Pengarang: http://news.detik.com/

Jakarta – Kota Yogyakarta menduduki peringkat tertinggi dalam Indeks Kota Islami (IKI) yang dilakukan Maarif Institute pada 17 Mei lalu. Akan tetapi hasil IKI tersebut memunculkan berbagai polemik.

Pro dan kontra serta dukungan juga kritikan terus bermunculan dari publik. Meski demikian, Maarif Institute menanggapi hal itu dengan positif.

“Atas nama Maarif Institute, kami sangat menghargai bahkan berterimakasih atas respons publik itu. Risiko jika ada kritikan bahkan gugatan sejauh disampaikan secara proporsional. Namun banyak pihak yang salah memahami Indeks Kota Islami sehingga arah kritikannya tidak tepat,” terang Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq dalam keterangan pers yang diterima detikcom, Senin (30/5/2016).

Fajar menegaskan, ada 3 hal yang perlu diluruskan pihaknya. Pertama, Indeks Kota Islami merupakan indeks tentang kota bukan survei kepada masyarakat. Menurut Direktur Riset Maarif Institute Ahmad Imam Mujadid Rais, banyak orang mengkritik hasil IKI karena menganggap itu meneliti masyarakat yang tinggal di kota tersebut.

“Indeks ini tidak meneliti kota sebagai unit analisisnya, bukan masyarakat. Oleh karena itu, indeks ini tidak meneliti perilaku ritual masyarakat, aspek spiritual serta ideologi mereka. Penelitian ini hanya fokus di tingkat kota, pada ranah kebijakan dan implementasinya,” kata Rais.

Kedua, pihaknya juga ingin meluruskan persoalan definisi Islam dan Islami. Penelitian ini, lanjut Ahmad, ingin melihat bagaimana nilai-nilai Islam diaplikasikan dalam penyusunan berbagai aturan di kehidupan kota. Nilai yang dimaksud adalah sebagai agama yang penuh rahmat, maka Islam harus memberi kebaikan dan perubahan nyata untuk memuliakan manusia.

“Beberapa diskusi kami dengan para ahli tafsir terkait definisi kota Islami merujuk pada variabel Aman, Sejahtera dan Bahagia. Dari ketiga variabel ini, diturunkan ke dimensi dan indikator-indikator yang telah dipilah dengan metode maqashid shariah tadi. Metode ini telah berkembang secara keilmuan,” jelasnya.

Poin terakhir, persoalan terkait pilihan variabel dan indikator. Rais menerangkan, dalam penentuan variabel dan indikator ini umumnya para pengkritik fokus pada definisi kerja Kota Islami versi Maarif Institute. Beberapa pendapat menganggap, variabelnya tidak komprehensif karena tidak memasukkan unsur ibadah, kepemimpinan, kejujuran pemimpin, lingkungan hidup dan sebagainya.

Rais menyebut bila ditilik lebih dalam, indikator-indikator tersebut jelas ada di dalam penelitian ini. Pemilihan indikator ini menggunakan metode maqasid shariah.

“Dalam memahami maqashid shariah ini pun menggunakan perpektif maqashid kontemporer yang bernuansa pengembangan (tanmiyah/development) dan pemuliaan Human Rights (hak-hak asasi) daripada maqashid yang bernuansa protection (penjagaan) dan preservation (pelestarian). Penggunaan metode kontemporer ini akan mendorong isu pengembangan sumber daya manusia sebagai salah satu tema bagi kemaslahatan publik masa kini,” kata Rais yang juga merupakan Wakil Sekretaris Lembaga Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri PP Muhammadiyah.

“Misalkan, Hifdz Din, tidak sekadar diartikan sebagai menjaga agama dalam arti sempit. Namun diperluas maknanya dalam arti kebebasan menjalankan agama bagi siapa pun tanpa harus mengalami diskriminasi dan hate speech. Kemudian kami juga mengkaji ketersediaan tempat ibadah di tiap-tiap kota bagi masing-masing agama sebagai slaah satu bentuk kebebasan beragama, demikian pula Hifdz Aql tidak sekadar melarang minol atau miras. Namun dikembangkan dalam arti bagaimana komitmen membuka akses pendidikan seluas-luasnya bagi generasi muda,” sambungnya.

Diberitakan sebelum ini, Maarif Institute melakukan penelitian untuk menilai Indeks Kota Islami (IKI) pada 29 kota. Penelitian ini dilakukan selama 1 tahun.

Ke 29 kota yang dijadikan sampel dinilai melalui variabel aman suatu kota, hal yang diperhatikan di antaranya kebebasan beragama dan keyakinan, perlindungan hukum, kepemimpinan dan pemenuhan hak politik perempuan, hak anak dan difabel.

Selanjutnya variabel sejahtera memperhatikan tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kesehatan. Dan variabel bahagia dinilai melalui berbagi dan kesetiakawanan dan harmoni dengan alam.

Dari penelitian tersebut menghasilkan nilai Indeks Kota Islam yang variatif. Berikut nilai IKI 29 kota dari peringkat tertinggi:

1. Yogyakarta – 80.64
2. Bandung – 80.64
3. Denpasar – 80.64
4. Bengkulu – 78.40
5. Pontianak – 78.14
6. Serang – 77.82
7. Metro – 77.50
8. Semarang – 75.58
9. Palembang – 74.36
10. Malang – 73.72
11. Ambon – 73.53
12. Surakarta – 72.66
13. Salatiga – 71.22
14. Mataram – 70.71
15. Manado – 70.10
16. Batam – 69.94
17. Surabaya – 69.74
18. Tasikmalaya – 69.65
19. Banda Aceh – 69.62
20. Jayapura – 68.53
21. Banjarmasin – 66.79
22. Palu – 66.15
23. Pangkalpinang – 65.71
24. Jambi – 63.91
25. Tangerang – 61.99
26. Padang Panjang – 61.67
27. Kupang – 59. 39
28. Padang – 58.37
29. Makassar 51.28
(aws/nrl)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

eighteen − seventeen =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.