Ada beberapa teman mengatakan, untuk meloloskan sebuah tulisan di harian “Kompas” alangkah sulitnya. Saringan masuknya mungkin berlapis-lapis dan berbelok-belok sehingga sukar ditembus. Bahkan, seorang penulis senior terkenal yang kini telah wafat pernah menyampaikan kepada saya, benteng “Kompas” memang tidak mudah diterjang, sekalipun tidak selalu demikian.
Rupanya munculnya sebuah artikel di harian ini dirasakan sementara penulis sebagai kebanggaan dan kehormatan. Semakin ketat saringan itu, tetapi kemudian tulisannya dimuat, semakin tinggi rasa percaya diri penulis bersangkutan.
Itulah Kompas di mata mereka yang sedang membangun kepercayaan diri lewat media cetak. Tentunya Kompas merasa senang dengan fenomena demikian itu sehingga kualitas tulisan tetap terjamin, sebuah modal untuk terus berkembang dan membesar. Nama Kompas berasal dari Presiden Soekarno yang disetujui para pendiri.
Suatu ketika saya berbicara dengan Pak Jakob Oetama, pemimpin nomor satu di harian ini sesudah wafatnya Pak PK Ojong (25 Juli 1920-31 Mei 1980). Saya katakan kepada Pak Jakob bahwa Kompas bukan hanya sebuah penerbitan, melainkan telah menjelma menjadi imperium dengan segala anak perusahaannya yang juga berkembang pesat: toko buku, hotel, televisi, universitas, dan entah apa lagi. Pak Jakob hanya tersenyum mendengar ucapan saya sambil berkata, “Ya tidaklah,” dengan sikap seorang manajer-pemikir-humanis yang mungkin tidak banyak jumlahnya di Indonesia.
Tangan dingin yang dimiliki Pak Jakob telah membuat “imperium” ini tetap berkibar dan belum tampak tanda-tanda akan mengecil. Rupanya antara Ojong dan Jakob Oetama sejak berdirinya Kompas pada 28 Juni 1965 demikian serasi, seayun-selangkah, yang menjadi modal awal perusahaan media ini untuk bertahan dan kemudian berkembang pesat hingga hari ini.
Perkawinan antara kultur kepemimpinan Minang yang diwakili Ojong (ayahnya bernama Auw Jong Pauw berasal dari Taiwan yang hijrah ke Sumatera Barat) yang ingin selalu masuk dari pintu depan dan bersikap terus terang dan kultur Jawa yang tampak pada sosok Jakob yang bisa masuk dari berbagai pintu dan punya kemampuan pengendalian diri yang tinggi pada saat-saat sulit mungkin ikut bertanggung jawab untuk keberhasilan Kompas.
Apabila berhadapan dengan situasi politik yang tidak toleran, mungkin gaya Jawa akan lebih efektif. Gaya Minang sering mengalami kesulitan jika dihadapkan pada tembok tebal otoritarianisme. Sekalipun Jakob adalah sosok yang sangat memegang prinsip, cara membawakannya mungkin lebih lentur dibandingkan dengan gaya Ojong. Saya tidak tahu untuk seterusnya dengan munculnya media daring (online) yang semakin berpengaruh, apakah media cetak tidak akan mendapat pesaing berat, sekalipun Kompas telah mengasuh dua jenis media itu.
Pasa saat kampanye dalam pemilu yang lalu, beberapa televisi dan koran milik tokoh partai sudah tidak lagi bersikap independen dalam pemberitaan dan dalam tajuk. Fenomena ini menyulitkan pemirsa dan pembaca untuk mendapat informasi obyektif, faktual, dan berimbang. Telah timbul kekosongan dalam pemberitaan yang dapat mendidik publik saat pertarungan politik kekuasaan berlangsung sengit dan tidak jarang kasar.
Kompas dan beberapa harian lain, nasional atau lokal, tampaknya berhasil mengisi ruang kosong itu. Hal ini penting dan perlu agar publik tidak mudah digiring menjadi partisan yang bisa merusak posisi akal sehat dan pandangan jernih dalam membaca realitas sosial politik bangsa dan negara. Sistem demokrasi di tangan manusia partisan akan kehilangan daya tariknya karena pandangan dan penilaian obyektif telah tersingkir, tidak lagi menjadi arus utama. Kata orang bijak, kawanan kambing jika dipasangkan kacamata warna biru akan menyimpulkan alam lingkungannya adalah biru. Manusia sebagai makhluk berakal tidak boleh diperlakukan seperti kambing karena akan menginjak-injak martabatnya yang mulia, jika saja martabat itu disadari.
Filosofi pendiri
Keberhasilan Kompas sebagai perusahaan penerbit akan lebih terkuak jika kita menelusuri filosofi yang ada di belakang para pendirinya: Ojong dan Jakob Oetama. Kutipan berikut ini menjelaskan apa yang saya maksud:
“PK Ojong dan Jakob Oetama masa itu (semacam masa persiapan dari wartawan menjadi publisher, penerbit) sudah mengambil sikap sosialisme golongan karya, golongan profesional dan berkompetensi. Aksi sosial mereka adalah aksi mengganti senjata dengan buku pengetahuan; mengganti sentimen dengan pikiran dingin; mengisi kekosongan dalam bidang pendidikan melalui usaha media cetak. Basis gerakan mereka berada pada bidang kalkulasi kapital untuk tujuan sosial” (Lihat St Sularto, Kompas Menulis dari Dalam, 2007, halaman 14).
Ditegaskan, filosofi ini diilhami Fabian Society dengan paham sosialisme demokrat di London pada pertengahan abad ke-19. Gerakan Fabian ini bertujuan mengawasi kecenderungan monopoli kaum industrialis. Gerakan Fabian punya dimensi banyak, termasuk gerakan bercorak moral-etis secara sosial. Paham sosialisme demokrat ini meraih dukungan dari PSI (Partai Sosialis Indonesia) tahun 1945 saat Sutan Sjahrir menjadi Perdana Menteri RI. Maka, tidaklah mengherankan sosok-sosok Ojong dan Jakob Oetama dekat dengan partai ini sampai dibubarkan di akhir 1960 bersama Partai Masyumi.
Ungkapan “kalkulasi kapital untuk tujuan sosial” memberi sinyal Kompas tidak akan bercorak kapitalistik dengan individualisme yang dominan karena masalah-masalah berkaitan keadilan sosial ekonomi akan tetap mendapat perhatian utama.
Sebab itu, saya berharap Kompas ke depan tetap berada pada jalur sosialisme demokrat ini untuk bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan sepaham berjuang keras tanpa letih demi terwujudnya “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sila kelima Pancasila yang masih saja berada dalam status yatim-piatu dalam pola pembangunan nasional kita.
Selamat ulang tahun ke-50 Kompas pada 28 Juni 2015, jaya selalu, demi tercapainya tujuan kemerdekaan Indonesia, agar cita-cita keadilan sosial dan kemakmuran bagi semua tidak lagi menggantung di awan tinggi, tetapi menjadi realitas konkret dalam kehidupan bangsa dan negara kita.
AHMAD SYAFII MAARIF
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!