Manado, 3 Juni 2025 — Dalam rangka memperingati 90 tahun kelahiran tokoh bangsa Buya Ahmad Syafii Maarif, MAARIF Institute bekerja sama dengan DPD IMM Sulawesi Utara, Madrasah Intelektual Ahmad Syafii Maarif (MIASM), dan LP2M IAIN Manado, menyelenggarakan Sarasehan bertajuk “Meneladani Sikap Nurani Bangsa Buya Syafii Maarif” di IAIN Manado, Selasa (3/6).

Kegiatan ini menjadi bagian dari komitmen MAARIF Institute dalam menyemai nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan yang menjadi napas perjuangan Buya Syafii semasa hidup. Acara dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat lintas organisasi, agama, dan kampus, dengan jumlah peserta mencapai lebih dari 130 orang.

Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Andar Nubowo, DEA, Ph.D., menyampaikan keynote speech pembuka. Dalam sambutannya, Andar menegaskan bahwa warisan pemikiran Buya tidak hanya relevan, tetapi juga mendesak untuk terus dihidupkan dalam konteks kebangsaan hari ini.

“Buya Syafii Maarif adalah intelektual muslim dan negarawan yang telah menyalakan lentera kebudayaan dan kemajuan bangsa melalui sikap inklusif dan pembelaannya terhadap kaum minoritas. MAARIF Institute berkomitmen menjaga dan meneruskan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan yang menjadi napas perjuangan Buya,” ujar Andar dalam pidatonya.

Lebih lanjut, Andar menegaskan bahwa peran intelektual muslim hari ini adalah menjaga nurani publik, menolak kekerasan atas nama agama, dan memperkuat demokrasi melalui pendekatan budaya dan kemanusiaan.

Sarasehan ini menghadirkan pembicara dari berbagai latar belakang, antara lain: Dr. Ardianto, M.Pd (Kepala LP2M IAIN Manado), Natalia Lahamendu, M.Si (Dosen IAKN Manado), Adlan Ryan Habibie (Dewan Pembina MIASM), dan Dr. Taufani, M.A (Alumni SKK II ASM)

Diskusi ini menggali dimensi pemikiran Buya, mulai dari warisan pemikiran Islam progresif, advokasi untuk perempuan dan kelompok minoritas, hingga pembacaan kritis terhadap sejarah dan peradaban Islam.

Natalia Lahamendu, Dosen Institute Agama Kristen Negeri Manado, menegaskan bahwa Buya adalah figur inklusif yang tidak pernah melihat latar belakang agama dalam menilai seseorang.

“Buya menolak poligami dan menempatkan perempuan sebagai agen perubahan. Itu keberpihakan yang tidak banyak dimiliki pemikir keagamaan lain,” ungkapnya.

Sementara Adlan Ryan Habibie mengulas pemikiran Buya yang dipengaruhi oleh Fazlur Rahman dan pentingnya membaca Islam dalam kerangka kemanusiaan dan kebangsaan. Ia menyampaikan tiga pesan langsung Buya: pentingnya literasi, menjauhi fanatisme, dan memperluas pergaulan intelektual.

Melalui kegiatan ini, MAARIF Institute menegaskan kembali misi lembaganya untuk merawat dan mengembangkan pemikiran-pemikiran progresif Buya Syafii Maarif di kalangan generasi muda dan masyarakat luas.

“Kami percaya, meneladani Buya bukan sekadar mengenang. Ini tentang menghidupkan kembali cara pandang yang jernih, adil, dan penuh kasih terhadap sesama anak bangsa,” pungkas Andar.

Sarasehan ini juga menjadi momentum konsolidasi nilai bagi komunitas intelektual muda di Sulawesi Utara yang terinspirasi dari pemikiran Buya melalui jejaring MIASM dan IMM Sulut. (VP)



0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

three × two =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.