Pagi ini, Jumat, 13 Desember 2019, ada seminar pembukaan membumikan pesan-pesan keislaman dan kebangsaan Ahmad Syafii Maarif dalam konteks pemikiran Islam kontemporer. Acara berlangsung di ITB AD Jakarta.

Acara ini merupakan bagian dari rangkaian Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan (SKK) Maarif yang ketiga. Acara yang juga dirangkaikan dengan soft launching tiga buku yang ditulis oleh peserta SKK sebelumnya, 1 dan 2. Pada kesempatan ini, semua peserta yang telah mengikuti tes wawancara dan presentasi sebanyak dua puluh lima orang dinyatakan diterima dari puluhan pendaftar yang mengirimkan dua makalah wajib dan pilihan.

Diresmikan oleh Prof. Dr. Muhadjir Effendy, MAP., Menko PMK RI. Sebelumnya, ada sambutan dari Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abd. Rohim Ghozaly. Ada juga sambutan oleh Rektor Institute Teknologi & Bisnis, ITB UAD.

Pada pidatonya, bapak Muhajir mengatakan membaca tesis Buya Ahmad Syafii Maarif (ASM), dan belajar dari tulisan beliau yang berjudul Islam dan Negara. Beliau berharap agar peserta SKK menjadi insan-insan yang unggul, yang (bisa) menulis dengan bagus, berbicara dengan bagus, semuanya bisa diperoleh dengan banyak membaca.

Lanjutnya, apalagi membaca buku pemikiran harus (banyak) dibaca, karena dengan membaca memperluas perspektif. Selain membaca, tak kalah penting adalah mempelajari bahasa asing sebagai penunjang untuk membaca literatur-literatur asing.

Terakhir, beliau mengatakan mengapresiasi Sekolah Buya, karena kedekatan beliau dengan Buya. Di lain waktu, Menko ingin bekerja sama untuk kegiatan SKK dengan mengoordinasikannya dengan berbagai pihak.

Acara kemudian dilanjutkan setelah salat Jumat dan makan dengan menghadirkan empat pembicara, yaitu Prof . Munir Mulkhan, Prof. Sumanto Al Qurtubhi, Fajar Riza Ul Haq, dan Indah Fajarwati.

Setelah Salat Jumat

Prof. Sumanto Al Qurthubi mengatakan bahwa beliau baru saja membuka program Islamic Studies di Manado, Sulawesi Utara. Beliau kemudian memenuhi undangan dari Maarif karena sangat mengapresiasi dan menghormati Buya ASM.

“Saya datang karena Buya (ASM). Saya juga biasanya sowan ke beliau. Tidak banyak orang Muhammadiyah (MU) yang saya hormati karena saya NU.”

Speech yang dibawakan oleh Prof. Sumanto terkadang membuat peserta seminar tertawa. Bukan karena suara beliau yang terdengar parau, namun spontanitas beliau mengomentari sesuatu membuat tertawa.

Misalnya, beliau mengatakan bahwa judul seminar ini memang sudah NU banget dari kata-kata membumikan. Bila NU menulis judul akan menulis; Menusantarakan pesan-pesan ulama Ahlussunah wal jamaah.

Lebih lanjut, Professor yang mengajar di Arab Saudi ini mengatakan ada pemikiran beliau, Buya ASM, yang perlu dibumikan dan dikebumikan.

“Saya sepakat dengan pemikiran beliau yang kontemporer; inklusif, moderat, pluralis, terbuka, mempunyai nilai-nilai universal seperti yang tergambar pada karakter Buya ASM. Namun, sebelum beliau hijrah seperti sekarang, beliau sebelumnya islamis, politis dalam pemikiran keislaman.”

Buya ASM dulu dan sekarang sangat berbeda. Beliau hijrah dari islamis menjadi universal dan humanis. Ketika kita berbicara mengenai masalah kebangsaan, sekarang banyak dari kita kelompok anti-kemanusiaan, “pemuja khilafah”, pendukung-pendukung islamisme, kebangsaan saat ini melawan isme-isme.

Manusia (untuk) Kemanusiaan

Lanjut Prof. Sumanto Al Qurthuby, selama ini kita bolak-balik Makkah kayak setrika, namun kita tidak memikirkan manusia di sekitar kita. Banyak persoalan kemanusiaan yang terjadi di sekitar kita.

Ketika kita membahas masalah dalam konteks pemikiran Islam kontemporer, Prof. Sumanto Al Qurthubi membahas tentang dosen-dosen Indonesia hari ini. “Mereka sibuk apa?” tanyanya.

Menurut Prof. Sumanto, dosen disibukkan dengan administrasi, birokrasi, absen, membuat jurnal Scopus. Semua untuk kepentingan naik pangkat. Masih adakah dosen-dosen yang berpikir analisis dan kritis? Apalagi ketika mereka diperhadapkan pada persoalan-persoalan “Islam hari ini”?

Begitu pula dengan sarjana hari ini, sarjana kampus, dan sarjana luas kampus. Mereka sibuk pada urusan masing-masing. Yang ada hari ini adalah penceramah, pengkhotbahan, pendombosan Islam kontemporer. Sehingga, menjadi Pekerjan Rumah (PR) bagi kita semua untuk mewaris spirit-spirit keislaman, kemanusiaan, dan kebangsaan dengan Sekolah Kebudayaan dan Kemanusian (SKK) 3.

Sedangkan pembicara selanjutnya, Prof. Munir Mulkhan mengatakan Buya ASM sebagai seorang guru bangsa.

Fajar Riza Ul Haq selanjutnya menjadi pembicara mengatakan Buya ASM memiliki anak biologis. Namun, beliau ingin mempunyai (banyak) anak ideologis. “Anak-anak” yang tergabung dalam sekolah Maarif sebagai anak ideologis investasi jangka panjang Buya ASM.

Lebih lanjut, Fajar mengatakan bahwa buya ASM mempunyai prinsip egaliterianisme. Beliau memperlakukan semua orang secara setara, baik yang muda maupun yang tua.

Kita ini belum apa-apa, belum bisa apa-apa, namun kita sudah menjadi sombong. Tapi, buya ASM seorang yang tulus. Beliau mau mengapresiasi buku seorang anak muda dengan memberikan kata pengantar.

Yang menjadi pelajaran bagi kita semua adalah apa yang beliau tulis, katakan, begitu pula dengan yang beliau lakukan. Inilah mengapa beliau menjadi muslim yang autentik. Beliau adalah Buya ASM.

Pembicara terakhir, Indah, alumnus SKK 2, banyak menceritakan tentang kisah dan pengalamannya selama menjadi peserta SKK. Refleksi yang sudah didapatkan adalah dia sebagai seorang jurnalis telah menjadikan jurnalime (secara) damai.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

15 − 3 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.