar ini menurut sejarah bukanlah berasal dari Kantor Spiritual nabi Ibrahim, seperti halnya nabi Musa, nabi ‘Isa, dan nabi Muhammad, masing-masing membawa Judaisme, Kristen, dan Islam, tiga agama serumpun yang sering juga tidak akur. Di sinilah keberanian Hamka dihadapkan kepada ujian sejarah, tetapi sebagai manusia yang berfikir bebas, pandangannya itu telah menjadi milik publik. Untuk merajut persaudaraan sejati di antara manusia, apalagi persaudaraan lintas iman, penafsir ayat-ayat Kitab Suci seperti Hamka, sangatlah diperlukan. Hamka bukan mengada-ada, ayat dalam surat Fâthir yang aslinya berbunyi:

“Wa in min ummatin illâ khalâ fîhâ nadzîr” memberikan landasan teologis yang kuat, sebab tidak mungkin Tuhan membiarkan umat manusia mengembara dalam mengembangkan dan memajukan unit peradabannya masing-masing tanpa petunjuk dari Langit untuk kepentingan bumi. Hamka menulis: “Maka dengan petunjuk Allah dapatlah orang-orang yang beriman itu, orang-orang yang percaya itu, mengatasi segala perselisihan dan langsung menuju kepada hakikat yang asli, yaitu bahwa ummat manusia adalah ummat yang satu.”

Menurut Muhammad Asad, ungkapan nadzîr bagi setiap peradaban adalah “para nabi yang telah berlalu dimaknai untuk menekankan sisi kemanusiaan yang penyayang dan kepastian kematian masing-masing dan semua mereka.” A. Hassan dalam al-Furqan, menafsirkan perkataan nadzîr tidak banyak berbeda dengan apa yang dikatakan Hamka atau Asad, seperti kutipan ini: “…bahwa tiap-tiap umat yang besar telah dikirim kepadanya seorang nabi, rasul atau pengancam.”

Keberanian Hamka karena telah memasukkan tokoh-tokoh sejarah di atas sebagai nadzîr atau nabi yang sengaja diutus untuk komunitasnya masing-masing. Al-Shâbûnî bahkan mengatakan bahwa nadzîr itu bagi tiap-tiap umat terdahulu tidak lain dari pada seorang rasul, tidak hanya sebagai seorang nabi.

Tanpa keberanian yang tulus dan cerdas dalam menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Kitab Suci yang menyangkut bangunan persaudaraan semesta, akan menjadi mustahil untuk mengakui konsep tentang ketunggalan umat manusia. Masalah yang dihadapi oleh umumnya umat Islam adalah antara ketentuan teks suci dan perilaku sering pecah kongsi. Mungkin umat lain juga mengalami hal yang serupa. Itulah sebabnya setiap umat memerlukan para penafsir yang berani tanpa mencederai kehendak teks.

Dalam menafsirkan ujung ayat al-Baqarah: 213 di atas: “Dan Allah memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus,” Hamka mengulangi lagi penegasannya: “Oleh karena janji Tuhan bahwa Dia akan memberikan petunjuk kepada barangsiapa yang Dia kehendaki, selalulah umat beriman berdoa dalam shalatnya yang sekurang-kurangnya lima waktu sehari semalam, supaya dia diberi petunjuk itu. Dan orang yang lain pun, meskipun mereka dalam lingkungan Yahudi atau Nasrani, Budha atau pun Hindu, KongHu Chu atau Lao Tse, mudah saja bagi Allah memberi petunjuk, kalau Allah menghendaki. Sebab Kitab kebenaran masih terbuka terus untuk dibaca oleh semua orang.”

Itu adalah sebuah pandangan teologis yang jernih dari seorang Hamka yang amat diperlukan untuk mengembangkan kultur toleransi dalam menyikapi fakta tentang pluralisme agama di muka bumi. Adalah “penyakit” sebagian pemeluk agama yang sempit hati yang sukar baginya menerima ‘sikap bersaudara dalam perbedaan,’ sesuatu yang mutlak diperlukan untuk dapat hidup aman dan damai di atas planet bumi yang satu ini.

Keamanan dan perdamaian pasti terancam, dan memang sudah terancam, pada saat orang menunjukkan sikap ‘monopoli kebenaran.’ Di mana nama Allah banyak disebut? Menurut al-Qur’an tidak hanya di masjid, tetapi juga di tempat-tempat ibadat pemeluk agama selain Islam. Ikuti kutipan berikut ini yang artinya: “Dan sekiranya Allah tidak menolak [keganasan] sebagian manusia atas sebagian yang lain, tentulah telah dihancurkan biara-biara umat Kristen (shawâmi’), gereja-gereja (biya’un), rumah-rumah ibadat orang Yahudi (shalawât), dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong [agama]-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa lagi Maha Perkasa.”

Ayat itu dengan bahasa terang benderang melarang siapa pun untuk merusak, menghancurkan, tempat-tempat ibadat, milik siapa pun. Tetapi, mengapa yang kadang-kadang berlaku adalah pengrusakan tempat-tempat suci itu dengan cara-cara yang biadab? Jawabnya sederhana: karena para pengrusak itu merasa benar di jalan yang sesat. Titik!

Peradaban Arab di tikungan sejarah

Karena Islam lahir di Arabia puluhan abad yang lalu, saya ingin mengaitkan uraian ini dengan situasi peradaban Arab-Islam yang sedang jatuh di belahan bumi sana. Alasan pengaitan itu karena banyak masalah kericuhan keagamaan di Indonesia sampai batas tertentu dipengaruhi oleh situasi di Dunia Arab yang terlepas dari bimbingan al-Qur’an. Terpasung oleh kebesaran sejarah masa lampaunya yang telah sirna dan masa kininya yang berantakan, Dunia Arab memang sedang berada pada tikungan jalan yang sangat kritikal dan sarat ironi.

Dari situasi labil yang semacam ini akan sangat sulit kita berharap akan membumi konsep al-Qur’an bahwa umat manusia itu tunggal yang pada ujungnya akan melahirkan bangunan persaudaraan sejati. Memang ada beberapa pemikir Arab kontemporer yang brilian, tetapi mereka tidak betah tinggal di kampung halamannya yang menindas kebebasan berfikir.

Sebuah peradaban yang unggul hanyalah mungkin bersemi dan berkembang dalam iklim kebebasan yang kreatif. Penguasa Arab dengan menyalahgunakan ajaran agama telah membunuh hak kebebasan ini selama ratusan tahun di bawah sistem politik dinastik-despotik yang anti keadilan dan anti kebersamaan. Perang saudara yang masih berkecamuk pada beberapa negara Arab sejak empat tahun yang lalu adalah bukti kontemporer tentang ironi sejarah ini.

Persamaan kultur dan persamaan agama ternyata tidak merupakan jaminan untuk dapat hidup dalam iklim persaudaraan dan perdamaian, kecuali jika pendukung kultur dan pemeluk agama yang sama itu punya tingkat kedewasaan spiritual dan intelektual yang prima.

Bangsa Arab adalah bagian dari umat manusia yang sedang mengalami kejatuhan dan kegaduhan peradaban yang parah, sekalipun semuanya ini tidak datang secara tiba-tiba. Sebelumnya telah berlaku proses pembusukan kultur dalam rentangan waktu yang lama, tetapi tidak segera disadari. Pihak Barat yang rakus hanyalah memanfaatkan peradaban yang tengah jatuh ini untuk kepentingannya sendiri, tanpa disertai pertimbangan moral kemanusiaan sama sekali.

Dunia modern yang kehilangan jangkar transsendental (transcendental anchor), untuk mengutip Vaclav Havel, tidaklah mungkin menyelamatkan human species dari gempuran hara-kiri peradaban yang serba benda. Sebagai bagian dari kemanusiaan sejagat, Dunia Arab seharusnya tidak boleh berlama-lama berada dalam kultur kumuh yang mematikan itu. Mereka harus bangkit dengan semangat baru dan pemahaman agama yang lebih segar, berani, toleran, dan berorientasi ke depan, sebagaimana yang telah dilakukan Hamka di Indonesia.

Fanatisme buta yang melingkungi mereka harus cepat ditinggalkan dan ditanggalkan. Di kalangan anak muda mereka yang terdidik, keinsafan akan kesalahan generasi tua sebenarnya telah muncul, tetapi waktu masih diperlukan sampai mereka punya peluang untuk tampil memimpin peradaban baru itu. Di tangan anak muda ini, kemanusiaan Arab akan dapat dipulihkan kembali dari kejatuhan yang sangat hina dan menyakitkan ini.

Sekali mimpi itu menjadi kenyataan, maka kita akan dapat menyertai optimisme Mahatma Gandhi tentang hari depan kemanusiaan secara keseluruhan, termasuk kemanusiaan Arab: “Humanity is an ocean; if a few drops of the ocean are dirty, the ocean does not become dirty.”

Dalam perspektif ini, umat Islam Indonesia semestinya tidak mudah diracuni oleh sisi-sisi buruk peradaban Arab yang sedang bermasalah itu yang dapat berujung dengan munculnya berbagai bentuk kekerasan dan terorisme yang sering dibalut dalam jubah agama dan teks-teks suci.

Penutup

Agama jika dipahami secara benar dan jujur pasti dapat menjadi sumber pertama dan utama untuk merajut persaudaraan sejati bagi umat manusia. Tetapi agama yang dipahami secara dangkal, kemudian disalahgunakan bisa pula menjadi sumber malapetaka yang dahsyat yang dapat memorakperandakan perumahan kemanusiaan sejagat.

Di sinilah terletak tantangan terbesar yang harus dihadapi dan dijawab secara berani dan efektif oleh para pemeluk beriman, jika mereka memang serius dan tulus dalam beragama.

Ahmad Syafii Maarif

Sumber: Jurnal MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

 

Rujukan

Lih. al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 213. Untuk menafsirkan ayat ini saya menggunakan Hamka, Tafsir al-Azhar. jilid 2. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, hlm. 164-169; Muhammad Asad, The Message of the Qur’ân. Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980, hlm. 46; Muḥammad ‘Alî al-Shâbûnî, Shafwat al-Tafâsîr jild I. Beirût: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1400/1980, hlm. 136; A. Hassan, Al-Furqan: Tafsir Qur’an. Jakarta: Tintamas, 1962, hlm. 63-64. Kecuali A. Hassan, tiga ahli tafsir yang kita jadikan rujukan memberikan catatan kaki tentang ayat 213 itu. Hamka adalah yang paling lengkap memberikan penjelasan

Lih. Q s. al-Nisâ’ (4): 58.3 Lih. Mahatma Gandhi Quotes on humanity dalam Google.4 Lih. Q s. Fâthir (35): 24. Saya menggunakan tafsir Asad di sini (hlm. 669). Menurut Asad, istilah umat/komunitas dalam ayat ini dekat kepada pengertian peradaban (civilization) dalam sejarah modern. (Lih. catatan no. 18, hlm. 669) 5 Hamka, op.cit., hlm. 169.

Ibid.,hlm. 170.7 Asad, op.cit., hlm. 669, catatan kaki no. 18.8 Lih. A. Hassan, op.cit., hlm. 852, catatan kaki no. 3172. Ejaan diselaraskan dengan kaedah EBYD.9 Al-Shâbûnî, op.cit., hlm. 573 pada catatan kayang berbunyi: “illâ wa qad jâahâ rasûl” (melainkan sungguh telah datang kepada mereka seorang rasul).

Hamka, op.cit., hlm. 171. Ejaan untuk Buda dan Kong Hu Chu saya sesuaikan dengan apa yang dirujuk oleh catatan kaki no. 5, sebab dalam kutipan ini tertulis Budha dan Khong Hu Chu. Ini semata-mata untuk konsistensi penulisan.

Lih. Q s. al-Hajj: 40.

Lih. Vaclav Havel, “Forgetting We Are Not God,” pidato disampaikan di kampus Universitas Stanford pada 29 Sept. 1994, via Google.

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

18 + 18 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.