Oleh Pradita Devis Dukarno
Alumni Jurusan Sejarah FIB UGM, Penerima MAARIF Fellowship 2013.

Imlek, perayaan pergantian tahun etnis Tionghoa sebetulnya jauh sudah ada sebelum Indonesia lahir. Ketika negeri ini masih disebut Hindia Belanda, orang-orang Tionghoa sudah merayakan Imlek. Secara harafiah Imlek bermakna penanggalan bulan, yang berasal dari dialek Hokkian. Dalam perayaan Imlek, masyarakat Tionghoa tidak hanya merayakan pergantian tahun tetapi juga melakukan peribadatan seperti sembahyang di depan meja abu disertai membakar dupa dan berdoa agar tahun depan lebih baik.

Dalam perjalanan sejarah, perayaan tahun baru etnis Tionghoa di Indonesia mengalami pasang-surut. Ketika masa Kolonial, di Batavia pergantian tahun Tionghoa dianggap sebagai tontonan yang ramai dikunjungi. Terlihat dari jumlah pengunjung yang datang di acara puncak atau disebut Cap Go Meh, biasanya pribumi di sekitar Batavia datang untuk melihat. Mereka ingin meyaksikan arak-arakan tarian liong, barongsai, warna-warni lampion serta kemeriahan kembang api, yang jarang mereka temui di dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, kemeriaahan acara Imlek terhenti ketika masa Orde Baru. Pemerintah menetapkan Instruksi Presiden No. 14/1967 yang isinya membatasi agama dan kebudayaan etnis Tionghoa, termasuk juga perayaan Imlek (Yosep Adi Prasetyo, Jurnal Maarif, 7, 2012). Penyebabnya, karena orang Tionghoa diduga terlibat peristiwa G30S. Kegiatan keagamaan dan kebudayaan hanya dilakukan ditempat tertutup dan terbatas untuk orang Tionghoa. Akibatnya, generasi Indonesia yang lahir di masa Orde Baru, khususnya non-Tionghoa tidak mengenal perayaan Imlek.
Sejak ditetapkan sebagai hari libur Nasional (2002) oleh Presidan Abdurrachman Wahid, perayaan Imlek yang dilakukan oleh etnis Tionghoa resmi diakui oleh Negara. Selama masa Orde Baru mereka merayakan Imlek sembunyi-sembunyi dan dalam keadaan sunyi. Kini, perayaan Imlek dapat kita lihat dalam tempat umum, bahkan diapresiasi oleh media televisi dan cetak.

Tidak Sebatas Seremonial

Pascareformasi, perayaan Imlek di Indonesia sudah menjadi acara seremonial tahunan dan menarik perhatian banyak pihak. Banyak politisi, kepala daerah bahkan presiden turut mengucapkan selamat tahun baru Imlek. Ucapan selamat tersebut terkesan formalitas, tujuannya sebatas untuk menghargai perayaan agama. Masyarakat umum juga larut dalam kemeriaahan acara Imlek seperti perayaan Cap Go Meh atau minta diramal untuk melihat peruntungan di tahun depan.
Ahmad Syafii Maarif di buku Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan  (MAARIF Institute & Mizan, 2009) menyatakan bahwa penting untuk mengetahui dan menyadari tentang  keindonesiaan yang ada jauh sebelum Indonesia merdeka secara politik (1945). Sebelum merdeka, keindonesiaan itu dilihat dari proses pembentukan bangsa, batas-batas etnis, budaya, dan agama tidak menghalangi keinginan untuk bersatu, termasuk juga orang Tionghoa.

Peristiwa itu terekam dalam Sumpah Pemuda (1928), ada empat pemuda Tionghoa yang ikut mengucap sumpah yaitu, Kwee Thiam Hong, Oey Kay Shang, Jhon Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien kwie (Kompas, 28 Oktober 2013). Pilihan mereka untuk mengucapkan janji setia berbangsa, bertanah air, dan berbahasa Indonesia menjelaskan bahwa nilai-nilai keindonesiaan dimiliki oleh orang Tionghoa. Padahal ketika awal abad XX, Nasionalisme Tiongkok sedang bangkit termasuk juga di Hindia Belanda. Banyak orang-orang Tionghoa mendirikan perkumpulan dan surat kabar yang berorientasi ke Tiongkok (Leo Suryadinata, 2005).

Proses pembentukan nilai-nilai keindonesian itu yang jauh lebih penting untuk dimaknai dari pada hanya sebatas mengucapkan selamat Imlek. Tujuannya agar kita tidak terjebak pada acara seromial tanpa nilai dan generasi sekarang mengerti akan sejarah bangsanya.  Selain itu, kita jadi mengerti mengapa tradisi Imlek menjadi bagian budaya bangsa Indonesia dan tetap menghormati asal-usul budaya itu dari Tiongkok.

Pemaknaan kembali keindonesiaan, tidak sebatas hanya untuk menghargai etnis Tionghoa dengan tradisi Imleknya. Dalam keindonesiaan ada sisi integrasi yang belum dipahami  secara benar. Dampaknya, ada permasalahan lain yang masih terjadi, terutama diskriminasi. Etnis Tionghoa kerap menerima kekerasan politik, sosial, dan budaya. Salah satu contohnya, ketika Negara sedang mengalami masa transisi kekuasaan tahun 1965 dan 1998. Tahun 1965, banyak etnis Tionghoa yang menjadi korban karena dianggap dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara tahun 1998, di kota besar seperti Surakarta dan Jakarta, perempuan Tionghoa menjadi korban pemerkosaan dan toko-toko milik orang Tionghoa dijarah.

Integrasi tidak dimaknai seperti asimilasi, kelompok minoritas harus dipaksa menyerap budaya dari  masyarakat mayoritas. Kebijakan ini pernah dilakukan di masa pemerintahan Soekarno, nama orang-orang Tionghoa harus diganti sesuai dengan nama orang Indonesia asli dan status kewarganegaraan. (Ong Hok Ham, 2005). Integrasi disini artinya menerima, merawat, dan ikut memberikan perlindungan terhadap perbedaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Merawat Keindonesiaan

Melalui Imlek kita melihat proses keindonesiaan dibentuk. Sama dengan budaya  etnis lain seperti keturunan Arab, Bugis, Melayu, Jawa, dan Bali, yang menjadi bagian bangsa Indonesia. Keragaman suku, etnis, agama, dan budaya, tidak hanya kita terima sebagai kekayaan bangsa, justru itu yang merawat keindonesiaan. Setiap kebudayaan memiliki unsur dinamis, selalu ada perubahan dan kesinambungan dalam menjawab tantangan jaman (AA GN Ari Dwipayana, 2010).
Agar kebudayaan itu berkembang baik, pemerintah dan masyarakat menyediakan ruang kebebasan untuk berekspresi. Diperlukan sikap untuk memberikan kesempatan dan saling toleransi. Akhirnya, bermuara memperkuat keindonesiaan, karena di rumah yang  bernama Indonesia, mereka merasa terjaga.

Gagasan lain untuk merawat keindonesiaan juga ditawarkan oleh National Building (Nabil), Edi Lembong pendiri yayasan tersebut, menulis “perlunya penyerbukan silang antar budaya”. Caranya dengan mengambil nilai positif dari kebudayaan lokal dan disinergikan dengan budaya bangsa lain. Langkah itu bisa meningkatkan kualitas peradaban bangsa dan mendorong Indonesia sejajar dengan negara maju lainnya (Nabil Forum, VI, 2013).
Ada berbagai cara untuk merawat keindonesiaan, tetapi yang jelas diperlukan komitmen dan kerja keras.  Sebagai pijakan awal kerja itu, kita perlu menyadari bahwa  keindonesiaan bangsa ini berasal sejarah panjang dan kebudayaan yang beragam, termasuk Imlek yang kita rayakan, hasil dari perjalanan tersebut. Wajah keindonesiaan di masa depan sangat ditentukan bagaimana kita memaknai masa lalu. Semoga wajah keindonesiaan hari ini dan masa depan akan menjadi lebih baik dan humanis.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

16 − 15 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.