Oleh : Jeffrie Geovanie
Belum lama ini, Maarif Institute for Culture and Humanity, suatu lembaga nirlaba yang diidentikkan dengan nama mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, mengadakan ulang tahun yang ke-10 dengan mengusung tema “Berkhidmat untuk Kebhinnekaan”.

Pada kesempatan itu, sebagai ketua yayasan Ahmad Syafii Maarif yang menaungi Maarif Institute, saya diminta untuk menyampaikan kata sambutan. Namun karena persoalan yang sangat teknis, saya tidak bisa menyampaikannya secara langsung. Oleh karena itu tak ada salahnya jika saya ingin membagi kepada pembaca di kolom ini, sedikit pandangan tentang peran satu dekade Maarif Insitute dikaitkan dengan kebhinnekaan dan Pemilihan Umum (Pemilu).

Lahirnya Maarif Institute tak bisa dilepaskan dengan peristiwa politik yang terjadi di negeri ini. Seperti kita tahu, pada masa awal peralihan era, dari era Orde Baru menuju era Reformasi, terjadi euphoria politik yang dahsyat bagaikan air bah yang mengalir kesemua arah dan memasuki seluruh ruang kehidupan kita.

Hingga menjelang pelaksanaan Pemilu kedua era Reformasi (2004), euphoria politik itu masih terus berlangsung dan tak bisa dibendung.  Di satu sisi, suasana demikian sangat menguntungkan karena kran demokratisasi terbuka, dimana-mana rakyat bisa berbicara dengan bebas –suatu kondisi yang mustahil terjadi saat Soeharto masih berkuasa.

Di sisilain, akibat air bah reformasi, kita benar-benar kekurangan tokoh panutan yang  benar-benar terbuka, objektif dan bebas dari pengaruh politik praktis, tidak terpenjara oleh kepentingan-kepentingan pragmatis.

Dalam situasi sepert inilah, menurut pandangan kami, Ahmad Syafii Maarif, yang pada saat itu masih memimpin Muhammadiyah, merupakan satu dari sedikit tokoh yang layak menjadi panutan, bukan hanya bagi warga Muhammadiyah tapi bagi umumnya warga Negara karena gagasan, pemikiran, dan sikapnya yang terbuka, objektif, dan independen.

Secaran ormatif, sudah banyak gagasan dan pemikiran beliau yang objektif dan terbuka itu, baik yang secara utuh maupun yang terpenggal-penggal, dikompilasikan dalam sejumlah buku yang bias dibaca oleh siapa pun dan dimana pun.

Tetapi menurut kami, tertulis dalam buku saja tidak cukup.  Diperlukan suatu lembaga yang secara khusus berfungsi sebagai sarana untuk mendokumentasikan, menguji, sekaligus mengembangkan dan merealisasikan gagasan dan pemikiran beliau.  Saya kira, inilah salah satu alas an pentingnya pendirian Maarif Institute.

Alhamdulillah, dengan didukung sumber daya anak-anak muda yang penuh dedikasi dan memiliki embrio yang sama –atau setidaknya setuju—dengan gagasan dan pemikiran Ahmad Syafii Maarif, lembaga ini telah berperan sebagaimana yang kita harapkan: memelihara, mengembangkan, dan merealisasikan gagasan dan pemikiran Ahmad Syafii Maarif yang progresif, terbuka, dan toleran di tengah kebhinnekaan.

Untuk perjalanan sebuah institusi, usia 10 tahun masih tergolong sangat belia. Meskipun demikian, menurut saya, Maarif Institute sudah bias berperan aktif dalam menjaga dan mengembangkan kebhinnekaan di tengah kecenderungan meningkatnya eskalasi kekerasan yang timbul akibat intoleransi terhadap perbedaan-perbedaan baik secara sosiologis maupun ideologis.  Kondisi ini apabila terus dibiarkan akan bias merusak sendi-sendi kehidupan bersama dan keutuhan bangsa akan hancur karenanya.

Menurut konstitusi, menjaga kebhinnekaan merupakan tugas negara, antara lain dengan melindungi hak-hak minoritas dari kesewenang-wenangan pihak lain. Namun menyerahkan tugas ini semata-mata pada Negara bukan sikap yang bijak karena pada faktanya negara pun memiliki kekurangan-kekurangan.  Terlebih, pada saat penyelenggara Negara sendiri cenderung membiarkan tindakan-tindakan intoleransi itu.

Oleh karena itu kita punya tugas berat.Maarif Institute punya tugas berat, di tengah kecenderungan sikap intoleransi sebagian warganegara, dan ketidakpedulian sebagian penyelenggaranegara.

Untuk meringankan tugas berat ini, tentu akan lebih baik jika pada Pemilu yang akan datang kita memilih para penyelenggara negara –baik di lembaga eksekutif (presiden, wakil presiden) maupun di lembaga legislatif (anggota DPR, DPRD dan DPD)—yang punya komitmen kuat dalam menjaga dan memelihara kebhinnekaan.

Kebhinnekaan, menurut Syafii Maarif, merupakan fakta keras yang tak bisa dimungkiri siapa pun. Bagi keberadaan negara Indonesia, kebhinnekaan merupakan fakta yang mendeterminasi. Artinya, tak ada keindonesiaan tanpa kebhinnekaan. Oleh karena itu, siapa pun yang mengingkari fakta ini, tak layak kita pilih menjadi pemimpin (penyelenggara negara) di Indonesia.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

19 − 10 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.