BALI – Banyak suvei menemukan adanya benih-benih radikalisme di lembaga-lembaga pendidikan, dari pendidikan tinggi hingga sekolah menengah. Fenomena ini cukup mengkhawatirkan. Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan langkah-langkah strategis, di antaranya adalah memalui pelatihan yang mengasah sensitifitas para guru untuk mendeterksi dini munculnya bibit-bibit intoleransi di sekolah.
“Faktor guru sangat penting karena di antara pintu masuk paham intoleran dan radikal ke sekolah-sekolah adalah melalui pintu guru, selain pintu kebijakan kepala sekolah dan alumni,” demikian kata Ternaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Abd Rohim Ghazali dalam acara ‘Program Penguatan kapasitas Auditor dan Pengawas Sekolah dalam Mempromosikan Toleransi dan Multikulturalisme di Sekolah’ yang dilaksanakan Maarif Institute bekerjasama dengan Inspektorat III Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 30 Juli-01 Agustus 2019 di Hotel Mercure Kuta Beach, Bali.
Selain Abd Rohim Ghazali, tampil sebagai pembicara Inspektur III Isnpektorat Jenderal Kemendikbud Muhaswad Dwiyanto, Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fajar Riza Ul Haq, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Bali, I Nyoman Darma Putera, dan akademisi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Zuly Qodir.
Dalam pelatihan yang diikuti 30 guru yang terdiri dari pengawas dan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan dari Kabupaten Badung, Kota Denpasar, Kabupatren Tabanan, dan Kabupaten Gianyar, disampaikan materi pemahaman yang mendetail dan komprehensip tentang intoleransi dan radikalisme berikut contoh-contohnya yang konkret. Pemahaman ini penting mengingat banyak guru yang kurang paham tentang bagaimana pemikiran dan praktik intoleransi dan radikalisme di sekolah.
Ketidakpahaman guru tentang intoleransi dan radikalisme membuat mereka abai dan tidak peduli dengan merasuknya paham-paham yang membahayakan keutuhan bangsa ini. intoleransi dibiarkan merebak seolah-olah sesuatu yang biasa dan dianggap tidak membahayakan.
elanjutnya, para peserta dilatih untuk memahami empati, toleransi, intoleransi, kekerasan, dan perdamaian. Para peserta umumnya memehami makna dari kata-kata ini, namun bagaimana mempraktikannya masih bannyak yang keliru. Misalnya empati dipraktikkan dengan merusak toleransi dan perdamaian, atau toleransi diterapkan dengan membiarkan intoleransi dan kekerasan.
Selain itu, para peserta juga dilatih untuk melakukan komunikasi yang konstruktif serta bagaimana membuat kontra narasi terhadap berkembangnya natasi-narasi yang destruktif seperti berita bohong (hoax), unjaran kebencian (hate speech), provokasi, dan pemelintiran berita dengan mengabaikan fakta-fakta.
![](https://maarifinstitute.org/wp-content/uploads/Bali5-1030x487.jpg)
Kemudian pada peserta juga dilatih bagaimana caranya memahami dan mengatasi masalah-masalah yang dihadapi sekolahnya baik secara internal maupun eksternal, serta bagaimana memaksimalkan fungsi jaringan antar sekolah untuk bersama-sama mengatasi masalah-masalah yang ada di sekolah masing-masing. Dengan materi ini diharapkan tidak ada lagi sekolah yang merasa maju sendiri, egois, dan neggan memberikan bantuan kepada sekolah lain meskipun jaraknya berdekatan.
Setiap materi disampaikan dengan sistem andragogi yang dipadukan dengan permainan dan simulasi yang menarik dan tidak membosankan. Karena itu, para peserta merasa senang dan tidak ngantuk walaupun dalam kondisi capai dan waktu yang padat.
Setiap peserta antusias menyampaikan pengalaman masing-masing, baik pada saat memnghadapi masalah maupun bagaimana cara mengatasinya. “Pelatihan ini betul-betul bermanfaat,” kata salah seorang peserta.
Dari pelatihan ini diharapkan para peserta akan menjadi pionir di sekolahnya masing-masing untuk menularkan pemahaman dan ketajaman deteksi dini terhadap intoleransi dan radikalisme yang merusak kebersamaan dan keberagaman.
Virus intoleransi, walau mungkin sedikit, akan menjadi seperti nila yang merusak susu sebelanga. Banyak sekolah yang prestasinya bagus, inovatif, dengan akreditasi “A” namun bisa rusak dan menjadi ajang kecaman publik lantaran munculnya gejala intoleransi yang dibiarkan atau bahkan sengaja dikembangkan.
Virus intoleransi akan terus merebak dan menjalar kemana-mana jika tidak ada pihak-pihak yang mau mencegah atau minimal menghambatnya. “Untuk mencegahnya agar tidak menjalar ke sekolah-sekolah, peran guru sangatlan penting!” tandas Abd Rohim Ghazali.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!