Oleh Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin bekerja sama dengan Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) di Jakarta telah dibentuk sebuah panitia untuk menghormati usia panjang manusia luar biasa ini. Sebuah buku di bawah judul, 90 TAHUN ALI AUDAH: LEGENDA ZAMAN KITA sedang dirancang dan akan diterbitkan dalam tempo dekat untuk diluncurkan pada 16 Agustus 2014.
Tidak kurang dari 26 penulis yang diundang untuk mengisi buku yang akan terbit itu. Terdiri dari tiga bab: I. Ali Audah dalam Pandangan Para Sastrawan; II. Ali Audah Dalam Pandangan Para Cendekiawan; III. Ali Audah dalam Pandangan Para Penerjemah. Saya sendiri telah mengirimkan sebuah artikel kepada pihak panitia dengan judul “Ali Audah, Penakluk Masa Depan.” “Legenda Zaman Kita” yang menyertai judul buku tidaklah berlebihan, karena memang Ali Audah telah menjadi sebuah legenda di ranah tulis menulis, baik dalam bentuk karya asli, apalagi dalam format terjemahan atas buku-buku berbahasa asing penting yang sengaja dipilihnya untuk dipersembahkan kepada pembaca Indonesia. Resonansi kali ini hanyalah pragmen-pragmen dari kehidupan manusia yang penuh warna itu.
Ali Audah yang hanya mengenyam pendidikan tingkat kelas satu Sekolah Rakyat (SR) dan kelas dua Madrasah Ibtidaiyah itu memang bukan manusia biasa. Di masa kanak-kanak, apa pun tulisan yang dijumpainya langsung dibaca, seperti koran bungkus, catatan-catatan tertulis, apalagi jika bertemu buku, pasti dilalapnya. “Saya belajar membaca dan menulis dengan mencoret-coret huruf di tanah sambil main gundu,” katanya. Ketika di madrasah, dasar anak badung, Ali Audah pernah dihukum gurunya.
Sejak itu dia mengucapkan sayonara kepada madrasah itu, untuk tidak pernah kembali lagi. Ketika orang tuanya memberi uang untuk beli pakaian, Ali Audah justeru menggunakannya untuk beli buku. Buku, buku, buku, itulah isi otaknya, siang dan malam.
Dalam usia tujuh tahun ayahnya Salim Audah wafat. Maka kemudian menjadi tanggung jawab ibunya Aisyah Djurban untuk membesarkannya. Ali Audah telah yatim sejak usia dini. Ada juga ijazah yang dimilikinya dari kurus mengetik dan bahasa Arab, tetapi tidak dihiraukan di mana sekarang. Dia tidak peduli, karena ijazah itu baginya bukan untuk melamar pekerjaan, tetapi untuk kepentingan berkarya dalam mengisi karier hidupnya agar
bermakna. Bagi saya, Ali Audah adalah pengilham sejati. Amat sayang, baru mengenal riwayat hidupnya setelah saya tua renta, tetapi tetap saja memberi ilham yang meluluhkan perasaan karena bangga.
Selain sebagai penulis karya asli dan penerjemah, Ali Audah yang pendiam ini juga adalah seorang sastrawan, dosen, penerbit, dan pemikir yang diakui. Saya belum menghitung sudah berapa ribu halaman karya tulis yang dihasilkannya yang kabarnya biasa bekerja hampir saban hari dari pukul 09.00 sampai pukul 21.00 dengan ketekunan dan disiplin yang tinggi. Kerja berjam-jam ini telah ditandanginya selama puluhan tahun dan hasilnya
sungguh dahsyat. Dengan penguasaan bahasa asing: Arab, Inggris, Belanda, Perancis, dan Jerman, Ali Audah punya cukup bekal untuk membuka pintu khazanah peradaban manusia, timur dan barat.
Untuk terjemahan dari bahasa Arab, jasa sastrawan dan sutradara almarhum Asrul Sani perlu disebut, karena dialah yang mendorong Ali Audah untuk bergerak ke sana. Kata Asrul, penerjemah dari bahasa Eropa banyak tersedia, tetapi dari bahasa Arab, khususnya di bidang sastra, sulit dicari. Dorongan ini tempaknya sangat berkesan di hati Ali Audah. Buahnya tidak tanggung-tanggung. Ali Audah telah menerjemahkan karya Muhammad Husain Haikal, Taha Hussain, Najib Mahfuz, Saleh Fauzan Ahmad, Mahmud Taimur, dan banyak yang lain.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!