Buku adalah gudangnya ilmu. Dan membaca adalah kuncinya. Pepatah tersebut kerap kita dengar. Enak didengar, tak seindah dipandang. Begitulah realita hari ini jika melihat minat baca orang Indonesia yang tergolong rendah. Minat baca yang begitu rendah ditengarai sebagai salah satu penyebab tertinggalnya Indonesia dibanding Negara lain.
Melihat realita demikian, Nurullina Wulandini tergerak untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya membaca. Bagi Nurul, begitu ia biasa disapa, membaca akan membuat Indonesia lebih maju di kemudian hari. Dengan kesadaran itulah, di lingkungannya Nurul menginisiasi perpustakaan bagi anak usia 5-14 tahun.
Bagi siswi Kelas XII SMA Negeri 7 Semarang ini, langkah nyata jauh lebih penting ketimbang mencari kambing hitam dan menyalahkan pemerintah. Baginya, pemerintah telah berupaya dengan beragam cara meskipun hasilnya belum optimal.
“Pemerintah saat ini memiliki program dalam dunia pendidikan. Tidak semua program pemerintah dapat terlaksana secara baik. Lantas, apa yang harus kita lakukan? Menyalahkan kinerja pemerintah? Menurut saya itu hanya dilakukan oleh orang yang pemikirannya dangkal. Sebagai generasi penerus bangsa, saya memiliki cara lain untuk membangun kesadaran masyarakat. Salah satunya dengan mendirikan perpustakaan,” ujarnya.
Dimulai Sejak Dini
Perpustakaan yang Nurul bangun ditujukan bagi anak usia 5-14 tahun. Karena ia merasa anak-anak tersebut banyak membuang waktu untuk menonton sinetron yang sama sekali tidak mendidik. Ia kerapkali mempertanyakan akan jadi seperti apa Indonesia kelak jika masyarakatnya sedari kecil terbiasa dengan pola seperti itu.
Upaya Nurul menumbuhkan budaya literasi dimulai dengan membangun perpustakaan. Dibantu teman yang seide dengannya, ia mulai dengan meminta izin kepada aparat setempat, dalam hal ini Ketua RT, agar pos kamling dapat dipergunakan menjadi perpustakaan. Pada praktiknya, meskipun sempat tertunda satu minggu dari jadwal yang direncanakan, Nurul dengan bantuan kawan-kawannya berhasil mendirikan perpustakaan yang dinamai “Little Library for Poor Children”.
“Saya kira barang-barang yang terdapat di dalam pos boleh dipindahkan. Ternyata barang-barang tersebut mesti ada di dalam pos. Untung anak-anak datang membantu ketika mengetahui kami sedang membuat perpustakaan untuk mereka. Akhirnya kami pun menata ruangan sedemikian rupa. Hingga menjepitkan buku di antara tali yang sudah dibuat,” kenang Nurul ketika proses menyulap pos kamling menjadi perpustakaan.
Untuk mewujudkan impian literasinya tersebut, Nurul dengan bantuan teman-temannya menyusun silabus yang akan digunakan untuk tiap pertemuan. Karena masih dalam rintisan, silabus yang disusun hanya untuk bulan pertama. Pertemuan yang mengacu pada ini sendiri direncanakan terselenggara setiap dua kali dalam seminggu. Sementara itu, perpustakaan buka tiap hari bagi anak-anak yang ingin membaca buku.
Dalam praktiknya, pertemuan terencana dengan melibatkan langsung Nurul dan teman-temannya yang pada mulanya direncanakan hari Rabu dan Jum’at bergeser menjadi Jum’at dan Sabtu. Hal ini disebabkan kesibukan Nurul sebagai siswi kelas XII dengan pemadatan jam pelajaran di sekolah. Pertemuan terencana yang mengacu pada silabus ini pun pada akhirnya ada beberapa perubahan dan penyesuaian.
Selain membaca sebagai tujuan utama, pertemuan yang sudah berlangsung selama beberapa kali ini didominasi oleh kegiatan menggambar dan mewarnai atau menggradasi warna. Karena hampir semua anak menyukai hal tersebut. Selain itu, hal lain yang kami lakukan bersama sebagai awalan ialah membuat berbagai macam bentuk dari kertas lipat (origami) dan membuat beberapa bentuk dari rubrik lipat. Menceritakan perjuangan para pahlawan di masa lalu serta mengajarkan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat tak luput dari pembahasan.
Mengetuk Pintu Hati
Melihat perpustakaan yang ramai dikunjungi anak-anak, beberapa orang terketuk pintu hatinya. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa orang tua yang turut menyumbangkan buku untuk menambah koleksi perpustakaan. Namun hal yang paling membuat Nurul terkejut ialah rencana Ketua RT yang akan membuatkan taman baca bagi anak-anak.
“Pada saat kami sedang berada di lokasi bersama anak-anak, Pak RT melihat. Pak RT merasa prihatin dengan kondisi perpustakaan yang sempit dan panas. Hingga akhirnya ia memanggil warga dan merencanakan membuat sebuah taman baca luar ruangan di sebelah perpustakaan,” terang alumni Jambore Pelajar yang diselenggarakan MAARIF Institute di Surabaya pada Agustus yang lalu ini. “Untuk saat ini taman baca tersebut masih dalam proses pembuatan,” paparnya menambahkan.
Diluar itu semua, hal yang paling membuat Nurul bahagia ialah perubahan pola anak-anak di sore hari. Jika sebelumnya anak-anak menghabiskan waktu hanya dengan bermain dan menonton televisi, kini mereka ada opsi lain dengan hadirnya perpustakaan. Baginya, ini juga merupakan efek dari terbukanya pintu hati anak-anak.
Saat ini yang ada dalam benak Nurul adalah bagaimana perpustakaan tersebut dapat terus berjalan. Selain karena jam pelajaran yang kian padat, tahun depan pun ia berencana melanjutkan kuliah ke luar kota. Ia pun berharap ada yang bisa menggantikan posisinya jika saatnya tiba. Selain itu, ia pun mempunyai harapan agar perpustakaan seperti yang didirikannya terdapat di setiap RT di Kota Semarang. Karena dengan begitu, menurutnya potensi sumber daya manusia akan menjadi lebih baik dan mampu merubah Indonesia di masa yang akan datang. (PAF)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!