Jakarta, 29 Agustus 2024, MAARIF Institute memandang bahwa imajinasi kebangsaan di Indonesia menghadapi beragam tantangan dan peluang baru di era digital dan globalisasi. Pasca pandemi COVID-19, perubahan iklim, dan transformasi digital telah mengubah cara masyarakat Indonesia memandang identitas kebangsaan mereka. Dalam konteks ini, peran negara menjadi sangat penting dalam menciptakan kebijakan yang inklusif, mendorong pasar yang mendukung produk lokal, dan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat. Komunikasi global kini memengaruhi pola ekonomi yang berkembang sejalan dengan dinamika politik, ekonomi, dan sosial. Negara memiliki peran sentral dalam membentuk dan menjaga imajinasi kebangsaan melalui kebijakan publik yang bertanggung jawab—memastikan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta menjaga persatuan nasional.

Tema Tantangan Demokrasi dan Imajinasi Kebangsaan Indonesia dibahas secara kritis akademis oleh para pakar dari berbagai bidang dalam MAARIF House edisi ke-3 yang diselenggarakan oleh MAARIF Institute pada hari Kamis, 29 Agustsu 2024 di Kantor MAARIF Institute.

Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Andar Nubowo, dalam paparan pembukanya mengungkapkan pentingnya memperkuat demokrasi Indonesia yang sedang menghadapi banyak tantangan.

“Kita perlu ruang diskusi yang mampu menggali ide-ide segar dan solusi inovatif untuk merespon dan memperkuat demokrasi kita,” ungkap Andar.

lebih lanjut Andar mengajak seluruh masyarakat sipil untuk bersatu untuk bekerjasama membangun demokrasi yang kuat.

“Kita harus menjaga agar civil society tetap bersatu dalam menghadapi tantangan demokrasi ini. Dengan kerjasama yang solid, kita bisa membangun demokrasi yang lebih kuat dan berintegritas, demi harapan dan masa depan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia”, tutup Andar.

Lukman Hakim Saifuddin, dalam paparannya, menegaskan bahwa agama dan budaya merupakan pilar utama yang menjaga Indonesia tetap kokoh hingga saat ini. 

“Indonesia bisa bertahan sejauh ini karena dua hal, yaitu agama dan budaya,” ujar lukman yang merupakan mantan Menteri Agama periode 2014-2019. 

Menurut Lukman, masyarakat Indonesia sangat agamis dan kuat dalam memegang nilai-nilai budaya yang luhur. Oleh karena itu, dia menilai bahwa para agamawan dan budayawan memiliki tanggung jawab besar terhadap kondisi demokrasi di Indonesia saat ini dan di masa depan.

Sementara itu, Agustinus Setyo Wibowo dalam paparannya menyebutkan masalah terbesar yang menghambat perkembangan demokrtasi di Indonesia. Salah satu masalah terbesar yang diidentifikasinya adalah budaya feodal yang masih kental di Indonesia. Menurutnya, baik parpol maupun masyarakat Indonesia secara umum masih terjebak dalam budaya feodal ini, yang menghambat perkembangan demokrasi yang sesungguhnya. 

“Selama kultur feodal ini masih ada di Indonesia, imajinasi demokrasi ini bisa rontok,” ujarnya dengan nada prihatin. 

Garin Nugroho dalam paparannya menekankan perlunya kesadaran terhadap media sosial dan perawatan masyarakat sipil untuk membedakan mana yang benar-salah, public-private, dan demokratis atau tidak.

“Media sosial di Indonesia menjadi suatu ruang pendidikan yang masyarakatnya tidak tahu mana yang benar dan yang salah. Masyarakat tidak tahu, mana proses berbangsa yang memenuhi konstitusi atau tidak. Politik penyanderaan menjadi contoh bahwa hukum bisa diotak-atik. Ruang publik kita betul-betul hancur. Saya concern betul pada perawatan civil society ini terhadap kelancaran ruang publik sebagai panduan berbangsa”. ujar Garin.

Diskusi terbatas pada MAARIF House edisi ke-3 dihadiri berbagai narasumber dari berbagai sektor, Adinda Tenriangke Muchtar, Ph.D. (Direktur Eksekutif The Indonesian Institute), Dr. Amin Mudzakkir (Peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN), Fachry Ali, Ph.D. (Politolog), Dr. (HC.) Garin Nugroho (Budayawan), Hendri Saparini, Ph.D. (Core Indonesia), Jumaldi Alfi (Seniman Yogyakarta), Dr. (HC.) KH. Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama RI 2014–2019), Sandra Hamid, Ph.D. (Antropolog Budaya dan Spesialis Pembangunan), Dr. Romo Agustinus Setyo Wibowo, SJ. (STF Driyarkara Jakarta), dan Assoc. Prof. Yayah Khisbiyah, MA. (Fakultas Psikologi UMS).

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

nineteen − 12 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.