Namanya Tuan Guru Haji (TGH) Hasanain dari Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Beliau pernah meraih Ashoka International Award for Best Fellow in Religion and Women Empowerment (2003) dan memenangkan Maarif Award tahun 2008. Tak lama setelah itu, beliau memenangkan Ramon Magsaysay Award 2011 di Manila, Filipina.

Tuan Guru Hasanain adalah tokoh muda yang dikenal karena upaya-upayanya dalam mengintegrasikan dunia pendidikan, konservasi lingkungan, pemberdayaan masyarakat serta kemajemukan. Dalam dunia pendidikan, Ia adalah pimpinan pondok Nurul Haramain Putri. Namun juga dikenal sebagai penggerak konservasi lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di daerahnya. Ia juga merupakan Ketua FKUB (Forum Kerukunan antar Umat Beragama) Kabupaten Lombok Barat yang konsisten memperjuangkan perdamaian dan menjembatani kemajemukan.

Kiprah TGH Hasanain dalam mengintegrasikan aktivitas konservasi lingkungan, pendidikan, pemberdayaan masyarakat dan menjembatani kemajemukan ini dalam istilah Bapelda Kabupaten Lombok Barat disebut sebagai “Integrated Conservation”.

Ide tentang masyarakat madani 

Gagasan besarnya berangkat dari konsep bagaimana membangun masyarakat madani dengan latar dasar Shiddiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah (SATF) yang membela kebaikan dan hidup bermanfaat. Dalam pemikirannya konsep ini harus diwujudkan dalam Desa Madani. Hal inilah yang dikerjakannya di sebuah lembah yang diberi nama Lembah Madani. Lembah Madani berada di lahan seluas 33 hektar. Lahan tersebut terletak di area perbukitan yang tandus dan gersang, yang tadinya hanya ditumbuhi alang-alang. Lahan tersebut sebenarnya berada di dekat pemukiman penduduk, namun karena letaknya di pinggir tebing yang curam dan tandus, masyarakat membiarkan lahan tersebut tanpa disentuh.

Tuan Guru berencana memberdayakan arena itu menjadi sebuah kampung madani, yang di sana akan terdapat pondok pesantren, sekolah, perguruan tinggi, hutan konservasi, pemukiman penduduk serta wahana belajar bagi semua kalangan untuk berinteraksi dalam suasana keberagaman. Ia terinspirasi oleh Syekh Nashir di Virginia dan An-Nur di London dalam membangun masyarakat.

Dalam suatu perjalanan atas undangan sebuah lembaga swadaya masyarakat, Tuan Guru berkesempatan berkunjung ke Filipina. Ia menyaksikan karya dari Pastor-Pastor Gereja Katolik di sebuah Gunung yang bernama Gunung Nur. Di Gunung tersebut, terhamparlah ratusan ribu pepohonan dari berbagai jenis, buah tanam dari pastor-pastor tersebut.

Selain pohon-pohon yang akan memberi hasil beberapa tahun yang akan datang, para pastor tersebut juga memberdayakan ekonomi masyarakat di sekitar sana. Sepulang dari Filipina, Ia bertekad untuk mewujudkannya di NTB. Ia melihat realitas 580.000 hektar lahan di NTB milik masyarakat adalah lahan terlantar.

Kondisi masyarakatnya pun tidak berdaya untuk mengelola tanahnya. Dengan keadaan tersebut, Ia berpikir, kenapa kita tidak menggali hasil bumi sendiri untuk mencetak uang. Kenapa harus menelantarkannya dan mencari pekerjaan keluar daerah.

Ketika ia berkiprah di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dia merencanakan membuat “Peta Konflik” sebuah peta sosial yang berisi informasi mengenai fakta-fakta sosial yang dapat menjadi potensi konflik di masyarakat.

Termasuk di dalamnya berisi potensi konflik berlatar belakang agama, etnis, ekonomi, politik sehingga dia bercita-cita melalui Peta Konflik tersebut, potensi konflik di Lombok Barat khususnya dapat ditanggulangi sejak dini.

Sejarah konflik di Lombok antara kelompok Sasak dengan pendatang, khususnya dari Hindu Bali masih menyisakan potensi konflik yang bersifat laten. Demikian pula potensi konflik berlatar belakang perebutan lahan dan sengketa antar desa. Hal itulah yang mendorong Hasanain memunculkan gagasan pembuatan Peta Konflik lewat FKUB yang dipimpinnya.

Hasanain di mata masyarakat

Menurut penuturan Dian, Aktivis LSM “Santai” di Nusa Tenggara Barat, Hasanain adalah seorang TGH yang unik, berbeda dari kebanyakan TGH di NTB. Jika kebanyakan TGH lebih berkhusyuk pada aktivitas keagamaan an sich, semisal mengajar di madrasah, mengisi pengajian, ekslusif dalam pemahaman keagamaan; maka Hasanain tidak hanya semata demikian. Dian menilai Hasanain adalah seorang TGH yang mau duduk bersama dengan kalangan LSM, berdiskusi bahkan menjadi seorang pembelajar.

Hasanain tak segan untuk mendatangi diskusi-diskusi bersama dengan aktivis LSM, wawasan pemikirannya luas, kritis dan cenderung agak nyleneh. Misalnya pandangannya mengenai keadilan gender, dalam hal ini mengenai persoalan poligami. Menurut Dian, Hasanain sering berujar, “menurut saya poligami dalam Islam adalah sebuah pintu darurat saja, dan saya memilih untuk tidak”.

Menurut Dian, hampir semua TGH di Lombok melakukan praktik poligami, beristri lebih dari satu orang. Masih menurut Dian, Hasanain juga menaruh perhatian yang besar terhadap persolan pendidikan, khususnya mengenai rendahnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di NTB yang terjadi karena faktor utamanya rendahnya tingkat partisipasi pendidikan, tingginya angka putus sekolah, terutama di kelompok warga perempuan.

Hasanain konsisten menyuarakan pentingnya membuka wawasan masyarakat akan keadilan gender, kesetaraan antara lakilaki dan perempuan, termasuk dalam pendidikan. Melalui forum-forum diskusi, workshop dengan kalangan LSM, Hasanain memprovokasi aktivis LSM supaya bersama-sama mengupayakan demokrasi pendidikan, khususnya dalam membuka akses perempuan dalam pendidikan.

Oleh karena konsistensinya itu, “Ia kami minta masuk sebagai anggota dewan pakar lembaga kami. Dari gagasangagasannya tersebut, sekarang kami tengah mengupayakan sebuah pendidikan alternatif, bagi kaum perempuan dan petani,” demikian pungkas Dian.

Adapun menurut Yani, Staff Target MDG’s Propinsi NTB, Hasanain dikenal sebagai sosok yang egaliter, tidak seperti kebanyakan ulama (Tuan Guru) yang acapkali hanya berujar, memerintah orang lain (termasuk para santrinya) untuk mengerjakan sesuatu namun dia sendiri tidak mengerjakan dan hanya ongkang-ongkang kaki saja.

Hasanain adalah sosok yang lebih banyak memberi contoh dalam suatu pekerjaan, dan mengajak orang-orang untuk bersamasama mengerjakan apa yang tengah dia kerjakan; satu dalam kata dan laku. Misalnya untuk urusan kebersihan lingkungan pondoknya, Hasanain tidak segan menyapu halaman pondoknya sehabis subuh, sehingga para santri merasa malu dan tanpa dikomando beramai-ramai turun ke halaman menyapu (membersihkan) lingkungan pondok.

Demikian pula pada aktivitas penanaman pohon yang diinisiasinya, Hasanain terlibat langsung dengan aktivitas mencari buah Mahoni untuk dibibitkan, sampai dengan pada tiap kesempatan hajatan, dia tak segan-segan untuk meminta izin kepada si empunya hajat supaya diijinkan mengumpulkan dan membawa pulang plastik gelas bekas minuman air mineral sebagai media pengganti polybag untuk menanam benih pohon.

Menurut Yani, “Hasanain juga saya kenal sebagai sosok yang santun dan tidak membeda-bedakan asalusul, status sosial, agama seseorang ketika dia berinteraksi dengan orang lain. Gagasannya tentang lingkungan sosial terpadu yang dia namai Lembah Madani telah menarik banyak pihak dan berbagai macam latar belakang dan lembaga untuk studi banding mempelajari prosesnya.

Setelah kunjungan, sejumlah tokoh yang takjub dengan rencana tersebut menyatakan akan mengupayakan sejumlah bantuan guna segera merealisasikan rencana Hasanain tersebut. Dia juga aktif mengajak kalangan pesantren dan lembaga-lembaga lain untuk turut serta melakukan aktivitas penghijauan atau rehabilitasi lahan sebagaimana yang dia lakukan.”

Sementara itu dalam penilaian I Komang Marta, Pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia Kecamatan Narmada, Hasanain memang sosok muda yang sudah menjadi pemuka masyarakat. “Dia berwawasan luas, mampu dan mau bergaul dengan bayak pihak, sehingga dia terpilih sebagai ketua KPU Kabupaten Lombok Barat.

Dalam beraktivitas, dia sosok yang enerjik, luwes, mampu merangkul orang-orang tidak saja dari kalangan pesantren, namun juga dari kalangan birokrat pemerintahan, tokoh agama lain, sehingga dia terpilih sebagai ketua Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB) Lombok Barat. Saya sudah mengenal keluarga Hasanain sejak dari ayahnya, Tuan Guru Juaini, mereka keluarga yang baik, kami sering bertemu dan berdiskusi,” demikian imbuhnya.

Sementara itu, menurut Ahmad Fauzi, pengurus PD Muhammadiyah Kab. Lombok Barat, “Kami sering mengundang Pak Hasanain untuk mengisi pengajian di Muhammadiyah, dan juga Pak Mahali, ipar Pak Hasanain. Keduanya sosok yang berwawasan luas dan berpandangan maju yang dapat diterima oleh kalangan Muhammadiyah.

Dalam berceramah, dia selalu menyisipkan ajakan untuk mencintai lingkungan dan melakukan penanaman pohon untuk menyelamatkan lahan sekaligus menjadikannya sebagai sumber pendapatan masyarakat.” Adapun Mahfudz, Ketua PW NU Prop. NTB, juga Kabid Sosbud Bappeda Prop NTB) secara pribadi menyampaikan tidak terlalu mengenal sosok Hasanain, namun dari kroscek yang dilakukannya kepada pengurus PCNU Lombok Barat dan kepada Kasubdid Bina Hutan, “menurut mereka, Hasanain memang melakukan kerja-kerja nyata dalam gerakan penghijauan dan rehabilitasi lahan hutan.

Dia juga melakukan kegiatan pembibitan yang didistribusikan kepada lembaga-lembaga lain yang bersedia melakukan penanaman pohon. NU Lombok Barat juga memiliki komunikasi yang baik dengan dia,” demikian keterangan Mahfudz.

Pesantren sebagai basis gerakan

Di ponpes Nurul Haramain Putri yang diasuhnya, Hasanain juga mempelopori pengenalan dan pemanfaatan teknologi informasi dalam aktivitas pembelajaran. Ada satu lokal ruangan berukuran 5×10 m yang dia khususkan sebagai laboraturium komputer bagi para santri. Di Lab. Komputer tersebut dilengkapi dengan sejumlah PC (personal computer) yang terhubung dengan server dan memuat ribuan koleksi pustaka secara digital, baik pustaka klasik maupun kontemporer, pustaka kegamaan maupun pustaka umum. Kemudian terdapat pula ruangan yang dipakai untuk para santri praktik merakit komputer.

Rencananya Ponpes akan mengembangkan sayap usaha pada perakitan komputer; di mana sejauh ini sudah mempunyai unit usaha penjualan komputer bernama “Madani Komputer”. Di ruang-ruang kelas madrasahnya, juga telah dilengkapi dengan perangkat komputer dan LCD projector guna menunjang proses pembelajaran.

Progresivitas belajar santri cukup terlihat dengan kemahiran mereka mengoperasikan komputer ini terlihat dari kemahiran para santri usia Tsanawiyah (SMP) dalam mempresentasikan karyanya lewat komputer, mereka juga memiliki media jurnalistik berupa mading bulanan dan juga beberapa hasil karya (cerpen dan novel) karya para santri yang diterbitkan, di-layout dan dicetak sendiri oleh para santri dalam bentuk buku.

Pesantren tersebut juga mempunyai sebuah divisi lembaga advokasi perempuan. Hasanain mengintrodusir lembaga tersebut guna menampung keluhan dan kasus-kasus ketidak-adilan yang dialami perempuan, baik di keluarga maupun di ranah publik. Menurut penuturan Hasanain, lahirnya lembaga tersebut berawal dari keprihatinannya melihat ketimpangan dan maraknya tindak ketidak-adilan yang dialami para perempuan di sekitarnya.

Pendirian dan aktivitas lembaga tersebut di pesantren mendapat dukungan dari Menteri Sosial RI, Khofifah Indar Parawansa dan cendekiawan Marwah Daud Ibrahim yang beberapa kali berkunjung ke Pesantren tersebut. Inovasi pada pesantrennya tersebut sedikit banyak telah merubah persepsi masyarakat atas citra pesantren di Lombok yang identik dengan nuansa keagamaan yang kaku, pola aktivitas/kultur yang ekslusif, gagap teknologi; sehingga ponpes Nurul Haramain mampu menarik minat kalangan menengah, termasuk kalangan pelaku pariwisata untuk memasukkan anaknya di ponpes tersebut.

Hal itu diungkapkan oleh M. Basri, salah seorang wali santri,“Kebetulan saya sedang menjenguk anak saya yang kelas 3 SMP. Saya mantap memasukkan anak saya di pesantren ini karena melihat sepak terjang Pak Hasanain yang berpikiran luas, tidak fanatik dan bisa mengintegrasikan perkembangan teknologi informasi dalam dunia pondok pesantren. Saya juga mengajak temanteman pelaku wisata lain untuk menyekolahkan anaknya di sini.

Bahkan yang saya ketahui, koleksi pustaka digital di Pondok Pesantren ini lebih lengkap dari yang dimiliki oleh IAIN Mataram. Saya tidak khawatir anak saya akan menjadi seorang fundamentalis jika bersekolah di sini. Saya juga sering mengajak turis asing untuk live-in di ponpes ini. Tempo hari ada wisatawan dari Belgia yang kami bawa ke sini dan tinggal selama beberapa hari di sini, menginap bersama para santri,” papar M. Basri yang juga seorang manajer Biro Perjalanan Wisata di Senggigi.

Memberi contoh kongkrit

Melalui Ponpes Nurul Haramain, Hasanain pernah menggalang aliansi dengan kampus, LSM dan ormas lain untuk memerangi korupsi. Itu dilakukannya pada tahun 2001, beberapa tahun sebelum gerakan serupa secara nasional digaungkan oleh A. Syafii Maarif dan Hasyim Muzadi.

Pasca itu, dia juga memulai gerakan peduli lingkungan. Ia membuat hitungan matematis atas niatnya dalam menanam pohon ini. Dalam satu hectare ditanami 10.000 bibit pohon. namun tidak semua lahan tersebut ditanami. Ada ruang 200 m2 yang digunakan untuk membangun kandang Sapi dan Ayam. Praktis hanya 8.000 bibit yang ditanam dengan jarak antar pohon 1 meter. Pada tahun ke-5 nanti, jarak antar pohon yang satu meter tersebut terlalu mepet.

Maka untuk menjaga jarak, ditebanglah 4.000 pohon, sehingga jarak antar pohon menjadi 2 meter. Untuk membangun sistem pengawasan pohon, Ia melibatkan masyarakat sekitar. Caranya, ongkos jaga yang menjadi biaya hidup mereka diperoleh dengan menanam tanaman produktif semacam pepaya dan jambu disela-sela pohon (sistem tumpang sari).

Selain itu, masyarakat juga memperoleh pemasukan dari ternak Sapi dan Ayam. Empat ribu pohon yang ditebang tersebut–dengan usia tebang saat 5 tahun pun—sudah memiliki nilai jual yang tinggi. Sisa 4.000 pohon yang lain, akan ditebang saat usia pohon 10 tahun. Dengan perhitungan kasar saat ini, harga setiap pohonnya mencapai 2 juta rupiah. Tinggal kalikan saja dengan angka 4.000 maka akan di dapat angka 8 milyar rupiah.

Dia mengharapkan dengan penanaman pohon yang bernilai ekonomis tersebut, masyarakat akan tergerak untuk ikut menanam pohon dan mampu meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat petani yang sekaligus meminimalisir potensi konflik karena latar belakang ekonomi.Ia mulai melakukan penanaman dengan memberi contoh kongkrit. “Saya tidak percaya kalau tidak melihat”. Itulah cara pikir masyarakat awam ketika ada seseorang yang menceramahi atau menyuruh membuat sesuatu.

Maka, dibuatlah strategi untuk jangka pendek, menengah, dan panjang. Ia mulai menanam bibit pohon, mencari bibit-bibit pohon dengan melakukan pemetaan pohonpohon Mahoni di sekitar kota yang bunganya akan kering. Bunga tersebut akan dipetik dan disemai dalam gelas-gelas bekas air mineral.

Gelas-gelas bekas ini pun diperoleh dari pesta pernikahan yang menyisakan gunungan gelas-gelas plastik bekas. Dengan memberi uang lelah kepada petugas kebersihan atau pemulung, Ia minta gelas-gelas bekas tersebut diangkut ke mobilnya. Di rumah, bersama santri-santrinya, Ia melubangi gelas-gelas tersebut dengan solder. Lalu diisi dengan tanah untuk selanjutnya disemailah bibit pohon Mahoni.

Ia pun beberapa kali bekerjasama dengan pemerintah dalam hal pengadaan bibit ini dalam program Gerbang Mas Pemprov NTB atau dengan sistem barter. Terobosan paling menarik adalah idenya untuk investasi dan beramal dalam bentuk pohon. “Silakan anda bila hendak investasi. Bila punya 1 juta, itu berarti anda investasi sejumlah bibit pohon” Kelak, 5-10 tahun yang akan datang anda menuai hasil investasi tersebut. Telah ribuan orang yang antri untuk investasi.

Selain itu, upaya-upaya kreatif untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya penghijauan pun dilakukan dengan berbagai terobosan. Diantaranya adalah dengan menawarkan bibit-bibit tanaman tersebut sebagai souvenir pernikahan. Hasilnya, pada tahun pertama, bersama masyarakat, Ia menanam 360.000 bibit, tahun kedua 600.000 bibit dan tahun ketiga, sudah lebih dari 1 juta bibit.

Proses penanaman ini bukan perkara yang mudah. Karena lahan yang pertama kali ditanami adalah lahan tandus penuh ilalang yang miskin unsur hara. “Bila bapak bisa menanam di lahan ini, saya akan panggil bapak sebagai “bapak hidup” ucap seorang masyarakat sekitar lahan tandus tersebut. Masalah tidak hanya disitu. Lahan yang sedang ditanami tersebut berada di sepanjang tebing Lembah Suren, yang dibawahnya mengalir sungai Gunung Jae yang berada pada ketinggian hampir 89 meter dari permukaan air sungai.

Sungai ini bersumber dari Gunung Rinjani. Sehingga air harus dikerek dengan air timba untuk mengairi tunas-tunas muda tanaman tersebut. Penanaman perdana tidak menuai hasil. Pun demikian yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Barulah pada penanaman yang ketujuh, mulai menuai hasil. Tunas-tunas mulai tumbuh dan berkembang. Program ini dimulai sejak tahun 2005.

Masyarakat sekitar pun merasa mendapat manfaat yang nyata dengan program tersebut. Masyarakat sekitar kawasan hutan merasa terhormat ketika kali pertama TGH Hasanain berniat akan membuat program penanaman pohon dan pemberdayaan masyarakat. Niat tersebut diutarakan ketika ia diundang mengisi pengajian di Desa Sedau.

Usai pengajian, obrolan-obrolan santai di antara masyarakat dengan Hasanain berisi ajakan untuk berpartisipasi dalam penanaman pohon, memanfaatkan lahan yang terlantar. Dan bak gayung bersambut, masyarakat sekitar dari Desa Sedau, Dusun Lebah Suren meminta Hasanain untuk melibatkan masyarakat dalam programnya.

Akhirnya mereka turut berpartisipasi.Penilaian mengenai pemikiran transformatif Hasanain diungkapkan M. Aminullah, Aktivis LSM Samanta. “Ide-ide TGH Hasanain itu sering kami pandang sebagai “ide gila” yang tak pernah terlintas dalam benak kami, namun dia dengan cerdasnya menyadarkan kami, bahkan meyakinkan kami bahwa gagasan-gagasannya tersebut niscaya diwujudkan. Kami sekarang tengah mendukung dia untuk melengkapi “Lembah Madani” dengan sebuah institusi pendidikan tinggi. Bukan sebuah universitas yang tiap tahun menerima mahasiswa, namun sebuah tempat pendidikan yang akan menerima tidak lebih dari 20 orang mahasiswa, akan kami siapkan sebagai kader dan akan dibekali dengan kemampuan olah pertanian, manajemen, akuntansi, komputer dan IT, kemampuan bahasa asing, gratis! “

Melalui ceramah-ceramah pengajian yang disampaikannya, TGH Hasanain juga mengajak kami, masyarakat untuk mengelola tanah-tanah kami yang sebelumnya tidak tergarap. Dia mengajak kami untuk hitung-hitungan mengenai keuntungan menanam pohon keras (Mahoni, Jati, Albasia) di lahan kami; dia juga menawari kami bibit pohon tersebut secara gratis, berapapun jumlahyang kami butuhkan, tinggal kami ambil sendiri di pondok atau di tempat pembibitannya.

Setelah melihat sendiri rintisan pohon yang dia tanam di lahannya, kami menjadi tertarik dan akhirnya beramai-ramai menanam pohon di tanah kami,” demikian papar Pak Rahman kepala Desa Sedau, Narmada, Lombok Barat.“Bahkan sekarang banyak anak-anak muda di desa kami yang patungan uang untuk menyewa lahan guna ditanami pohon Mahoni, karena prospeknya memang menjanjikan.

Pandangan dan penilaian kami mengenai lahan tanah kami yang semula kami anggap sudah musykil untuk digarap karena tandus dan hanya ditumbuhi alang-alang berubah total setelah bergaul dan dibimbing TGH Hasanain. Bahkan ada warga kami yang sampai mengukur pertumbuhan pohon mahoni yang ditanamnya, rata-rata 1 cm per hari.

Sekarang ini hampir tidak ada warga yang membiarkan lahannya menganggur tidak ditanami, bahkan karena permintaan bibit oleh warga yang demikian banyak, kami harus antri maka ada beberapa warga yang berinisiatif melakukan pembibitan sendiri, mereka dibimbing oleh para ustadz ponpes Nurul Haramain. Gagasan Ia untuk membangun satu kompleks pondok pesantren yang menyatu dengan pemukiman penduduk sangat kami dukung,karena kami berharap nantinya anak-anak di desa kami akan lebih dekat untuk bisa bersekolah sekaligus bisa membantu kami,” Pak Rahman menambahi.

Penulis: Ahmad Mujaddid Rais

Sumber: Jurnal MAARIF, Vol. 10, No. 2 — Desember 2015

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

8 − 4 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.