Pengarang: https://seleb.tempo.co

TEMPO.COJakarta – Marsudi, sopir taksi di Yogyakarta, tak menyangka kisah hidupnya muncul di koran usai bertemu mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Ma’arif. Tentang istrinya yang 11 tahun menjadi guru honorer pun turut dibahas dalam artikel. Syafii sendiri yang menulis kisah tersebut.

Marsudi mengaku pertama kali bertemu Syafii saat mengantarnya dari Bandara Adisutjipto menuju ke rumah Syafii di Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman.

“Saya dikasih tahu paklik (om). Dan saya baru tahu itu Bapak Buya,” tutur Marsudi saat diminta bercerita dalam peluncuran buku komik esai berjudul Bengkel BuyaBelajar dari Kearifan Wong Cilikdi Aula Madrasah Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta, Senin, 29 Agustus 2016.

Sejak saat itu, kata Marsudi,  sepekan sekali dia bertemu Syafii di bandara. Syafii menganggap Marsudi sebagai sahabat. Adapun Marsudi yang mualaf itu memanggil Syafii dengan sebutan romo.

Hubungan persahabatan Syafii dengan Marsudi merupakan satu dari lima kisah interaksi Syafii dengan wong cilik yang dikomikkan. Ada pula kisah Syafii bertemu marbot masjid, bengkel sepeda, pengasah pisau, hingga tukang memperbaiki kompor.

Kisah-kisah pertemuan itu ditulis Syafii di beberapa koran yang kemudian divisualkan dalam bentuk gambar oleh Maarif Institute serta penerbit Mizan.  Peluncuran buku yang semestinya dilakukan 2015  bertepatan dengan ulang tahun Syafii ke-80 diundur tahun ini. “Saya bersyukur pemikiran saya dikomikkan. Semoga menjangkau radius lebih luas demi masa depan bangsa,” kata Syafii.

Menurut Syafii  berinteraksi dengan orang kecil bukan hal baru baginya. Masyarakat kelas bawah, kata Syafii, jumlahnya sekitar separuh dari populasi penduduk di Indonesia. Mereka hanya berpenghasilan 2 dolar per kepala per hari, atau bahkan tak punya penghasilan sama sekali.

Kebiasaannya bersepeda atau naik angkutan umum, menurut blogger Wisnu Nugroho, membuat pemikiran Syafii lebih reflektif. Sebab Syafii menemukan dan melihat berbagai fenomena wong cilik dengan lebih detail.  “Itu melatih kepekaan. Dan komik ini ajakan Buya untuk merayakan rakyat kebanyakan,” kata Wisnu.

Dikisahkan pula Syafii  sempat kursus montir saat pindah sekolah dari Madrasah Mualimin di Sumatera Barat ke Madrasah Mualimin Yogyakarta. Syafii sempat kesal pada seorang guru di Yogyakarta menyangsikan mutu pendidikan di Sumatera.

Komikus Bambang Tri “Beng” Rahadian mengaku kesulitan saat  menggambar tokoh-tokoh dalam komik tersebut. Alasannya, ada beberapa tokoh wong cilik yang sulit dilacak. Dia pun mengandalkan deskripsi tokoh dari tulisan Syafii. “Tapi yang paling sulit adalah menjaga jangan sampai gambar-gambar di komik ini mereduksi makna dari gagasan Buya,” kata Beng.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

10 + 9 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.