Era digital dengan internet sebagai salah satu temuan paling cemerlang membantu manusia dalam menjalankan berbagai aktivitas. Kemajuan teknologi membuat manusia mudah untuk berkomunikasi dan mencari informasi. Dengan gawai di tangan, seseorang di pedalaman Garut bisa mengetahui apa yang terjadi di Inggris kala Liverpool meluluhlantahkan Manchester United. Dengan gawai di tangan pula, seseorang menyepi kala berada di tengah keramaian karena sibuk memainkan berbagai sosial media.

Perubahan zaman tak bisa dipungkiri dan akan terus berganti. Tiap generasi mempunyai ciri tersendiri. Jika angkatan 90-an, katakanlah, diwakili oleh ‘tamagotchi’ atau ‘nintendo’ sebagai mainan yang paling “wah”, maka anak-anak sekarang diwakili oleh gawai yang ada dalam genggaman.

Bak pisau di tangan, penggunaan gawai bisa menjadi positif maupun negatif. Tak dapat dipungkiri pula bahwa penggunaannya turut memengaruhi perilaku anak. Cenderung individualis karena terbiasa dan nyaman memainkan permainan atau melihat video yang disuka merupakan salah satu akibatnya. Bercampur dengan faktor lain seperti minim dan sempitnya tempat bermain serta jam pelajaran yang begitu padat, anak-anak kini cenderung abai atau mungkin sama sekali tidak mengetahui permainan tradisional.

Beberapa faktor di atas mendorong Suci Erawati, seorang pelajar dari SMA Negeri 1 Blitar, untuk mengenalkan dan melestarikan permainan tradisional. Menurutnya, permainan-permainan tersebut bisa memberikan pendidikan karakter kepada anak-anak. “Untuk mendidik dan membentuk karakter mereka (anak-anak) tidak harus dengan sesuatu yang formal, namun dengan kegiatan sederhana yang mereka suka seperti permainan. Di sana (melalui permainan) dapat diselipkan pembelajaran agar mereka menjadi berkarakter,” ujarnya.

Berat di Awal, Nikmat di Akhir

Menurut Suci, begitu ia biasa disapa, mengenalkan permainan tradisional tak semudah yang ia bayangkan. Faktor kepribadian anak kecil yang cenderung pemalu dan kasus pedofil yang meresahkan warga menjadi alasan lain selain beberapa hal yang telah dikemukakan di atas. Karena kesulitan-kesulitan tersebut, Suci beserta kawan-kawannya hampir putus asa dan melayangkan bendera putih.

Mencoba mencari solusi, Suci beserta teman-temannya mengatur strategi. Langkah pertama yang dilakukan ialah mengobrol secara cair dengan anak-anak. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kesan agar tidak disangka orang jahat. Setelah keberadaaan Suci dan kawan-kawan dianggap oleh anak-anak, langkah kedua adalah membicarakan permainan tradisional itu sendiri. Barulah memainkan permainan itu sendiri sebagai langkah ketiga.

Dengan pola tersebut, sejauh ini ikhtiar Suci beserta kawan-kawan dalam mengenalkan permainan tradisional telah terlaksana selama 3 kali di 2 tempat berbeda. Adapun pelaksanaan tersebut pada tanggal 25 September dan 2 Oktober di Kecamatan Sukerejo, serta tanggal 16 Oktober di Desa Tanjung Sari. Di antara permainan yang telah dimainkan ialah kelontongan, enthik, boy boyan, dan gobak sodor.

Suci tak dapat melupakan momen pertama kali ketika ia beserta kawan-kawannya berhasil mengajak anak-anak untuk memainkan permainan tradisional. “Ini berawal dari perjalanan mencari sekumpulan anak yang sedang bermain. Kami melihat sekumpulan anak yang bermain sepeda. Awalnya kami hanya mengobrol, hingga kami pun memberanikan diri untuk mengajak mereka (anak-anak) bermain. Kalau sudah bermain, yah tahu sendiri bagaimana jadinya,” papar Suci yang kini tercatat sebagai siswa kelas XII SMA Negeri 1 Blitar.

Suci menambahkan banyak anak-anak melakukan kesalahan karena tidak mengetahui permainan yang dimainkan. Baginya, itu menjadi kelucuan dan kebahagiaan tersendiri dengan tingkah polos anak-anak saat bermain.

“Suatu kebahagiaan bagi saya ketika mereka bisa tertawa dan sangat menikmati permainan yang saya ajarkan. Dengan tawa lucu mereka, tingkah lucu mereka, semangat mereka, dan kebahagiaan mereka memacu saya dan membuat rasa putus asa hilang seketika. Bahkan yang sangat mengesankan ketika ada salah satu anak yang berkata, ‘ternyata seru juga permainannya’,” pungkas salah satu alumni kegiatan Jambore Pelajar yang diselenggarakan MAARIF Institute pada Agustus 2016 lalu.

Setelahnya, Suci dan kawan-kawan mulai belajar bagaimana cara mendekati anak-anak dan membuat mereka enjoy dengan permainan yang dimainkan. Hingga mampu menjalankan permainan tersebut di tempat lain. Begitulah suatu hal, dalam hal ini mengenalkan permainan tradisional, ketika mengenalkannya pada orang yang tidak kenal memang berat di awal namun nikmat di akhir. Dan bagi Suci sendiri, salah satu cara mencintai Indonesia adalah dengan mencintai permainan tradisional. (PAF)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 × four =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.