MALANG – Guru memiliki peranan penting dalam menangkal radikalisme yang ditengarai sudah merasuk di sekolah-sekolah. Dengan merujuk pada hasil survei yang dilakukan PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Jakarta pada 2017 lalu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Abd Rohim Ghazali, mengatakan, di antara penyebab munculnya sikap intoleran adalah karena adanya transfer sikap dan pengetahuan guru yang berpaham radikal. Oleh karena itu, pengetahuan para auditor dan pengawas sekolah terhadap adanya indikasi paham radikal yang dimiliki guru-guru menjadi sangat penting untuk menangkal radikalisme di sekolah-sekolah.

Hal ini disampaikan Rohim dalam acara ‘Program Penguatan kapasitas Auditor dan Pengawas Sekolah’  yang dilaksanakan Maarif Institute bekerjasama dengan Inspektorat III Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 8-10 April 2019 di Pusat Pengambangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) BOE Malang, Jawa Timur.

Dalam Riset PPIM tahun 2017 terhadap 1860 siswa sekolah-sekolah yang ada di Indonesia, 37 persen setuju dengan jihad/qital  melawan non-Muslim; 23 persen setuju aksi bom bunuh diri sebagai jihad; 34 persen setuju orang murtad (berpindah agama dari Islam ke non-Islam) untuk dibunuh; dan 33 perses setuju dengan tindakan diskrimasi berdasarkan perbedaan agama.

Meskipun persentasenya masih jauh dibawah 50 persen, fakta ini sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup bangsa kita yang sangat beragam baik segi agama, etnis, dan golongan. Mengapa? Karena mereka yang saat ini belajar di sekolah menengah itu, sepuluh atau lima belas tahun yang akan datang akan tampil sebagai guru, atau bahkan bisa jadi di antaranya akan menjadi pemimpin di negeri ini.

“Apa yang terjadi jika guru-guru sekolah berpaham radikal, dan para pemimpin membenarkan tindakan intoleran?” tanya Rohim dengan nada retoris.

Kekhawatiran ini sangat beralasan karena Riset PPIM tahun 2018 tentang potret keberagamaan 2237 guru dari seluruh Indonesia, hasilnya 63,07 persen secara implisit memiliki opini intoleran, dan 56, 90 persen secara ekplisit memiliki opini intoleran. Survei ini juga menemukan bahwa, jika ada kesempatan, 29 persen guru berkeinginan untuk menandatangani petisi menolak kepala dinas pendidikan yang berbeda agama, dan 34 persen berkeinginan untuk menandatangani petisi mernolak pendirian sekolah berbasis agama non-Islam di sekitar tempat tinggalnya. “Kondisi ini sangat memprihatinkan,” tandas Rohim.

Bagaimana cara mengantisipasi kemungkinan berkembangnya intoleransi dan radikalisme di sekolah? Menurut Rohim, pertama, para guru harusd sering-sering mengajak siswa-siswi keluar sekolah untuk mengunjungi sekolah lain yang berbeda agama; kedua, dengan mengurangi cara pengajaran agama secara doktrinal dan formalistik; dan ketiga, dengan memperbanyak belajar sejarah, terutama tentang bangkit dan hancurnya suatu bangsa.

Fenomena Keberagamaan di Kampus

Selain Abd Rohim Ghazali, hadir sebagai pembicara, Tenaga Ahli Staf Khusus Presiden Bidang Isu Keagamaan Internasional, Dr. Pradana Boy yang memaparkan hasil riset tantang fenomena keberagamaan di Kampus, khususnya di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Hasilnya, menurut Boy, bisa digambarkan dalam satu kalimat “semakin longgar cara berpakaiannya, semakin ketat cara beragamanya, dan semakin ketat cara berpakaiannya, semakin longgar cara beragamanya”.

UMM adalah kampus berbasis agama Islam namun tidak mewajibkan mahasiswinya untuk berjilbab. Terhadap mahasiswa yang non-Muslim, dalam mata kuliah agama, diberi kesempatan untuk memilih apakah mau diberi mata kuliah sesuai agamanya, ataukah mau ikut belajar agama Islam. “Mereka memilih belajar Islam,” kata Boy. Mungkin karena jumlahnya yang terlalu sedikit jadi merasa tidak enak jika menuntut kampus untuk menyediakan dosen agama yang sesuai dengan agama mereka. “Tapi mungkin juga karena mereka benar-benar ingin mempelajari Islam.”

Yang jelas, menurut Boy, perihal keberadaan mahasiswa non-Muslim ini pernah ada cerita menarik. Suatu ketika ketika waktu shalat Jumat tiba, ada beberapa mahasiswa yang tetap duduk-duduk di kantin sambil minum kopi dan merokok. Lantas seorang dosen agama Islam mendatangi dan menghardik mereka. “Kalian ini sudah waktunya shalat Jumat kok masih enak-enak duduk dan merokok di sini. Sana cepat ke masjid!”

Apa yang terjadi kemudian, sang dosen terheran-heran karena para mahasiswa itu menjawab hardikan dengan tertawa-tawa. “Kenapa kalian tertawa?” tanya sang dosen. “Kami non-Muslim, pak,” jawab mahasiswa.  Cerita ini terkesan lucu tapi bisa sedikit menggambarkan masih adanya intoleransi di kampus.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

fifteen + five =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.