REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Ada sebuah ungkapan yang saya minta Asmul Khairi, anggota TIM Pengembangan Madrasah Mu’allimin Yogyakarta, mengingatkan via WA saat bertemu dengan Presiden Ir. Joko Widodo di istana negara, 19 September 2019 sebelum zuhur. Ungkapan itu berbunyi: Muhammadiyah yatim secara politik. Maksudnya bila menyangkut politik kekuasaan, Muhammadiyah nyaris tak berdaya. Maka di antara misi saya untuk bertemu presiden adalah untuk menjelaskan betapa lemahnya posisi politik Muhammadiyah bila menyangkut politik kekuasaan itu. Tidak satu pun parpol yang ada di Indonesia sekarang yang bersedia membantu Muhammadiyah untuk memperjuangkan aspirasi politiknya.
Tetapi dalam politik kebangsaan, Muhammadiyah adalah salah satu pilar utama masyarakat sipil yang memperkuat anyaman integrasi nasional karena jaringannya telah menembus masyarakat yang paling udik melalui kerja-kerja nyata. Negara jelas belum mampu menangani semua masalah masyarakat ini, sekalipun itu menurut konstitusi merupakan tugas dan kewajiban pemerintah negara. Oleh sebab itu, sudah berkali saya katakan, bila negara membantu Muhammadiyah sama artinya negara membantu dirinya sendiri.
Bukan hanya untuk kepentingan politik tingkat pusat, dalam pengurusan izin dari negara bagi pengembangan rumah sakit atau perguruan tinggi, Muhammadiyah sering benar dihadang di tengah jalan, padahal segala persyaratan sudah terpenuhi. Saya tidak faham mengapa perlakuan semacam ini harus ditimpakan kepada Muhammadiyah yang sudah lebih satu abad membantu bangsa ini tanpa pamrih.
Muhammadiyah sangat taat hukum dan mematuhi segala prosedur yang harus dilalui. Terakhir misalnya, PKU Muhammadiyah Gombong sudah siap membangun Pusat Layanan Kanker Radio Terapi. Tetapi untuk mendapatkan izin sampai sekarang belum juga diberikan, padahal sudah ada pihak lain yang mendapatkan izin dalam posisi yang sama dengan Muhammadiyah. Mengapa Muhammadiyah dipersukar? Antara lain,tidak punya tangan poilitik.
Presiden lalu bertanya: “Bagamana PAN,?” Jawaban saya: “Sama saja.” Saya lupa mengucapkannya dalam bahasa Jawa: “Sami mawon.” Wajah Mensekneg yang mendampingi presiden saat pertemuan itu terlihat serius, karena memang saya menyampaikannya dengan sungguh-sungguh tanpa kepentingan pribadi apa pun. Sumbangan Muhammadiyah untuk kepentingan bangsa dan negara ini mungkin sukar ditandingi oleh organinasi mana pun di Indonesia. Semua orang tahu bahwa kegiatan pendididikan Muhammadiyah tidak hanya buat rakyat seagama. Presiden bahkan bercerita pernah mengunjungi Universitas Muhammadiyah Kupang yang sekitar 80% mahasiswanya adalah non-Muslim.
Presiden pasti telah membaca maksud terdalam yang tersirat dalam ungkapan itu yang dalam pertemuan itu saya disertai oleh Bung Fajar Zia Ul Haq, staf khusus Menko PMDK. Bidang amal Muhammadiyah itu tidak hanya terbatas pada ranah pendidikan dan kesehatan untuk rakyat yang sudah dikenal selama ini, tetapi sejak beberapa tahun terakhir telah merambah pula ke sektor lain dalam bentuk penanggulangan bencana domestik dan global dalam organisasi MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) dan MPM (Majelis Pengembangan Masyarakat) yang kegiatannya telah menyasar pelosok-pelosok terjauh, tanpa melihat etnisitas dan latar belakang agama. MDMC misalnya telah sampai ke Nepal dalam membantu penaggulangan bencana di sana.
Inilah potret identitas Muhammadiyah dalam makna dan spirit yang benar dan autentik. Maka jika ada segelintir warga Muhammadiyah berprilaku menyimpang dari spirit mulia yang telah tertanam sejak lebih satu abad yang lalu, maka mereka bukanlah kader Muhammadiyah yang sejati. Mereka telah tercabut dari urat tunggang Muhammadiyah. Atau mungkin karena mereka telah terpapar oleh ideologi impor yang sedang sekarat yang berasal dari kawasan lain, tetapi dibungkus dengan dalil-dalil agama.
Kepada presiden sedikit saya bayangkan fenomena sosiologis teranyar yang sedang menimpa Muhammadiyah sekarang dan organisasi Muslim lainnya yang juga tidak kebal dari serbuan ideologi pendatang itu. Jika fenomena ini tidak dibendung, bangsa dan negara ini akan kelimpungan. Apalagi beberapa BUMN dan Perguruan Tinggi dan sekolah-sekolah negeri dan swasta sedang berada dalam ancaman ideologi impor itu.
Akhirnya, karena Resonansi ini lebih terpusat pada pembicaraan tentang Muhammadiyah, saya juga memberikan pandangan agar pimpinan Muhammadiyah segera berbenah diri agar pengaruh-pengaruh asing yang destruktif bisa ditangkal lebih dini dan efektif.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!