Jakarta – Direktur Eksekutif Maarif Institute, Muhammad Abdullah Darraz mengatakan penetrasi kelompok radikal saat ini terjadi secara sangat masif di berbagai lini kehidupan. Mereka masuk secara struktural melalui pertarungan politik dan birokrasi.

Darraz menyebutkan, penetrasi ideologi radikal di lingkungan institusi pendidikan dianggap sangat berhasil karena berbagai alasan. Di antaranya adalah adanya kekosongan ideologi kebangsaan di lingkungan sekolah dan tidak efektifnya pendidikan kewarganegaraan.

“Namun yang tak kalah bahayanya adalah mereka melakukan penetrasi ideologi secara kultural melalui dunia pendidikan,” kata Darraz dalam acara pembukaan Seminar Workshop “Penguatan Institusi Sekolah melalui Kebijakan Internal Sekolah yang Mengokohkan Kebinekaan” di hotel Mercure Cikini, Jakarta, Selasa(23/5).

Menurut Darraz, radikalisme dan anti-kebinekaan merupakan ancaman serius bagi keutuhan bangsa ini. Infiltrasinya telah masuk ke berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satu ancamannya lewat dunia pendidikan.

Darraz menuturkan, dalam mendalami persoalan ini, Maarif Institute telah melakukan riset tentang Penguatan Institusi Sekolah Melalui Kebijakan Internal Sekolah yang Mengokohkan Kebinekaan. Dijelaskan dia, riset tersebut dilakukan di enam wilayah; Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Banten, Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), Sulawesi Selatan(Sulsel), dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Ada pun tujuan dari riset ini adalah untuk memetakan kebijakan internal sekolah yang mengokohkan atau justru melemahkan kebhinekaan di kalangan institusi pendidikan setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).

Ia menyebutkan, ada empat pemetaan kebijakan sekolah. Pertama; Keputusan atau Peraturan Hierarkis seperti Keppres, Permen, SK Dinas. Kedua; aturan-atauran hasil rapat warga sekolah. Ketiga; kesepakatan bersama yang sifatnya insidental. Keempat; kebiasaan atau kultur yang menghegemoni sehingga mengharuskan menjadi suatu kebijakan sekolah.

Hasil temuan tersebut menunjukkan bahwa belum ada kebijakan internal sekolah yang secara spesifik menguatkan kebinekaan. Perda syariat di tiap daerah turut mempengaruhi kebijakan sekolah negeri seperti di Aceh dan beberapa daerah di Jawa Barat.

Sedangkan di Mataram, sekolah-sekolah telah melakukan upaya rekognisi keberagaman dengan memberlakukan libur fakultatif untuk siswa beragama Hindu, layaknya libur Ramadan bagi Muslim dan Natal bagi Kristen.

“Masing-masing sekolah di beberapa wilayah tersebut menganggap implementasi kebijakan syariat menjadi bagian dari penguatan kebinekaan,” ucapnya.

Lanjut dia, temuan lainnya adalah kebijakan yang berasal dari aturan sekolah. Seperti yang ditemukan di Sukabumi, upacara bendera dilakukan dua kali dalam sebulan. Sisanya digelar acara sluha, tadarus dan ceramah keagamaan. Bagi yang non-muslim, berkumpul dan menunggu di kelas.

Darraz mengatakan kebijakan-kebijakan di sekolah yang menjadi objek penelitian memiliki kesamaan. Dalm hal ini, guru mata pelajaran PKN, Sejarah, dan Pendidikan Agama Islam(PAI) turut memberi corak wawasan kebinekaan kepada siswa. Selain itu, ada peran serta dari alumni.

“Mereka memiliki ruang untuk mendorong suatu kebijakan sekolah, baik langsung maupun tidak langsung, dalam penguatan atau pelemahan kebinekaan di sekolah,” ujarnya.

Pada kempatan sama, cendekiawan Muslim Yudi Latif menilai bangsa Indonesia saat ini kehilangan makna dan signifikansi dalam menghayati dan mengimplementasikan Pancasila, sehingga ideologi-ideologi baru yang datang dari luar begitu mudah merasuk dalam ruang-ruang kosong ideologis bangsa ini.

“Akibatnya di kalangan publik dan dunia pendidikan kita kehilangan ruh dan makna terdalam Pancasila.” Ungkap Kepala Unit Kerja Presiden (UKP) Pemantapan Ideologi Pancasila ini.

Dijelaskan dia, keadaan bangsa ini dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal dan intoleran untuk menanamkan ideologi-ideologi anti Pancasila dan anti kebinekaan di lingkungan sekolah. Kelompok radikal menganggap sekolah-sekolah negeri di bawah koordinasi pemerintah merupakan lahan kosong ideologis yang mudah untuk dipenetrasi.

Maria Fatima Bona/HA

BeritaSatu.com

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

four × two =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.