Promosi Toleransi dan Multikulturalisme di Sekolah

Program penguatan kapasitas auditor dan pengawas sekolah sebagai bagian dari upaya pembinaan ideologi kebangsaan dan kebhinekaan, sama halnya untuk penguatan kapasitas  pengetahuan  dan  keterampilan pengawasan sekolah untuk pencegahan intoleransi dan radikalisme di Sekolah

Output dari Program ini :

Program ini telah menghasilkan output yaitu:

  1. 1.Tim pelatih dari internal Inspektorat III, Itjen Kemendikbud RI
  2. 2.Adanya Pengawas Sekolah yang memiliki kapasitas pencegahan radikalisme di
  3. sekolah
  4. Modul Pelatihan “Mempromosikan Toleransi dan Multikulturalisme di Sekolah”
  5. Buku “Pengayaan Pengawas Sekolah untuk Mempromosikan Toleransi dan Multikulturalisme di Sekolah

Program ini dilaksanakan pada tahun 2019 – 2020 bekerjasama dengan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

JURNAL MAARIF

Halaqah Fikih Kebhinekaan 2015

Indonesia dikenal sebagai negara terbesar dengan sistem Demokrasi, ketiga setelah Amerika dan India. Tak hanya itu, Indonesia juga dikenal dengan negara berpenduduk mayoritas Muslim. Fakta menyebutkan bahwa jumlah penganut agama Islam adalah tertinggi di Indonesia. Dari data yang ada, pada tahun 2010 umat Islam Indonesia berjumlah 207 juta jiwa atau 87,2% dari total penduduk Indonesia. Sebuah fakta kuantitatif yang tidak bisa diabaikan.Kaitan antara demokrasi dan masyarakat Muslim tentu menjadi diskursus yang masih tetap menarik hingga hari ini.

Diskursus ini membentang dalam banyak hal, seperti dalam konteks relasi antarumat beragama dan intra umat beragama dan juga pada relasi mayoritas dan minoritas. Dan keduanya akan semakin kompleks jika dikaitkan dengan konsekuensi demokrasi di Indonesia. Oleh karenanya, tak jarang ummat harus dihadapkan pada realitas sosial dan politik yang tidak mudah dan memerlukan telaah yang mendalam untuk menyikapinya.

Dalam relasi antarumat beragama, ada banyak cerita sukses (success story) tentang bagaimana Toleransi berkembang di masyarakat kita. Pada 5 Oktober lalu, publik terhenyak dengan pernyataan permohonan maaf imam masjid besar kota Malang kepada umat Kristiani. Permohonan maaf ini dilakukan lantaran peribadatan gereja harus ditunda karena jalan menuju gereja dipenuhi jamaah sholat Idul Adha, yang kebetulan berdekatan dengan gereja (Kompas, 10 Oktober). Tak hanya itu, di Solo, masjid Al-hikmah dan gereja GKJ dibangun berdempetan, bahkan menggunakan satu nomor alamat. Sebelumnya, di Jogjakarta publik dibuat terharu dengan adanya foto yang marak di social media tentang seorang perempuan berjilbab tengah menggandeng seorang suster Katholik menyeberang di bilangan jalan Malioboro. Publik begitu terharu dangan situasi ini. Toleransi adalah fakta yang hidup dalam masyarakat kita.

Meskipun demikian, fakta-fakta ini tak tunggal. Selain toleransi yang begitu kuat, Indonesia juga memiliki persoalan pelik dalam relasi umat beragama dalam konteks mayoritas dan minoritas, utamanya jika dikaitkan dengan politik atau power relations dan soal kepemimpinan. Dalam beberapa daerah yang mayoritas penduduknya Muslim dan dipimpin oleh pemimpin non Muslim, biasanya timbuk gejolak penolakan terhadap pemimpin itu. Bahkan, penolakan itu kadang berujung pada aksi kekerasan.

Alasan-alasan SARA kembali digunakan untuk aksi-aksi politik segelintir orang. Ini adalah realitas politik yang dihadapi ummat hari ini. Ummat juga terkadang seperti tak memiliki rujukan tentang bagaimana menyikapi realitas politik yang demikian. Mereka kebanyakan larut dalam suasana emosional dan hanya mengikuti pemimpinnya tanpa sikap yang kritis. Seyogyanya diskusi dan musyawarah lebih didahulukan dibandingkan tindakan kekerasan. Sebuah ijtihad baru mesti dilakukan, untuk mendapatkan sebesar kemaslahatan ummat.

Masih terjadinya penolakan terhadap pemimpin yang berasal dari golongan yang berbeda, baik dari sisi agama maupun etnis, termasuk kelompok minoritas itu tentu menjadi sebuah keprihatinan sendiri. Hal ini membuktikan bahwa persoalan komitmen terhadap kebhinnekaan, pluralisme, toleransi, dan perlindungan terhadap minoritas, adalah beberapa persoalan serius yang masih terjadi di Indonesia hingga hari ini. Terutama jika dikaitkan dengan persoalan kepemimpinan politik dan pengambil kebijakan. Demokrasi sebagai sebuah pencapaian, masih harus diperjuangkan dalam konteks kesetaraan antar warga. Demokrasi tidak bisa ditegakkan tanpa ada pengakuan kesetaraan dan penghormatan pada perbedaan dan kemajemukan. Bahkan, Konstitusi Indonesia menyatakan bahwa Negara melindungi segenap warga negaranya dan semuanya berhak mendapatkan hak-hak ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang sama.

Berdasarkan pada realitas yang ada saat ini, tentu kita perlu menelaah kembali dan menafsir ulang atas berbagai pemahaman dan pandangan para ulama klasik yang tertuang dalam disiplin Fikih, terutama agar pandangan-pandangan fikih yang bersifat temporer itu dapat sesuai dengan tuntutan persoalan-persoalan kontekstual-kontemporer masyarakat Indonesia dewasa ini. Salah satunya adalah terkait persoalan kepemimpinan dalam masyarakat majemuk dan hubungan sosial antar umat beragama. Sejauh mana pandangan-pandangan yang tertuang dalam Fiqh al-siyasah dan Fiqh al-mujtama’ kompatibel dengan realitas sosial-politik hari ini, patut untuk kita pertanyakan kembali.

Oleh karena itu, berdasarkan beberapa fakta persoalan di atas, maka penting kiranya digelar sebuah Halaqah yang memberikan ruang pada gagasan-gagasan barupa kontekstualisasi Fikih, terutama Fiqh siyasah dan Fiqh imamah yang akan menuntun ummat dalam menyikapi realitas politik kekinian, dalam kaitannya dengan kepemimpinan dalam masyarakat majemuk, juga tentang isu mayoritas dan minoritas. Melalui halaqah ini, harapannya dapat disusun sebuah kerangka Fikih Kebhinnekaan yang akan memberikan panduan pada ummat untuk menakar problematika kekinian tanpa menghilangkan nilai dan pesan-pesan penting agama (Maqashidus Syari’ah). Untuk itu, sangat penting untuk melibatkan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai ormas Islam terbesar dan sekaligus memiliki kesamaan visi pada Keislaman dan Keindonesiaan.

Halaqah ini digelar untuk turut memecahkan persoalan kontemporer keumatan yang berkaitan dengan isu kepemimpinan politik dalam masyarakat majemuk, hubungan antara mayoritas dan minoritas agama, dan persoalan-persoalan keumatan lainnya yang perlu segera diselesaikan. Agar ummat dapat melihat persoalan dengan jernih dan mampu menjadi bagian dari solusi. Seperti kata Buya Syafii Maarif yang menyitir ungkapan Nabi, “agar ummat tak hanya menjadi buih”.

Tanggal

Mensyukuri 80 th Ahmad Syafii Maarif

Persoalan keteladanan menjadi salah satu persoalan pelik bangsa ini. Sepak terjang para elit politik dan birokrat yang sering kali kotor dan hipokritis telah menyemai krisis kepercayaan di masyarakat. Hal ini berdampak pada timbulnya persepsi bahwa panggung kepemimpinan saat ini miskin karakter yang dapat dijadikan teladan. Jika kekosongan suri teladan ini berlanjut, bukan tidak mungkin generasi saat ini menjadi apatis terhadap masa depan bangsanya. Peran kaum intelektual, budayawan, pemuka agama, dan pejuang kemanusiaan kian penting dirasakan. Melalui kepedulian dan partisipasi kewargaan mereka, keajegan nilai-nilai moral dan keadaban publik masih punya harapan.

Keteladanan perilaku selalu dibangun dari konsistensi dan komitmen moral yang teguh pada nilai-nilai keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Diantara tokoh yang selama ini dikenal publik teguh memegang prinsip-prinsip itu adalah Ahmad Syafii Maarif  – atau akrab disebut Buya Syafii Maarif. Dengan berbagai aktivitas dan buah pemikirannya, Buya Syafii sangat diakui kiprah dan sumbangsihnya, baik di dalam maupun di luar negeri. Buya Syafii Maarif juga sering dilabeli sebagai salah satu guru bangsa yang tersisa di negeri ini pasca wafatnya Nurcholish Madjid pada tahun 2005 dan Gus Dur pada tahun 2009. Tidak heran jika banyak orang yang mencari Buya Syafii Maarif untuk memperoleh nasehat dan panduan dalam menata bangsa Indonesia. Buya Syafii juga sering menjadi rujukan ketika situasi moralitas dan kehidupan politik pada bangsa ini sedang mengalami cobaan dan pergolakan. Dan itu mungkin dikarenakan oleh komitmen moral dan intelektual Buya Syafii yang banyak dijadikan tauladan oleh generasi muda di Indonesia.

Perjalanan hidup Buya Syafii Maarif mencerminkan sisi lain pergulatan seorang anak bangsa yang mengalami transformasi radikal; dari seorang Muslim Fundamentalis yang meyakini Negara Islam menjadi sosok Muslim Pluralis pembela Pancasila dan kemanusiaan. Ia lahir di Bumi Minang, merantau ke Tanah Jawa pada usia remaja, dan berguru ke Negeri Paman Sam yang membuatnya bertemu dengan Fazlurrahman, tokoh penting dibalik transformasi radikal Syafii Maarif.

Perjalanan Buya Syafii Maarif selama 80 tahun – yang akan jatuh pada 31 Mei 2015 – merupakan ikhtiar pencarian kesadaran dan identitas seorang Muslim dalam bingkai keindonesiaan yang majemuk dan kemanusiaan yang universal. Ia adalah prototipe manusia yang terus mencoba menemukan makna terdalam dari gagasan tentang Keindonesiaan, Keislaman dan Kemanusiaan. Bentangan gagasannya yang begitu cergas dan genuine, tak hanya dibangun dari petualangan keilmuan, namun juga yang lebih penting adalah dari pengalaman perjumpaan kebudayaan yang ia lakoni. Identitas hybrid yang tidak mempertentangkan antara Islam dan Indonesia. Bahkan lebih dari itu, Baginya, Keislaman seseorang harus diuji dengan kominten keindonesiaan dan kemanusiaannya. Maka, menjadi seorang Muslim adalah menjadi seorang Indonesia.

Keinginan untuk mensyukuri karunia Tuhan yang telah menganugerahi Buya Syafii dengan usia 80 tahun sekaligus berbagi refleksi atas perjalanan hidupnya itu menjadi alasan utama MAARIF Institute mengadakan serangkaian kegiatan Mensyukuri 80 Tahun Syafii Maarif (1935 – 2015). Rangkaian kegiatan selama tahun 2015 ini didedikasikan untuk memperkuat solidaritas keindonesian atas dasar kebhinekaan, keadilan, dan kemanusiaan.

Pesantren Jurnalistik Ramadhan 2015

Latar Belakang

 

Seiring dengan perkembangan teknologi yang saban hari kian canggih, dalam era digitalisasi seperti saat ini penggunaan internet seakan kian tak terhindarkan lagi. Jika sebelumnya informasi hanya terpusat pada media cetak dan elektronik, maka saat ini bisa berasal dari mana saja. Penyebaran informasi bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dimana saja, dan tentang apa saja. Masyarakat yang pada mulanya hanya menjadi konsumen media, kini bisa beralih fungsi sekaligus berkontribusi menjadi produsen berita.

Menurut lembaga riset pasar e-Marketer, pada tahun 2014 populasi netter tanah air mencapai 83,7 juta jiwa. Angka tersebut mendudukkan Indonesia di peringkat keenam dunia dalam hal jumlah pengguna internet. Sementara itu We Are Social, sebuah lembaga yang didirikan pada tahun 2008 dan fokus kepada pemahaman media sosial, mengeluarkan laporan tahunan mengenai data jumlah pengguna website, mobile, dan media sosial di seluruh dunia. Sebagai negara berkembang, di Indonesia terdapat 72,7 juta pengguna internet aktif, 72 juta pengguna aktif sosial media, dan 308,2 juta pengguna handphone pada tahun 2014.

Dalam laporan tahunannya We Are Social juga menyampaikan bahwa pengguna internet di Indonesia di awal tahun tidak mengalami pertumbuhan yang berarti, dimana jumlah pengguna media sosial meningkat sebesar 16 persen, pengguna media sosial yang mengakses dari perangkat mobile meningkat 19 persen, dan pengguna ponsel meningkat 9 persen. Meskipun tidak signifikan, namun meningkatnya penggunaan internet tersebut harus kita cermati karena 30 juta pengguna internet di negara kita adalah remaja berusia 10-19 tahun. Hal tersebut sebagaimana dilaporkan UNICEF pada tahun 2014 hasil kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi, The Berkman Center for Internet and Society, dan Harvard University.

Tingginya angka pengguna internet di kalangan remaja harus diimbangi dengan kemampuan menganalisa media itu sendiri. Jika para remaja tidak mempunyai kemampuan semacam itu dikhawatirkan akan terjebak pada distorsi pemberitaan yang tersaji. Lebih parah daripada distorsi tersebut adalah propaganda atas nama agama yang kerap dilakukan melalui sosial media. Kasus pemblokiran 22 situs yang diduga mempropaganda paham islam radikal menjadi salah satu contoh.

Perdebatan mengenai pemblokiran 22 situs yang dituding mempropagandakan paham Islam radikal masih belum tuntas. Namun pernyataan Kepala Komisi Hukum Dewan Pers yang menegaskan bahwa 22 situs tersebut bukanlah produk jurnalistik perlu digarisbawahi. Bahkan Dewan Pers melanjutkan bahwa hampir semua media tersebut tidak pernah terdaftar di Dewan Pers. Alih-alih terdaftar, menurut Dewan Pers di antara media tersebut pernah dilaporkan karena dinilai melanggar kode etik jurnalisme. Namun mereka tidak bisa memprosesnya karena situs yang dilaporkan memang bukanlah produk jurnalistik.

Fenomena seperti itu mendorong munculnya kebutuhan akan literasi media bagi para remaja yang sebagian besar masih berstatus pelajar Sekolah Menengah Atas. Para pelajar inilah yang rentan terhipnotis oleh mitos-mitos yang diciptakan dalam social media. Berangkat dari latar belakang itulah MAARIF Institute memandang pentingnya penyelenggaraan Pelatihan Jurnalistik yang terfokus pada literasi media: pelatihan menulis kreatif dan kemampuan analisa media. Pelatihan ini tidak diberikan kepada para pelajar SMA yang kosong, melainkan mereka yang telah mendapatkan materi tentang nilai-nilai kebangsaan berupa Sekolah Pelopor Kebangsaan dan Jambore Pelajar Muslim 2014. MAARIF Institute berupaya untuk menjadikan pelajar ini sebagai agen-agen perubahan yang dapat mencerahkan teman sebaya di daerahnya masing-masing.

Tujuan Kegiatan

  1. Meningkatkan kemampuan pelajar muslim untuk berkampanye melalui tulisan di berbagai media popular.
  2. Memperkuat kemampuan pelajar muslim dalam membaca dan menganalisis berbagai media sebagai sumber informasi di era digital.
  3. Memperkaya perspektif pelajar Muslim sehingga dapat memperkuat upaya kampanye nilai-nilai kebangsaan di kalangan sebaya.

 

Bentuk Kegiatan

Bentuk kegiatan ini adalah:

  1. Pelatihan dan Praktik analisa media
  2. Pelatihan menulis kreatif.

 

Nama dan Tema Kegiatan

Nama kegiatan ini adalah Pelatihan Jurnalistik Ramadhan. Sedangkan tema kegiatan ini adalah “Pelajar Melek Sosial Media”.

Metode Kegiatan

Metode dalam kegiatan ini antara lain ceramah, pemutaran dan diskusi film, simulasi, dan game edukatif.

Materi Kegiatan

Materi pelatihan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut:

  • Peran Pers Bagi Kehidupan Indonesia yang Harmoni dan Damai
  • Media dan Upaya Mengarusutamakan Islam Moderat
  • Analisa Media
  • Pelatihan Menulis Kreatif di Sosial Media
  • Strategi Kampanye di Sosial Media

Peserta

Target peserta dari kegiatan ini adalah pelajar siswa/I alumni pelatihan Sekolah Pelopor Kebangsaan dan Jambore Pelajar Muslim 2014. Kegiatan ini akan melibatkan 30 orang pelajar terpilih untuk satu kali pelatihan.

 

Tempat & Waktu Kegiatan

Kegiatan ini akan diselenggarakan di Hostel Pradana (SMK 57 Jakarta), Jl. Margasatwa No. 38B, Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dan berlangsung pada tanggal 26-28 Juni 2015 (rundown terlampir).

Tahapan

  1. Pendaftaran Peserta Pelatihan Jurnalistik : 11-29 Mei 2015.
  2. Proses Seleksi Kepesertaan : 1-4 Juni 2015.
  3. Pengumuman Hasil Seleksi Peserta : 5 Juni 2015.
  4. Pelaksanaan Kegiatan : 26-28 Juni 2015.

Nara Sumber dan Fasilitator

Narasumber dan fasilitator dalam kegiatan ini adalah Tim dari MAARIF Institute, Dewan Pers, Gerakan Islam Cinta, Kompas, Republika dan ICT Watch.

 

Mitra Program

Dirjen Pendididkan Menen- gah Kemendikbud RI, Gerakan Islam Cinta, Pusat Media Damai (PMD-BNPT) dan KOMPAS dalam pelaksanaan kegiatan ini.
Persyaratan Peserta

  1. Pelajar SMA Negeri/swasta sederajat alumni pelatihan Sekolah Pelopor Kebangsaan dan Jambore Pelajar Muslim 2014, yang ketika pelatihan Sekolah Pelopor Kebangsaan dan Jambore Pelajar Muslim berstatus pelajar kelas X & XI atau pada tahun ajaran baru 2015-2016 berstatus pelajar kelas XI & XII.
  2. Mengirimkan esai dengan tema “Peran Pelajar di Era Sosial Media” (300 kata).
  3. Lolos seleksi panitia.
  4. Melengkapi data pribadi yang sudah disediakan pada formulir.
  5. Menyertakan surat rekomendasi dari sekolah.
  6. Menyertakan surat keterangan sehat dari dokter/klinik/puskesmas maupun rumah sakit setempat.
  7. Menyertakan surat izin orangtua/wali.

Call for Paper Jurnal MAARIF

Term of Reference

Jurnal Maarif Edisi ke-25 Vol.11 No.1 Juni 2016

Tafsir Kontemporer: Membedah Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah

Pendahuluan

Pasca reformasi 1998 yang mengakhiri kekuasaan Orde Baru, praktek Penataran P-4 yang kental nuansa indoktrinasi dibubarkan. Pelan tapi pasti, Pancasila seolah mulai terlupakan. Situasi ini berkelindan dengan tumbuhnya keresahan di tengah masyarakat bahwa Indonesia telah kehilangan jati diri bangsa, maraknya kasus korupsi, neo-liberalisme telah merasuk dalam setiap relung kebijakan ekonomi dan politik, maraknya praktek-praktek intoleransi mengancam keberagaman dan harmoni kehidupan bangsa, hingga tawaran ideologi alternatif seperti khilafah.

Kasus kelompok Gafatar yang ingin mendirikan negara sendiri hingga keberangkatan sebagian kecil warga negara Indonesia untuk bergabung dengan Negara Islam di Suriah dan Irak menjadi bukti terbaru bagaimana tawaran ideologi lain kian menggerus rasa kebangsaan dan Ideologi bangsa. Tidak kurang 500-700 pejuang dari Indonesia bergabung dengan ISIS dan bergabung bersama kurang lebih 31.000 orang dari total 86 negara yang bergabung ke Suriah. (TSG, 2015). Bahrun Naim adalah satu diantara ratusan “pejuang asing” (foreign fighters) dari Indonesia yang berangkat ke Suriah untuk bergabung bersama ISIS dan Khalifah al-Bagdadi dan dianggap menjadi otak serangan bom Thamrin 17 Januari 2016 lalu. Sejalan dengan itu, menurut hasil survey yang dilakukan oleh Setara Institute, 11 % dari anak-anak SMU di Jakarta dan Bandung memilih khilafah sebagai sistem politik atau pemeritahan yang paling baik untuk diterapkan di Indonesia. 86% memilih demokrasi. 2 persen menjawab tidak tahu dan 1 persen memilih monarki (Setara Institute, 2016). Fenomena ini cukup mengkhawatirkan. Terlebih, yang menjadi sasaran adalah generasi muda dari sekolah menengah.

Fenomena di atas yang terus terjadi dan berkembang di tanah air menyadarkan pemerintah dan masyarakat akan pentingnya Pancasila sebagai dasar yang mempersatukan Indonesia. Pancasila bersumber dari nilai-nilai kebijaksanaan masa silam yang terpendam di bumi nusantara selama ribuan tahun, Pancasila menjadi perekat ideologis bagi sekat-sekat anak bangsa demi terciptanya ‘rumah kebangsaan’. Kebangkitan filosofi kebangsaan ini menjadi suatu keniscayaan di tengah kegamangan kehidupan bangsa. Namun bagaimana mendorong kebangkitan kembali Pancasila? Yudi Latif menulis:

Kebangkitan atau renaissance Pancasila hanya dimungkinkan bila mengikuti cara Soekarno menggali kembali mutiara terpendam, mengargumentasikan, mengontekstualisasikan dalam kehidupan semasa, dan mengupayakan aktualisasinya dalam kehidupan masa kini dan masa depan” (2011: 50).

Semangat dan kesadaran untuk mengkampanyekan, mengkontekstualisasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila kian meluas, dan dilakukan tidak hanya oleh pemerintah, namun juga kelompok masyarakat. Di masa kepemimpinan almarhum Taufik Kiemas, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2009-2014, giat mengkampanyekan Empat Pilar Negara, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini dilakukan untuk membangun kesadaran warga akan pentingnya empat pilar tersebut untuk persatuan dan kesatuan bangsa. Di masa itu juga ditetapkan tanggal 18 Agustus sebagai Hari Konstitusi.

Demikian pula kini Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Kelahiran Pancasila melalui Surat Keputusan Presiden (Keppres) No.24 Tahun 2016. Dalam keputusan tersebut, tertera bagaimana proses ditetapkannya tanggal tersebut. Walau ada kritik yang menyatakan bahwa seharusnya penetapan Hari Pancasila bukanlah pada 1 Juni, melainkan tanggal 22 Juni mengingat pada tanggal yang disebut terakhir, sidang BPUPKI menetapkan susunan Pancasila yang telah direvisi—dengan merubah struktur Pancasila sebagaimana isi Pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 (Ketuhanan menjadi sila 1 dan diikuti klausul “…dengan kewajiban menjalankan syariát Islam bagi pemeluk-pemeluknya). Selain 22 Juni, ada pula yang mengusulkan Hari Pancasila pada tanggal 18 Agustus, karena pada tanggal itu susunan Pancasila menjadi rumusan final dan tercantum dalam naskah UUD 1945 serta mengganti 7 kata dengan “…Yang Maha Esa”setelah kata “Ketuhanan”. Namun, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Keputusan Presiden tersebut di atas, tanggal 18 Agustus telah ditetapkan sebagai Hari Konstitusi. Selain itu, dalam pertimbangan, telah dijelaskan bahwa proses Pancasila menjadi dasar Negara tidak terpisahkan dengan tanggal 22 Juni dan 18 Agustus 1945. Penetapan Hari Pancasila tanggal 1 Juni lebih pada menghargai dan menghormati Soekarno sebagai pencetus gagasan tersebut.

Selain itu, di kelompok masyarakat, Muktamar Muhammadiyah ke 47 di Makassar, 3-7 Agustus 2015, PP. Muhammadiyah mempresentasikan dokumen Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi Wa Syahadahdi depan ribuan muktamirin.Dokumen tersebut kemudian disetujui sebagai produk muktamar. Dengan demikian, dokumen tersebut merupakan sikap resmi Muhammadiyah. Dokumen ini mempertegas keberpihakan Muhammadiyah kepada Negara Pancasila di tengah perebutan wacana dan konsep pemerintahan di ruang publik pasca reformasi. Muhammadiyah meyakini bahwa Pancasila merupakan ideologi yang mempersatukan anak bangsa di bawah bendera merah putih.

Sikap Muhammadiyah kepada Pancasila bukanlah hal baru. Menilik sejarah, dialektika Muhammadiyah dengan Pancasila merupakan proses yang panjang. Di tahun 1980-an, pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan Asas Tunggal kepada semua kekuatan politik. Merespon hal itu, Muhammadiyah menemui Menteri Dalam Negeri saat itu, Amir Mahmud, untuk mendapat penjelasan mengenai kebijakan Soeharto tersebut. Menurut Amir Mahmud, yang terkena kebijakan tersebut hanya kekuatan politik seperti Parpol dan Golkar. Sedang Ormas tidak perlu mengganti asasnya. Penjelasan Amir Mahmud membuat Muhammadiyah lega. Namun pada kenyataannya, ormas-ormas pun diwajibkan untuk mengganti asasnya. Di tingkat pimpinan Muhammadiyah, sebetulnya juga terjadi perbedaan pendapat ihwal pergantian asas ini. Namun hal ini diselesaikan melalui proses dialog di antara pimpinan.

Namun karena situasi nasional saat itu menentukan perjalanan organisasi, pembahasan mengenai asas itu pun di bawa ke Muktamar Muhammadiyah ke-41 pada tahun 1985 di Surakarta. Setelah perdebatan yang hangat, akhirnya muktamar menetapkan menerima Pancasila sebagai asas organisasi. Pak A.R. Fakhrudin, ketua PP. Muhammadiyah saat itu, membuat perumpamaan kebijakan asas tunggal dengan peraturan helm bagi pengendara motor yang dibuat oleh pemerintah. Helm digunakan untuk melindungi pengendara selama dalam perjalanan. Ketika tiba di rumah, kita bisa menggunakan peci atau tutup kepala. Dengan keputusan Muktamar ke 41 di Surakarta tersebut, secara resmi Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai asasnya. Hal ini berlaku menyeluruh hingga ke tingkat organisasi otonom Muhammadiyah yang disarankan (diharuskan) untuk mengganti asasnya. Dinamika pun terjadi di tingkat organisasi otonom. Namun, secara keseluruhan, ortom mengikuti keputusan induk organisasinya.

Seiring perubahan politik dengan terjadinya reformasi 1998, aspirasi warga yang selama ini terkekang mendapat ruang-ruang berekspresi. Termasuk dalam hal ini adalah asas organisasi, baik orpol ataupun ormas. Penetapan kebijakan asas tunggal membuat organisasi yang selama ini tidak puas dengan kebijakan Soeharto serta praktik manipulasi nilai-nilai Pancasila untuk kepentingan politik, memutuskan untuk merubah asasnya kembali ke asas Islam. Termasuk di dalamnya Muhammadiyah. Muktamar ke 44 di Jakarta menetapkan pergantian asas Muhammadiyah. Pergantian asas ini bukan berarti Muhammadiyah tidak mengakui Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa, namun bentuk akomodasi Muhammadiyah terhadap aspirasi yang berkembang di tengah konstituennya.

Muhammadiyah menyadari peran penting Pancasila dalam merawat taman sari Indonesia, menjaga keberlangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, tugas sejarah yang telah ditorehkan oleh Prof. Kahar Mudzakir, Mr.Kasman Singodimejo dan Ki Bagus Hadikusumo dalam Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945, diteruskan oleh pimpinan Muhammadiyah dengan menyusun dokumen persyarikatan yang disebutkan di atas, yakni Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah. Hal ini sejalan dengan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) poin 5, yaitu:

Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT:

“BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR” (MKCH Muhammadiyah)

Namun apa yang dimaksud dengan konsensus nasional? Apa pula yang dimaksud dengan (tempat) kesaksian? Apa konsekuensi dari Pancasila sebagai konsensus nasional? Edisi ini ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana genealogi Darul Ahdi dari konsep fiqh Islam klasik (Fiqh Siyasah) hingga fikih kontemporer, Bagaimana konsep Darul Ahdi Wa Syahadahmenurut dokumen resmi Muhammadiyah, Bagaimana aktualisasi konsep tersebut dalam kehidupan bangsa dan negara, bagaimana landasan historis dan ideologis Pancasila sebagai dasar atau asas negara? Mengapa kelahiran Pancasila dipersoalkan? Apakah Ideologi Pancasila merupakan sintesa dari tiga ideologi besar dunia (Nasionalis, religius, sosialis)? Apakah negara Pancasila merupakan bangunan Negara Sekuler-Religius/Sekuler-Islami? Bagaimana aktualisasi nilai Ketuhanan dalam kehidupan bangsa? Bagaimana upaya cendekiawan agama untuk menempatkan demokrasi dan sekularisme dalam kerangka agama? Bagaimana upaya cendekiawan Nasionalis untuk Menempatkan agama dalam kerangka negara sekuler dan demokrasi?Bagaimana aktualisasi nilai kemanusiaan dan keadilan di tengah pembangunan ekonomi dan tantangan perdagangan bebas? Apa itu Demosyurakrasi Pancasila? Bagaimana demokrasi perwakilan mendorong kesejahteraan rakyat? Mengapa Pancasila memiliki titik temu dengan Tauhid Sosial? Apakah otonomi daerah gerbang menuju federasi? Bagaimana konsep keadilan sosial Pancasila dan relevansinya dengan Teologi Al-Maun?

Para kontributor diharapkan bisa menyumbangkan artikel-artikel yang bisa memberikan perspektif dan Tafsir Kontemporer Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah. Kami berharap bahwa diskusi ini dapat membantu memperjelas konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah dan aktualisasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Call for Paper

Adapun Call for Paper akan dibuka dengan tema atau topik sebagai berikut:

  1. Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah?
  2. Negara Kesejahteraan: Upaya Membumikan Keadilan Sosial
  3. Otonomi Daerah: Gerbang  Menuju Federasi?
  4. Demosyurakrasi Pancasila: Jembatan Demokrasi dan Permusyawaratan

Petunjuk dan Format Penulisan Artikel

  1. MAARIF hanya memuat artikel atau esai hasil refleksi, riset, atau kajian kritis yang belum pernah dipublikasikan mengenai tema-tema yang ditetapkan oleh redaksi berdasarkan Term of Reference yang dibuat.
  2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia dengan batas minimal panjang tulisan 4.000 kata (10 halaman) dengan batas maksimal 6000 kata (15 halaman), 1 spasi, A4; dilengkapi dengan abstrak maksimal 100 kata, dan kata-kata kunci maksimal 7 kata.
  3. Artikel memuat: Judul, Nama Penulis (beserta deskripsi biodata singkat dan alamat e-mail pribadi), Abstrak (dalam bahasa Indonesia), Kata-kata Kunci (dalam bahasa Indonesia), Pendahuluan (tanpa anak judul), Subjudul-subjudul (sesuai kebutuhan), Penutup, dan Daftar Pustaka (bahan rujukan).
  4. Catatan-catatan berupa referensi ditulis secara lengkap dalam Catatan Kaki dengan urutan: Nama Lengkap Pengarang, Judul Lengkap Sumber, Tempat Terbit, Penerbit, Tahun Terbit, dan nomor halaman. Rujukan dari internet harap mencantumkan halaman http secara lengkap serta tanggal pengaksesannya.
  5. Kutipan lebih dari empat baris diketik dengan spasi tunggal dan diberi baris baru. Kutipan empat baris atau kurang dituliskan sebagai sambungan kalimat dan dimasukkan dalam teks memakai tanda petik.
  6. Daftar Pustaka diurutkan secara alfabetis, dan hanya memuat literatur yang dirujuk dalam artikel. Contoh:

Lijphart, Arend. Democracy in Plural Societies. New Haven: Yale University Press, 1977.

Skolimowski, Henryk, David Skrbina, and Juanita Skolimowski. World As Sanctuary: The Cosmic Philosophy of Henryk Skolimowski. Detroit: Creative Fire Press, 2010.

Glazer, Sidney, and A L. Tibawi. “Review of American Interests in Syria, 1800-1901: a Study of Educational, Literary and Religious Work.” The American Historical Review. 73.1 (1967): 187-188.

  1. Pengiriman artikel (dalam bentuk file atau file-attachment) paling lambat pada Jumat, 15 Agustus 2016). Tulisan dikirimkan ke alamat redaksi: Kantor MAARIF Institute, Jl. Tebet Barat Dalam II, no. 6, Tebet, Jakarta Selatan 12810. dan atau dikirim ke alamat e-mail: [email protected], cc.[email protected],[email protected],[email protected]
  1. Atas tulisan yang telah dimuat, penulis berhak memperoleh ucapan terimakasih berupa bukti terbit 2 eksemplar dan honorarium tulisan sebesar Rp. 800.000,-

Terima kasih banyak atas perhatian dan kerjasamanya.

Beasiswa MAARIF Muda

Sejak tahun 2013 hingga 2016 MAARIF Institute secara konsisten menyelenggarakan Pelatihan Sekolah Pelopor Kebangsaan yang selanjutnya berganti menjadi Pelatihan Jambore Pelajar Teladan Bangsa yang bertujuan untuk menguatkan nilai-nilai keagamaan, kebangsaan dan kemanusiaan. Pelatihan ini ditujukan bagi aktivis intra dan ekstra kurikuler pelajar tingkat SMA/sederajat se-Pulau Jawa.

Nilai-nilai keagamaan, kebangsaan dan kemanusiaan yang disampaikan dalam Jambore Pelajar Teladan Bangsa mengacu pada “Buku Agenda Pelajar, 24 Minggu Menjadi Teladan Bangsa: 12 Karakter Pelopor Kebangsaan, 24 Aksi Nyata Untuk Indonesia”. Penyusunan Buku Agenda Pelajar sendiri merupakan rangkuman hasil dari diskusi bersama siswa dan guru yang difasilitasi oleh MAARIF Institute.

Buku Agenda Pelajar didalamnya berisi 12 Nilai Karakter Pelopor Kebangsaan yang meliputi Konteks Keimanan yang Majemuk, Semangat Menuntut Ilmu, Kejujuran, Keadilan, Berbaik Sangka, Persahabatan, Empati, Peduli dan Tolong Menolong, Toleransi, Musyawarah, Cinta Tanah Air, serta Mengajak Kepada Kebaikan dan Mencegah Keburukan. Selain berisi wawasan atau informasi, buku ini juga berisi panduan aksi nyata untuk mengimplementasikan nilai-nilai tersebut.

Kami percaya bahwa para pelajar perlu didorong untuk mengembangkan potensi terbaik yang dimilikinya. Sejalan dengan itu, ketika para pelajar menyadari potensi yang ada di dalam dirinya, mereka bisa turut merespon keadaan di sekitarnya. Sehingga nantinya peran pelajar sebagai salah satu agen perubahan bisa terealisasi.

Selama ini Pelatihan Jambore Pelajar difasilitasi oleh fasilitator dari MAARIF Institute yang secara umur terpaut cukup jauh dengan para pelajar SMA. Kami memandang perlu upaya lain untuk menyampaikan muatan Buku Agenda Pelajar. Salah satu upaya tersebut adalah dengan memakai metode pendidikan sebaya.

Pendidikan sebaya bisa dimaknai sebagai proses pendidikan yang berlangsung diantara teman sebaya atau sejawat yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan tindakan seseorang atau sekelompok orang. Pendidikan sebaya kami pilih karena mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya adalah efektivitas karena disampaikan oleh orang atau kelompok sendiri dengan gaya bahasa atau tuturan yang lebih mudah dipahami dan komunikasi lebih terbuka karena langsung kepada orang atau kelompok sendiri.

Pun demikian, sama halnya dengan Pelatihan Jambore Pelajar, selama ini website MAARIF Institute hanya dikelola oleh admin yang notabene cukup berjarak dengan para pelajar meskipun muda secara semangat. Kami memandang perlu upaya lain untuk mengkampanyekan gagasan yang ada dalam Buku Agenda Pelajar. Kampanye melalui pembuatan tulisan, gambar dan video serta pengelolaan website (kanal khusus) tersebut dilakukan secara langsung oleh para pelajar yang, dalam beberapa segi, lebih mengenal dunia mereka sendiri.

Namun pelatihan melalui pendidikan sebaya serta kampanye dan pengelolaan website yang hendak diterapkan tidak bisa dilepas begitu saja. Para pelajar yang akan nantinya akan memfasilitasi pelatihan melalui metode pendampingan sebaya, serta kampanye dan mengelola website perlu didampingi agar 12 Nilai Karakter Pelopor Kebangsaan tetap tersampaikan sebagaimana yang direncanakan. Karena sejak awal pelatihan yang akan diselenggarakan ini merupakan tindak lanjut dari Jambore Pelajar yang berpedoman pada Buku Agenda Pelajar.

Oleh karena itu, sebagai keberlanjutan dari Jambore Pelajar yang telah diselenggarakan selama 4 tahun terakhir dan komitmen dalam meningkatkankapasitas pelajar, MAARIF Institute berencana memberikan Beasiswa MAARIF Muda kepada para pelajar dan mahasiswa tingkat awal yang selama ini menjadi siswa binaan. Adapun bentuk beasiswa tersebut diselenggarakan melalui Pelatihan Peningkatan Kapasitas Pelajaryang dibagi kepada dua pelatihan, yakni Pelatihan Fasilitator Jambore Pelajar dan Pelatihan Jurnalisme Kebinekaan.

DOWNLOAD TOR

MAARIF Award

T u j u a n

  1. Menemukan model-model praktek kepemimpinan lokal yang konsisten menyemaikan dan melembagakan nilai-nilai toleransi, penghargaan atas kebhinekaan (pluralisme), dan keadilan sosial di masyarakat akar rumput;
  2. Memperbesar gelombang prakarsa kelompok-kelompok sipil dalam merawat dan mengembangkan Indonesia sebagai rumah bersama ditengah mengerasnya polarisasi sosial, narasi kekerasan, dan sentimen sektarianisme;
  3.  Memperluas penyebaran inspirasi dari praktek-praktek terbaik kepemimpinan lokal yang berkhidmat pada kebinekaan sehingga model-model kepemimpinan tersebut memperkaya mata air keteladanan bagi publik guna mendorong perubahan sosial pada tingkat yang lebih luas.

Dasar Pemikiran

Api optimisme itu menyala-nyala saat bangsa ini mengakhiri tahun 2015 dan menyongsong 2016. Peristiwa penyerangan di Tolikara (Papua) yang menyebabkan terbakarnya sebuah mesjid, aksi massa membakar gereja di Singkil (Aceh) yang disulut konflik rumah ibadah, dan meningkatkan penyebaran sentimen sektarianisme menyusul konflik di Timur Tengah merupakan sebagian potret buram yang menghadang keharmonisan hubungan sosial antar umat beragama. Angka intoleransi membesar. Sebuah laporan dari Setara Institute mencatat bahwa terjadi peningkatan kasus intoleransi sepanjang tahun 2015. Ada 197 peristiwa pelanggaran dan 236 bentuk tindakan. Grafiknya naik karena pada tahun 2014 “hanya” ditemukan 134 peristiwa dan 177 tindakan intoleransi. Meskipun begitu, secara umum, wajah Indonesia 2015 masih lebih cerah dibanding negara-negara berpenduduk Muslim di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan yang terus didera konflik sektarian, bom bunuh diri, dan terorisme. Jadi, sangat beralasan bangsa Indonesia harus bersyukur dan penuh optimisme melangkah di tahun 2016.

Namun aksi teror di pagi hari pada tanggal 14 Januari lalu di kawasan Sarinah sangat mengejutkan. Aksi terorisme di Paris November lalu yang kita saksikan di televisi seakan kini mengetuk pintu rumah kita sendiri. Pada saat yang bersamaan pula, warga Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Kabupaten Bangka mengalami intimidasi dan teror. Difasilitasi Pemerintah Bangka, beberapa kelompok masyarakat mengancam mengusir warga Ahmadiyah dari kampung halamannya jika tidak mau bertobat. Ini nyaris luput dari media mainstream. Pengusiran terhadap ratusan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) bahkan pembakaran pemukiman mereka di Mempawah, Kalimatan Barat, oleh warga setempat memunculkan persoalan serius menyusul tuduhan bahwa organisasi ini sesat. Kita sedang menyaksikan tindakan persekusi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang divonis menyimpang dan menyesatkan menurut opini sepihak. Masalah baru ini menambah daftar beban pemerintah yang hingga kini belum berhasil menuntaskan pengembalian pengungsi warga Syiah di Sidoarjo ke Sampang, Madura. Pada titik ini, negara kehilangan perannya.

Proses integrasi dan kohesivitas sosial dalam proses menjadi Indonesia yang berbineka berada di persimpangan jalan. Paling tidak, ada dua tantangan utama yang sedang menggerogoti sendi-sendi kebinekaan bangsa. Pertama, tantangan yang bersifat internal masyarakat Muslim. Persaingan politik Arab Saudi dan Iran di Timur Tengah telah menyuburkan sentimen sektarianisme di pelbagai negara berpenduduk Muslim, tidak terkecuali di Indonesia. Kelompok Syiah menghadapi tekanan dan teror dari kelompok-kelompok Sunni di Indonesia. Perseteruan politik di Timur Tengah dilihat dengan kacamata teologi (agama) oleh mayoritas masyarakat Muslim Indonesia. Konflik politik di level internasional (transnasional) ini akan mengikis modalitas “sipil Islam” yang selama ini menjadi tulang punggung harmoni politik Islam dan demokrasi di Indonesia, ujar Robert Hefner dalam satu diskusi di MAARIF Institute pertengahan Januari lalu.

Tantangan kedua datang dari eksternal masyarakat Muslim, khususnya dalam relasinya dengan masyarakat Kristen. Konflik rumah ibadah masih menjadi batu sandungan yang belum mencapai titik kesepahaman di antara pemeluk Islam dan Kristen. Nalar politik mayoritas-minoritas selalu berujung pada tindakan diskriminasi. Celakanya, dalam banyak kasus, negara menjadi mudah partisan dan sukar bertindak imparsial. Jika warga Muslim kesulitan mendirikan mesjid di Bitung, Sulawesi Utara, maka nasib serupa dialami warga Kristen di Singkil, Aceh, dan warga Buddha di Temanggung, Jawa Tengah. Tokoh Katholik Romo Magnis Suseno seringkali membanggakan hubungan Kristen dan Muslim yang mengalami kemajuan positif dibandingkan pada masa Orde Baru. Namun tanpa konsistensi merawat nilai-nilai keterbukaan dan budaya kewargaan yang demokratik di antara semua pemeluk agama, terutama di akar rumput, maka kita akan mengalami defisit nilai-nilai kewargaan. Bangunan demokrasi kita bisa keropos.

Pada kondisi kebangsaan semacam ini kehadiran kepemimpinan lokalyang bekerja membumikan nilai-nilai keagamaan dan bersenyawa dengan budaya pluralisme kewargaan menjadi jangkar kultural penting. Prakarsa kepemimpinan transformatif di tingkat akar rumput, seringkali jauh dari radar media dan menghidupkan daerah-daerah pelosok terbelakang, merupakan sokoguru dalam cerita sukses demokrasi Indonesia meskipun luput dari narasi-narasi besar kepemimpinan bangsa ini. Model kepemimpinan lokal ini memperjuangkan semangat keindonesiaan dan nilai-nilai kemanusiaan, melampaui sekat-sekat etnik, agama, kelompok, jender bahkan negara. Mereka adalah oase dan penggerak, menyuntikan harapan baru (new hope) dan menumbuhkan model-model kepemimpinan alternatif yang demokratik dalam penguatan dan pemberdayaan masyarakat majemuk di komunitasnya. Kemampuannya mengelola dan mentransformasikan perbedaan menjadi kekuatan kolektif perubahan sosial merupakan pembeda yang dibutuhkan negara majemuk seperti Indonesia ini.

Dengan semangat dan argumentasi tersebut, MAARIF Institute memberikan MAARIF Award. Penghargaan ini adalahbentuk pengakuan terhadap anak-anak bangsa yangkonsisten danberdedikasi tinggi merawat keindonesiaanyang majemuk danmemperjuangkan nilai-nilai pluralisme melalui kerja-kerja inisiatif kepemimpinan di tingkat lokal berbasis nilai-nilai keagamaan yang universal dan membebaskan. MAARIF Award ini merupakan ikhtiar menemukan pribadi-pribadi penggerak dan tangguh yang berjuang untuk kemanusiaan di tingkat akar rumput. Kehadiran award pada tahun ini memiliki tantangan tersendiri ketika bangsa kita semakin dihadapkan pada gelombang air bah informasi dan agresivitas aktor-aktor transnasional yang dapat memberikan pengaruh besar pada dinamika lokal. Penyelenggaraan award tahun diharapkan menemukan sosok ataupun institusi yang mampu menjadi antitesis sekaligus siasat cerdas dalam menanggapi dua tantangan besar yang kini membayangi masyarakat Indonesia.

 

S a s a r a n

Organisasi sosial-keagamaan, kelompok sipil (NGOs), komunitas dan perkumpulan sosial-budaya, dan perseorangan.

 

KriteriaPenilaian

  1. Memiliki komitmen terhadap perjuangan pluralisme, non-sektarian, non-diskriminasi, dan anti kekerasan.
  2. Mampu mendorong partisipasi aktif warga setempat guna mencapai peningkatan kualitas hidup masyarakatnya dengan mempertimbangkan aspek kemajemukan agama, etnik, maupun budaya yang ada.
  3. Kehadiran dan kontribusinya diterima dan dirasakan manfaatnya oleh pihak-pihak dari beragam kelompok/organisasi.
  4. Mempelopori perjuangan pemuliaan martabat dan nasib komunitas/masyarakat lemah untuk hidup secara manusiawi melalui penumbuhan kreativitas, kapasitas, dan kemandirian masyarakat sipil.
  5. Inisiatif dan atau praktek kepemimpinan lokalnya menyumbangkan kemanfaatan bagi perjuangan pluralisme dan keadilan sosial bagi komunitas/masyarakatnya.
  6. Memiliki keterampilan menjembatani perbedaan, baik agama,  etnik, maupun budaya, sehingga menjadi kekuatan bersama.
  7. Perjuangannya berdampak terhadap upaya pemenuhan hak-hak ekosob (ekonomi, sosial, dan budaya) dan sipol (sipil dan politik) masyarakat oleh negara.

DOWNLOAD FORM DAN TOR MA 2016

FORM

TOR