Aktivisme Islam meminjam istilah Quintan Wiktorowicz (ed, 2007), yang melahirkan radikalisme masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan hingga kini. Salah satunya adalah jaringan Islamis State of Iraq and Syiria (ISIS) yang telah masuk di Indonesia. Seperti deklarasi ISIS di kampus UIN Jakarta, Sukoharjo, Jawa Tengah, dan Sidoarjo, Jawa Timur. Masuknya jejaring ini tak lepas dari sentimen Barat terhadap ISIS. Di sejumlah negara menggelar aksi hard power (perang) untuk mengusir ISIS. Cara ini ternyata tak cukup ampuh menangkal dan meredakan gerakan ISIS. Malah, gerakan ini semakin mengkristal dan menemukan simpul-simpul dengan organisasi lain.
Pemerintah Indonesia pun telah melakukan langkah-langkah preventif dan proaktif guna mencegah meluasnya jaringan ISIS di Tanah Air. Penangkapan empat terduga jaringan ISIS berkewarganegaraan Turkestan (Uighur), salah satu provinsi di bawah Tiongkok yang berbatasan dengan Turki, di Palu, Sulawesi Tengah (Minggu, 14/9/2014) (Koran Jakarta, 15/9/2014) menjadi salah satu bukti komitmen pemerintah mencegah ISIS. Namun, langkah ini perlu didukung oleh upaya proaktif. Salah satunya dengan pendekatan berbasis dialog.
Mereka berhak mendapat pemahaman yang memadai tentang Islam dan kebangsaan sebagai modal sosial. Mereka bukan untuk diperangi. Artinya, penangkapan dan pemenjaraan bukanlah pilihan utama bagi aparat pemerintah. Pendekatan berbasis kemanusiaanlah yang memungkinkan mereka kembali ”ke jalan yang benar.” Radikalisme juga bukan sesuatu yang perlu ditakuti.
Kemunculannya, erat kaitannya dengan kealpaan masyarakat dalam menjaga kolektivisme dan hubungan keimanan yang saling menyapa. Mereka semakin tumbuh, karena kesadaran mengajarkan keagamaan yang humanis dan persaudaraan tanpa diskriminasi seringkali terlupakan. Masyarakat beragama seakan hidup sendiri. Padahal, keberagamaan akan semakin kokoh jika di-sengkuyung (didukung) oleh seluruh elemen bangsa.
Modal Sosial
Inilah persoalan dan tantangan pemerintahan baru. Pemerintahan baru di bawah komando Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla, menjadi harapan mengurai radikalisme dengan cara-cara yang santun berdasar pada prinsip kebangsaan.
Oleh karena itu, tampaknya kembali mengulik catatan janji Joko Widodo- Jusuf Kalla, saat kampanye dan debat pemilihan presiden beberapa waktu lalu tampaknya perlu. Jokowi, berjanji menegakkan konstitusi dan menjamin kebebasan beragama dan berserikat. Sebagaimana amanat UUD 1945, Jokowi ingin kebebasan beragama menjadi pemersatu bangsa. Inilah yang kemudian disebut oleh Setara Institute sebagai modal menjanjikan pemerintahan Jokowi-JK. Modal yang tak hanya dapat melegakan semua pihak. Namun, menjadi jaminan bahwa kebebasan beragama, dalam bentuk apa pun akan mendapat tempat di republik, selama tak melanggar norma-norma yang berlaku.
Modal sosial itu pun seakan bersambut dengan rekam jejak Jokowi. Jokowi dikenal ”berpihak” dalam kebebasan beragama saat ia konsisten mempertahankan Lurah Susan, di Lenteng Agung, Jakarta, dari desakan sekelompok Ormas yang menentang kepemimpinannya. Dan JK, mempunyai pengalaman yang kaya mengenai resolusi konflik, baik di Poso maupun Aceh.
Berkat tangan dingin JK, konflik bernuasa Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) di Poso dan Aceh berangsur reda dan kehidupan masyarakat terbangun dalam damai. JK pun hingga kini masih menjabat sebagai Ketua Dewan Masjid, sebuah organisasi yang menaungi keberadaan masjid di Indonesia. Sebuah jabatan sebagai jembatan menuju peneguhan pemimpin umat dalam membangun kebinekaan. Pasalnya, dari masjid (baca: pimpinan masjid), keberagamaan umat dipupuk dan disemai. Jika, masjid mampu menjadi harmoni keberagamaan, maka, kehidupan bangsa akan semakin kuat dan teguh.
Pengalaman kedua tokoh ini dalam membangun keberagam menjadi modal sosial membangun keberagamaan yang sehat. Melalui keberagamaan yang sehat inilah, paham radikalisme bukan untuk dimusuhi, apalagi menjadi ”proyek negara.” Radikalisme muncul sebagai jawaban kegalauan sistem beragama yang tak memihak. Artinya, kehadiran negara-bangsa (nation-state) belum menyentuh kelompok-kelompok minor ini. Mereka seringkali terpinggirkan dan seakan dipinggirkan oleh sistem berbangsa dan negara. Ketimpangan peran inilah yang kemudian menjadikan mereka seringkali bertemu, berinteraksi, dan berkelompok melakukan tindakan-tindakan yang seringkali berseberangan dalam pandangan negara.
Blusukan Keberagamaan
Dalam kerangka kebebasan beragama, pandangan mereka tak boleh disalahkan dan dibenarkan begitu saja. Produk pemikiran bukan untuk dihukumi dengan kacamata hitam putih. Buah karya kerja otak selayaknya ditempatkan pada proses cara berpikir kreatif dan mengarah pada kebaikan bersama (maslahah).
Oleh karenanya, selayaknya ada dialog, agar mereka mendapat perspektif lain tentang relasi agama dan negara. Relasi agama dan negara merupakan buah kerja kemanusiaan. Maka, kerja menuju titik temu itu, selayaknya berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.
”Memerangi” mereka sama saja menebar benih kebencian baru. Artinya, kelompok-kelompok yang bersimpati terhadap ”penderitaan” mereka akan tumbuh dan mengkristal, yang pada akhirnya menjadi kekuatan besar yang semakin sulit untuk didekati. Memerangi hasil ”kreasi” pemikiran pun bukan jalan menempuh perdamaian.
Pendapat berbasis kemanusiaan melalui proses keagamaan dan kebangsaan menjadi hal wajib guna menghadapi aktivis Islam yang seperti itu. Pendekatan ini pun menjadi modal besar bagi pemerintah untuk semakin dekat dengan mereka. Inilah blusukan keberagamaan yang perlu dilakukan oleh Jokowi saat menjadi presiden kelak. Blusukan keberagamaan yang mau mendekat, mendengar, dan mengaplikasikan ragam harmoni kehidupan yang tak menyinggung hak dan kewajiban orang lain.
Sosok Ibu
Blusukan keberagamaan ini juga perlu didukung oleh tokoh agama dalam mewartakan peran keagamaan dan kebangsaan. Wajah anggun agama perlu disemai oleh aktivitas tokoh agama yang mau ngemong. Tokoh agama adalah ibu bagi umat. Mereka merupakan perawat sekaligus pembimbing bagi umatnya. Maka dari itu, tokoh agama selayaknya senantiasa ada dan hadir di tengah umat untuk menjalankan profesi sebagai “ibu”.
Sosok ibu senantiasa menjadi pengayom bagi anak-anaknya. Saat anak sedang dalam kesusahan, kegelisahan, dan kegaulauan, Ibulah tempat bagi mereka untuk berkeluh kesah. Oleh karenanya, tokoh agama tak boleh berjarak dengan umat. Tokoh agama bukan elite yang hanya hadir saat ia butuh. Namun, abai saat umat sedang dalam kondisi lemah. Ia adalah bagian dari kebangsaan yang senantisa hadir kapan pun dan di mana pun umat membutuhkan. Mereka bagai oase di tengah gurun pasir gersang dan tandus. Kehadirannya senantiasa mampu meredakan dahaga di saat terik menyinari tubuh.
Dengan demikian, di Kabinet mendatang dibutuhkan sosok Menteri Agama yang mampu menjadi “lentera di tengah kegelapan”. Artinya, seorang menteri yang punya perspektif dan keinginan kuat mewujudkan kebebasan beragama dalam bingkai kebangsaan yang beradab. Dari nama yang muncul, IndoStrategi, dalam survei desain Kabinet 2014-2019 menilai, sosok Lukman Hakim Saifuddin, yang kini duduk di menteri agama, tampaknya masih perlu dipertahankan.
Pada akhirnya, inilah agenda keumatan Jokowi yang perlu diwujudkan. Meminjam istilah M Amin Abdullah, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, inilah wilayah dan ruang yang perlu digarap bersama sehingga hak hidup, “kesurvivan”, keberlangsungan hidup kelompok tertentu tidak serta merta harus bertabrakan dengan hak hidup, kesurvivan dan keberlangsungan kelompok yang lain. Jokowi pun tak akan mungkin bisa sendiri mewujudkan cita mulia tersebut. Perlu gerakan bersama untuk mewujudkan kebebasan beragama berbasis kemanusiaan. Yaitu, sebuah embrio keagamaan dan kebangsaan dalam bingkai keberadaban. Semoga.
Benni Setiawan
Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta
Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!