Saat ini, Syafii Maarif telah pensiun dari kepemimpinan pusat Muhammadiyah. Walau masih bergiat di Muhammadiyah, sebagai sesepuh, kegiatan utamanya adalah di Maarif Institute for Culture and Humanity. Ia adalah lulusan Universitas Ohio, AS, untuk bidang sejarah dan meraih gelar doktor di Universitas Chicago untuk telaahnya tentang Islam sebagai dasar bernegara.
Latar pendidikan Barat itu yang menyebabkan beberapa penulis Islamis meremehkan kapasitas pengetahuan agamanya. Hartono Ahmad Jaiz, misalnya, mengomentari kolom Syafii Maarif di Republika sebagai menafsirkan Al-Qur’an secara ngawur. Ada lontaran semacam, “Syafii Maarif kan sejarawan, bukan ahli agama atau Al-Qur’an.” Ini keliru besar. Sejak kecil, ia tinggal di lingkungan Islam yang kental. Ia lahir di Sumpurkudus, Sumatera Barat, pada 31 Mei 1935. Sejak kecil ia sekolah di pesantren dan madrasah, hingga kepindahannya ke Yogyakarta. Hingga tua, ia tak pernah lepas dari aktivisme di ormas-ormas Islam.
Syafii Maarif, dengan demikian, adalah sosok intelektual yang lengkap. Ia, juga, adalah seorang yang sangat bersahaja. Dan seorang yang tegas, walau lembut dan santun tutur katanya. Redaktur Madina, Hikmat Darmawan, menemuinya di masjid dekat rumahnya, di sela maghrib dan isya, pada 12 Agustus 2008 lalu.
Bagaimana perasaan Anda mendapat anugerah Magsasay ini?
Tentunya saya merasa senang. Tapi masih tersisa pertanyaan dalam diri saya. Apa saya pantas? Anugerah itu kan untuk aktivitas di bidang peace and international understanding.. Sebetulnya, apa sih sumbangsih saya terhadap perdamaian internasional itu?
Apakah berarti, buya (panggilan hormat pada Syafii Ma’arif) masih ingin berbuat lebih banyak?
Tak tahulah. Yang jelas, usia saya sudah tua. Alhamdulillah, saya masih sehat. Saya masih bisa bolak-balik Yogyakarta dan Jakarta. Kadang, saya seminggu di Jakarta, seminggu di Yogyakarta. Obsesi saya …saya ingin melihat sebuah Islam yang damai, yang sejuk. Buat saya, dalam Islam, kaum Atheis pun punya hak untuk hidup. Asal kita saling menjaga, saling menghormati. Tidak saling curiga. Menurut Al-Qur’an, iman itu adalah atas izin Allah. Gamblang sekali. Jadi, Al-Qur’an itu jauh lebih toleran daripada orang Islam sendiri. Ini sebetulnya berhubungan dengan bagaimana orang memahami Islam itu sendiri. Masalahnya memang pemahaman. Orang-orang Islam yang tidak toleran itu tidak melihat benang merahnya. Kalau saya, saya ingin meletakkan ’Islam sebagai rahmat bagi alam semesta’ sebagai payung besarnya. Semua pikiran mengalir di bawahnya.
Apakah itu begitu susahnya?
Sebetulnya tidak susah. Tapi karena kita sudah tak terlalu akrab lagi dengan Al-Qur’an, jadinya begitu. Kita menafsirkannya melalui para penafsir di abad lampau, yang terikat oleh zaman. Saya berharap bahwa mereka yang menafsir Al-Qur’an secara sempit itu harus membaca Al-Qur’an secara utuh. Jangan hanya melihat ayat Al-Qur’an yang ayat-ayat jihad saja. Lihat dulu konteksnya. Tapi payung besarnya harus dipahami dulu, yakni rahmatan lil ’alamin, rahmat bagi alam semesta. Pemahaman terhadap Al-Qur’an itu bisa seluas samudera, asal kita tulus. Asal otak kita sehat, hati kita sehat… Al-Qur’an itu sangat bersahabat dengan kita. Asal pemahaman kita itu tidak ditumpangi oleh agenda-agenda yang duniawi.
Apa saja agenda duniawi yang bisa membuat kita ter-hijab dari pemahaman yang benar tentang Al-Qur’an?
Saya rasa, yang sudah berumur ribuan tahun, ya, kekuasaan dan harta. Syahwat politik, syahwat benda… yang semacam itulah. Itu saja, sebetulnya. Tapi, hal-hal itu didukung dengan dalil. Itu yang saya katakan sebagai pembajakan terhadap ayat-ayat suci.
Apakah di Indonesia memang sedang begitu, ya. Kok, sepertinya, orang Indonesia di pentas politik dan sehari-hari tampak semakin keras, tidak toleran, sambil tampak semakin melayani syahwat politik dan syahwat kebendaan tadi….
Ya, saya kira itu pengaruh kapitalisme global dan kapitalisme lokal yang tak punya ampun. Saya baca sejarah Indonesia sejak proklamasi. Tak ada pemerintahan yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro orang miskin. Sampai hari ini. Pancasila kan bagus sekali, ya, sebagai dasar negara. Tapi, kita tidak mengacu ke situ. Memang pada 1950-an ada pemerintahan yang baik, tapi umurnya pendek, karena perselisihan partai-partai. Itu, sila kelima itu kan jelas sekali, yaitu keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia. Tapi kita semakin jauh dari gagasan itu.
Bahkan setelah reformasi, malah…
Iya, malah semakin kacau. Itu karena para pemimpin yang muncul adalah pemimpin-pemimpin yang dadakan. Politisi instan. Pemimpin atau politisi yang muncul dadakan, tidak terlatih, dan umumnya mereka tak punya prioritas tentang rakyat. Mereka menjadikan politik sebagai mata pencaharian.
Berarti, buya memandang bahwa gerakan struktural untuk memperbaiki keadaan akan terkait dengan gerakan Islam damai?
Iya. Saya rasa iya. Jadi Islam tidak sekadar inspirasi saja. Ada movement, gerakan juga. Islam itu, Al-Qur’an itu, adalah hudan linnas, petunjuk bagi manusia. Karena ia petunjuk bagi umat manusia, maka ia harus inspiratif. Dan kalau Anda lihat, konsep keadilan adalah sisi lain dari taufiq. Itu sebenarnya adalah sisi lain dari mata uang yang sama.
Ini akan terkait dengan posisi, katakanlah, kaum moderat Islam. Bukankah kalangan moderat Islam sering kali melempem dalam gerakan sosial?
Iya, karena memang kaum moderat ini kurang aksi, ya. Jarang mereka mau turun ke lapangan. Yang kita perlukan saat ini, saya rasa, mengubah cara pandang kita agar tidak hanya melayang-layang di langit tinggi, sementara kita lihat kemiskinan semakin parah. Tapi saya rasa upaya untuk itu ada. Kami di Muhammadiyah sekarang sedang mulai melakukan upaya-upaya untuk memberdayakan kaum miskin.
Masalahnya, baik kebijakan negara dan gerakan sosial yang ada di Indonesia seringkali tidak konkret menjangkau orang miskin….
Saya rasa, mereka masih tidak serius dan tidak tulus.
Kalau buya diminta melakukan sebuah gerakan sosial, apa yang akan Anda sasar?
Saya belum tahu apa yang harus saya lakukan, ya. Masalahnya kini sudah begitu rumit. Barangkali saya akan mulai dengan himbauan-himbauan moral dulu. Dengan bahasa yang tajam. Siapa tahu dari situ banyak yang tersentuh mau membantu. Dari perorangan, atau kecil-kecilan dulu.
Apakah Islam mesti lebih sosialis?
Saya rasa menjadi sosialis tak ada salahnya. Seorang Hatta, seorang Natsir ketika di Masyumi, itu kan mengembangkan pemahaman sosialisme religius, ya. Jadi begini. Al-Qur’an itu kan sebenarnya pro orang miskin. Pro orang miskin, tapi anti-kemiskinan. Ada suatu yang halus di situ. Misalnya, dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa walau seseorang beribadah, ia adalah seorang pendusta, apabila membiarkan orang miskin di sekitarnya tidak terawat dan tidak tersentuh. Pada sisi lain, Al-Qur’an menyatakan, keluarkan zakat. Tak ada perintah untuk menerima zakat. Lho, zakat itu kan hanya dilakukan oleh orang-orang berpunya. Jadi harus dihalau kemiskinan itu.
Apakah itu yang jadi perhatian Ma’arif Institute? Karena penghargaan kemarin itu unik juga, ya. Beda, misalnya, dengan penghargaan dari Freedom Institute.
O, iya, jelas itu. Yang kita cari itu memang pemimpin lokal. Dan kemarin itu kan hebat sekali, itu, karya-karya lokal mereka. Orang-orang lokal kan jarang terekspos, ya. Padahal ada kearifan lokal, pemimpin lokal.
Sementara banyak partai politik yang ada kayaknya abai, ya, terhadap yang lokal….
Abai, memang. Hampir totally, mereka abai terhadap kearifan dan pemimpin lokal.
Apakah buya optimis, atau pesimis, jika melihat perkembangan menjelang pemilu tahun depan?
Kalau melihat perkembangan golput yang semakin banyak, saya merasa pesimis. Kalau yang memilih hanya kurang dari 50%, maka terjadi sebuah krisis sosial. Karena itu berarti proyek demokratisasi itu jadi rapuh. Skenario terburuknya, kalau orang sudah tidak percaya lagi pada pemerintahan. Apatisme itu kan melumpuhkan. Sementara, angka kemiskinan kita itu tinggi sekali. Saya rasa, jumlah orang miskin kita saat ini di atas 100 juta orang. Jumlah orang miskin sudah banyak, naiknya BBM hanya memperparah keadaan saja. Bayangkan orang berpenghasilan satu juta rupiah per-bulan, anak ada dua, bagaimana biaya sekolah, bagaimana harus memberi makan. Anda bisa bayangkan. Nah, yang berpenghasilan jauh di bawah itu juga ada. Tak terbayangkan. Pemerintah seperti tidak paham itu. Memang, sekarang ada BLT (Bantuan Langsung Tunai). Tapi itu tak memecahkan masalah. Tentu ada gunanya bagi orang miskin yang menerimanya. Tapi untuk jangka panjang itu tidak membantu, tidak memberdayakan orang miskin.
Tapi, apatisme terhadap pemerintah itu kemudian ada yang menjadi semacam sikap untuk tidak mengandalkan pada negara, dan mengurusi diri sendiri.
Ya, memang bisa begitu. Bisa begitu. Itu positif, artinya. Artinya, masyarakat akan bergerak. Ada banyak yang begitu. Tapi, belum merupakan gelombang besar. Itulah mengapa Syafii Maarif Institute berusaha mencari pemimpin-pemimpin lokal, agar bisa menangkap itu. Pokoknya pertimbangan kami adalah lokal, lokal, lokal.
Kalau skenario terbaik bagi pemilu tahun depan?
Saya berharap para pemimpin nasional ini cepat siuman, ya. Cepatkan selamatkan negeri ini. Berantakan, Indonesia ini. Indonesia adalah bangsa yang besar. Etnisitasnya banyak dan beragam. Bahasanya. Sumber dayanya. Kaya sekali. Tapi para pemimpin kita ini kan tak menyadari itu. Para pemimpin kita itu rata-rata ada di Jakarta saja. Jadi, tidak paham situasi. Saya belum melihat sosok pemimpin yang sudah siuman itu.
Kalau begitu, kita berharap apa?
Ya, siapa tahu dalam beberapa bulan ini muncul seorang macam Obama, begitu… (tertawa).
Kan sudah ada yang mengaku macam Obama….
(Tertawa kecil) Ya, itu sih mengaku-ngaku saja. Orang itu harus punya alasan untuk muncul, yang otentik. Yang saya maksud seperti Obama, ya mudanya, ya inspiratifnya, ya semua capaian politiknya. SBY dan Jusuf Kalla itu, kita ingat, kan juga mengampanyekan perubahan. Tapi kita lihat, apanya yang berubah? O, ya, tentu saja dalam masa kepemimpinan mereka ada banyak kendala, misalnya bencana alam. Tapi itu jangan dijadikan alasan.
Apa politik selalu merusak?
Kalau politik tak punya acuan moral, selalu merusak. Tapi kalau politik punya acuan moral, saya rasa bisa berguna. Kalau berpolitik tujuannya bukan sekadar mendapat kekuasaan, tapi bagaimana agar melunakkan kekuasaan itu sendiri untuk kepentingan orang banyak, saya rasa politik masih berguna.
Tapi kalau dalam sebuah sistem ada terlalu banyak orang yang korup….
Ya, kalau melihat itu, rasanya tak ada jalan keluar, ya. Tapi, masak tak ada. Cobalah untuk optimis. Tapi, optimisme yang kritis. Yang saya harapkan bagi para pemimpin nantinya, dalam pemilu depan, adalah: yang pertama, mereka harus pro-rakyat. Yang kedua, semua kegiatan harus mengacu pada filosofi dasar negara kita. Dan agama, asal dipahami secara benar, bisa membantu itu semua. Tapi, sekarang ini, agama kan seperti pakaian. Bisa dipakai, dilepaskan, dipakai, dilepaskan lagi. Itu nggak serius beragama, agama hanya jadi komoditi.
Tapi, soal beragama, sekarang ini di Indonesia tumbuh pengerasan sikap dan wacana. Bahkan terjadi juga kekerasan-kekerasan berbaju agama. Pengerasan itu tak hanya pada kelompok-kelompok terbatas saja. Tapi sudah merembes ke mimbar-mimbar Jumat, media massa, televisi, buku-buku laris….
Saya berharap itu jangan berumur panjang. Jadi, harus ada alternatif lain. Sebab, seorang Mahatma Gandhi, yang Hindu itu, kan anti-kekerasan. Masak orang Islam kalah dari orang Hindu? Sekarang ini banyak yang menggunakan ayat-ayat ‘keras’. Ayat-ayat ‘keras’ itu kan ada konteksnya. Dan jumlahnya sedikit sekali. Sebagian besar kan ayat yang menebarkan kasih sayang, yang menentang kemiskinan. Ayat-ayat itu harus dibaca. Para khatib Jumat ini harus mau belajar Islam lebih dalam. Lebih konprehensif.
Kaum moderat sendiri ndilalah-nya tidak melakukan kaderisasi….
Saya rasa ada, hanya tak jadi gelombang besar. Apa yang dilakukan Masdar F. Mas’udi di P3M, Wahid Institute, dan banyak lagi, itu kan upaya pengaderan juga. Hanya saja, kaum moderat ini kan berpikirnya jangka panjang. Sementara yang menghasung kekerasan ini …begini, kekerasan itu sekarang sudah menjadi mata pencaharian.
Di kalangan moderat sendiri, di lingkungan intelektualnya, terjadi pengerasan juga. Misalnya, kasus pemecatan dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik, antara lain karena dianggap menyebarkan pluralisme….
Ya, ya. Tapi itu riak kecil saja. Gelombang besar intelektual muda itu moderat. Para intelektual muda itu bagus-bagus. Mereka percaya umat Islam itu umatan wasathan, umat moderat. Tapi, kadang-kadang, bisa saja gelombang besar itu disusupi virus-virus pengerasan itu. Itu terkait latar belakang pendidikan mereka. Mereka tidak sempat melihat Al-Qur’an secara holistik. Kalau dilihat seluruhnya, sesungguhnya enak sekali. Kalau Anda paham Al-Qur’an, mendekati Al-Qur’an secara holistik, kita akan bisa bersahabat dengan siapa saja. Termasuk dengan orang tidak beriman.
Tapi, sekarang banyak yang menganggap pluralisme cara berpikir yang sesat….
Mereka menafsirkan pluralisme sebagai “orang bebas pindah-pindah agama”. Itu dari mana? Bisa saja ada pendapat begitu, tapi bukan begitu pluralisme yang kita pahami. Pluralisme artinya kita mengakui adanya keberbagaian. Apa itu agama, ideologi, hukum, itu berbagai-bagai. Al-Qur’an menyatakan bahwa, Wahai manusia, Kami jadikan kalian bersuku-suku agar saling mengenal. Saling mengenal itu artinya bertukar unsur-unsur peradaban. Kemudian dinyatakan bahwa yang paling mulia di antara manusia adalah yang paling bertakwa. Nah, yang paling bertakwa di sini artinya adalah yang kualitas spiritualnya paling tinggi. Yang bisa begini siapa saja dalam Islam, termasuk yang buta huruf. Bukan hanya mereka yang sekolah tinggi-tinggi saja, tapi seorang nelayan pun bisa menjadi yang paling mulia.
Bagaimana dengan ulama? Apakah di samping memahami Al-Qur’an, mereka juga harus lebih memahami kenyataan?
Saya rasa, para ulama sekarang, termasuk Majelis Ulama Indonesia, harus mendefinisikan ulang dirinya sendiri, peran mereka dalam masyarakat, dengan Al-Qur’an sebagai rujukan yang pertama dan utama. Tapi Al-Qur’an itu harus dipahami secara jujur, otentik, tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek, rendah, duniawi. ***
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!