Dodoha Mosintuwu, tempat di mana Mosintuwu Institute berada di wilayah kecamatan Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Kota ini memiliki keindahan alam yang luar biasa. Tetapi dalam dekade terakhir, citra keindahan tersebut musnah dengan terjadinya kerusuhan 1998 yang kemudian disebut konflik Poso.
Konflik Poso dianggap sebagai pemicu kemunculan gerakan radikal-terorisme di Indonesia. Faktor-faktor yang dipercayai sebagai penyebab utama konflik di Poso ada tiga; 1) persaingan politik, yaitu perebutan jabatan Bupati dan Sekretaris Daerah Kabupaten Poso; 2) persaingan di bidang ekonomi antara penduduk asli dan pendatang; 3) pergeseran struktur-sosial budaya serta komposisi penduduk asli dan pendatang.
Konflik itu diawali dari konflik komunal sampai menjadi konflik SARA. Pertama, pada 25 Desember 1998 pemuda muslim dibacok oleh Roy Runtu Bisalemba yang beragama Kristen di dalam masjid Darusalam Poso. Kedua, pada 16 April 2000 dua pemuda mabuk dan tanpa alasan yang jelas terlibat pertikaian.
Kedua belah pihak yang bertikai berasal dari desa yang berpenduduk muslim dan Kristen. Kejadian ini menyebabkan bentrokan antar kelompok terulang kembali. Ketiga, pada 24 Mei 2000 desa berpenduduk muslim diserang oleh sekelompok pemuda Kristen dari luar Poso, kemudian menyulutkan konflik yang meluas dan menimbulkan aksi balasan yang kemudian disebut aksi terorisme bom natal.
Sejak itu, aksi-aksi teror lainnya terus terjadi karena penyelesaian tidak kunjung dilakukan oleh pemerintah secara tuntas. Konflik masih terus terjadi dari kedua belah pihak sampai diputuskannya Deklarasi Malino I tahun 2001. Tujuan deklarasi ini untuk mempertemukan kedua belah pihak dan menyelesaikan konflik yang ditengahi oleh Menko Kesra, Jusuf Kalla.
Meski demikian, riak-riak konflik masih seringkali muncul. Pengeboman di Poso terus terjadi di tahun 2003 yang sedikitnya 8 kali peristiwa, tahun 2005 sebanyak 11 kali peristiwa dan salah satunya di wilayah Tentena, dan 2006 terjadi sebanyak 9 kali peristiwa.
Di tengah-tengah situasi tersebut, muncul suatu Oase yang sedang tumbuh untuk mendamaikan Poso, yakni Mosintuwu Intsitute. Lembaga yang didirikan oleh Lian Gogali ini, bermula dari rasa keprihatinan atas peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama, dan adanya kepentingan ekonomi politik dibalik konflik kekerasan yang berakhir pada pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin dan marginal yang terjadi di Poso.
Dalam perkembangannya, Mosintuwu mendapat banyak simpatisan. Anggotanya berasal dari berbagai latarbelakang suku dan agama yang ada di Kabupaten Poso dan Morowali.4Tulisan ini menceritakan khazanah lokal, dari salah satu aktor perdamaian di Poso, Mosintuwu Institute. Lembaga ini mendapatkan anugerah Maarif Award 2016, yakni program pengakuan dan penghormatan kepada aktor-aktor lokal yang bergerak untuk kemanusiaan.
Lembaga ini dinilai mampu mentransformasikan kekuatan perempuan menjadi gerakan pembaruan di Poso. Salah satu juri Maarif Award 2016, Endy bayuni mengatakan, “Mosintuwu adalah bukti bahwa perempuan-perempuan penyintas konflik Poso mampu menjembatani konflik, mengurai dendam dan memahami perbedaan untuk kemudian bersama membangun Tanah Poso melalui desa”.
Selain Mosintuwi Institute, Maarif Award 2016 juga diberikan kepada Budiman Maliki, pejuang hak dasar layanan masyarakat Poso. Budiman merupakan aktivis yang pernah terlibat dalam rangka penanganan pengungsi konflik Poso. Aktivitasnya melampaui batas-batas primordial agama dan etnis. Kini, dia berkutat pada pemberdayaan masyarakat.
Kemudian penghargaan ini juga diberikan kepada Rudi Fofid. Dia seorang aktivis, seniman yang juga wartawan. Melalui sastra hingga music hip-hop, ia menyuarakan perdamaian. Dia penyintas konflik kekerasan di Ambon yang meyakini bahwa perdamaian adalah jalan hidup. Dan baginya, Ambon yang damai adalah obat untuk semua orang yang telah menjadi korban dalam konflik di Ambon, termasuk ayah dan kakaknya.
Untuk diketahui, Maarif Award terselenggara enam kali: 2007, 2008, 2010, 2012, dan 2014. Penerima Maarif Award pada tahun 2007 yaitu Pdt Jack Manuputty dari Ambon, Arianto Sangaji dari Poso. Pada tahun 2008 TGH Hasanain Juaini dari Lombok, M. Tafsir dari Semarang, Cecilia Yuliani Hendayani dari Blitar. Tahun 2010 penerimanya adalah S. Ali Habsyi dari Magelang, tahun 2012 Ahmad Bahruddin dari Salatiga, Romo Carolus dari Cilacap, dan tahun 2014 Maril Koto dari Sumatera Barat.
Dari Teologi Pembebasan hingga ke Politik Ingatan
Teologi Pembebasan, Kajian Budaya, Ekonomi-Politik, dan Politik Ingatan merupakan empat disiplin ilmu yang pada akhirnya mengantarkan Lian Gogali menulis tesis tentang Politik Ingatan Perempuan dan Anak dalam Konflik Poso.
Aktivitas Lian untuk mendampingi para korban konflik bermula dari perasaan berhutang kepada para perempuan yang diwawancarainya ketika menyelesaikan tesis tersebut. Pertanyaan paling menohok yang didapatnya ketika itu adalah, “apa yang terjadi pada kami setelah Lian pergi?”. Lian banyak membaca dan berdiskusi tentang Teologi Pembebasan ketika menempuh studi sarjana di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.
Dalam suatu wawancara, Lian mengungkapkan bahwa dirinya sangat terbantu oleh ST. Sunardi dalam hal Kajian Budaya. ST. Sunardi merupakan salah seorang pengajar ketika Lian menempuh studi master di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Kajian komprehensif ihwal Ekonomi-Politik banyak Lian dapatkan dari George Aditjondro. Selama menempuh studi master, Lian menjadi asisten peneliti George Aditjondro selama 2 sampai 3 tahun.
Bahkan, Lian mengungkapkan bahwa dirinya adalah anak angkat dari Geogre Aditjondro. Dr. Budiawan, salah seorang pengajar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, disebut oleh Lian sebagai orang yang paling berjasa dan mempengaruhinya tentang kajian Politik Ingatan. Hingga ia akhirnya memutuskan untuk menulis tesis tentang itu.
Pada tahun 2007, Lian kembali ke Poso dan beraktivitas di Asian Muslim Action Network (AMAN) dan Poso Center. Setelah melewati banyak diskusi dengan sesama kawan aktivis dan menyelami konteks Poso, guna membumikan cita-citanya, akhirnya pada tahun 2009 ia mendirikan Institut Mosintuwu atau Mosintuwu Institute yang anggotanya terdiri dari para survivor konflik Poso.
Pada mulanya, Mosintuwu Institute diharapkan dapat menjadi suara alternatif dari perempuan dan anak tentang pembangunan perdamaian yang berkeadilan dan setara. Mosintuwu Institute berharap perempuan dan anak memiliki ruang untuk berbicara dan memperkuat kapasitas, sehingga dapat membuka gerakan alternatif dalam memperjuangkan pembangunan perdamaian, keadilan dan kesetaraan di wilayah pasca konflik Poso.
Kelahiran Mosintuwu Institute diilhami oleh kondisi sosial masyarakat Poso yang patriarki dan feodal yang masih memandang perempuan sebagai warga kelas dua dan hanya memiliki fungsi reproduksi. Oleh karena itu, dalam konflik, perempuan mengalami dampak yang mengerikan. Setidaknya terdapat tiga dampak yang ditimbulkan akibat itu, yakni perpecahan keluarga, kekerasan seksual yang diikuti dengan diskriminasi sosial yang sangat rentan dialami oleh perempuan ketika dan pasca konflik, dan pelecehan seksual.
Di tengah kondisi patriarki dan feodal tersebut, Lian melihat peran lain yang dimainkan oleh perempuan dan kadang dilupakan, yaitu menghidupi anak-anak dan komunitasnya. Kekuatan lain yang yang dilihat Lian adalah inisiatif perempuan untuk melakukan perdamaian. Akan tetapi, dalam pertemuan-pertemuan antar komunitas yang memutuskan kebijakan perdamaian atau pembangunan, perempuan tidak pernah dilibatkan.
Akibatnya, kebijakan penanganan konflik dan pembangunan pasca konflik sangat bias gender. Pembangunan pasca konflik yang bias gender tersebut menempatkan perempuan mengalami kekerasan baru dan didiskriminasi terus-menerus, termasuk menenggelamkan narasi perempuan dalam konflik yang berbeda dari laki-laki.
Nama Mosintuwu diambil dari Bahasa Pamona (salah satu suku di Poso) yang berarti bekerja bersama-sama. Mosintuwu Institute mempunyai program yang terdiri dari: (1) Bidang Pendidikan, yang memiliki program: Sekolah Perempuan Mosintuwu; Project Sophia (Perpustakaan Keliling untuk Anak); dan Perpustakaan Sophia. (2) Bidang Pengorganisasian, yang memiliki program: Organisasi Perempuan Interfaith; Advokasi Perlindungan Perempuan dan Anak; Lingkar Diskusi dan Aksi. (3) Bidang Media dan Kampanye, yang memiliki program: Koran Perempuan, Radio Komunitas; Media Internet. (4) Bidang Ekonomi Solidaritas, yang memiliki program: Bank Perempuan; Eko-Wisata; dan Bamboo Project.
Program-program tersebut tidak hanya menjadikan perempuan sebagai agen perdamaian, tetapi juga menjadikan perempuan berdaya secara ekonomi, sosial, budaya dan melek politik. Melek politik di sini tidak sekedar memperkenalkan persoalan-persoalan politik tetapi juga mengadvokasi kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kesetaraan perempuan. Untuk melihat jejak langkah sebagai karya nyata Mosintuwu Institute, tulisan ini disusun secara kronologis dari sejak pendiriannya hingga saat ini.
Perdamaian Sebagai Pintu Masuk
Sekolah Perempuan merupakan salah satu program yang digalakkan untuk mewujudkan visi dan misi Mosintuwu Institute. Dipilih karena Mosintuwu melihat bahwa pendidikan bagaimana pun menjadi kunci utama untuk membuka pandangan para perempuan.
Angkatan Pertama dan Kedua Sekolah Perempuan menitikberatkan pada proses perdamaian sebagai pintu masuk menuju kedaulatan rakyat yang dicita-citakan. Perdamaian memang kata yang tak mungkin dilepaskan sekaligus konsekuensi logis akibat konflik Poso.
Isu perdamaian dipilih karena Mosintuwu melihat kondisi alam bawah sadar para perempuan dan anak-anak masih rentan akan nuansa konflik.“Proses tidak dirancang sendiri, melainkan pemahaman terhadap konteks. Jadi konteks awalnya memang harus dilihat, tahun ketika pertama kali Mosintuwu dibangun. Itu adalah tahun dimana hubungan antar agama sangat renggang. Lalu juga berdasarkan tesis saya.
Memang kelompok perempuan sangat potensial untuk proses membangun perdamaian”, ujar Lian memberikan alasan.Perdamaian sebagai pintu masuk menuju kedaulatan yang dicita-citakan juga diamini oleh Martince Baleona, seorang ibu rumah tangga yang bermetamorfosa menjadi aktivis berkat Sekolah Perempuan Angkatan Pertama.
Dirinya merasa bahwa Sekolah Perempuanlah yang sepenuhnya mengubah pandangannya tentang Islam dan Perdamaian ketika penyampaian materi “Islam, Toleransi dan Perdamaian” dan kunjungan lapangan ke masjid.Ibarat kondisi jalan raya di Poso, di mana selalu ada batu dan kerikil, bahkan longsor, yang tiap saat bisa menghadang. Begitupun dengan apa yang dikerjakan oleh Mosintuwu.
Kendala yang dialami ialah ketika para peserta Angkatan Pertama Sekolah Perempuan yang beragama Kristen akan mengunjungi masjid. Ustadz setempat mengungkapkan keberatannya karena khawatir para perempuan Kristen tersebut sedang tidak suci (haid).
Selain itu, ustadz tersebut juga menganggap bahwa acara yang diselenggarakan oleh Mosintuwu Institute merupakan bagian dari Kristenisasi.Mencari jalan keluar dari masalah tersebut, Mosintuwu menghubungi Darwis Waru, Ketua Gusdurian Poso, dan memintanya untuk membantu menyelesaikan perkara tersebut. Ditemui di kediamannya yang disulap menjadi menjadi Griya Gus Dur, Darwis mengatakan langkah yang diambil oleh Mosintuwu tersebut sebagai salah satu kecerdikan politik strategis.
Senada dengan Darwis, Ibrahim Ismail, Ketua GP Anshor Poso, yang pernah dimintai bantuan serupa untuk kasus yang berbeda mengatakan bahwa kecerdikan Mosintuwu untuk menyelesaikan beberapa masalah dengan meminta bantuan kepada orang atau lembaga yang kompeten dan sesuai dengan segmennya.
Selain tentang diskriminasi yang dialami perempuan, perdamaian masih menjadi isu utama pada modul dan materi yang disampaikan dalam Sekolah Perempuan Angkatan Kedua yang dilaksanakan pada kurun waktu 2012-2013 di 8 desa dan kelurahan. Hal ini seperti yang dituturkan Yurlin Pamoso, perempuan desa yang bermetamorfosa menjadi aktivis perempuan dengan menjadi staff Mosintuwu, di sela-sela Monitoring dan Evaluasi Sekolah Perempuan Angkatan Ketiga di Desa Gincu, daerah Bada.
Ulin, begitu ia biasa disapa, menyampaikan bahwa isu perdamaian masih menjadi bahasan utama di Angkatan Kedua Sekolah Perempuan lewat modul yang diajarkan. Dengan demikian, bisa disebut jika fase pertama dari Mosintuwu Institute adalah mewujudkan perdamaian yang sesungguhnya.
Konsolidasi Perempuan
Untuk pertama kalinya dalam sejarah perempuan di Poso dilaksanakan Musyawarah Perempuan Desa dari tanggal 3-17 Maret 2014. Musyawarah Perempuan Desa ini diinisiasi oleh Mosintuwu Institute yang khusus diikuti oleh perempuan akar rumput, yang terdiri dari para perempuan lintas profesi seperti ibu rumah tangga, petani, nelayan, dan buruh, dan terdiri dari lintas agama seperti Islam, Kristen, Hindu, serta lintas suku.
Mosintuwu memilih para perempuan akar rumput ini karena mereka yang selama ini memberi makna pada kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik. Dan pada saat yang bersamaan mereka juga adalah yang selalu terpinggirkan, terdiskriminasi, terabaikan, juga tidak didengar.
Musyawarah Perempuan Desa dilaksanakan dalam 10 wilayah berdasarkan karakteristik daerah, yaitu: Wilayah I Kecamatan Poso Pesisir Utara; Wilayah II Kecamatan Poso Pesisir dan Poso Pesisir Selatan; Wilayah III Kecamatan Poso Kota, Poso Kota Utara, Poso Kota Selatan; Wilayah IV Kecamatan Lage bagian Timur; Wilayah V Kecamatan Lage bagian Selatan; Wilayah VI Kecamatan Pamona Utara; Wilayah VII Kecamatan Pamona Puselembah; Wilayah VIII Kecamatan Pamona Selatan dan Pamona Barat; Wilayah IX Kecamatan Pamona TImur dan Pamona Tenggara; dan Wilayah X Kecamatan Lore Selatan.
Kongres Perempuan Poso: Antara LSM dan Organisasi Rakyat
Setelah melaksanakan Musyawarah Perempuan Desa, Mosintuwu Institute kembali menyelenggarakan acara yang pesertanya adalah para perempuan akar rumput. Pada tanggal 25-27 Maret 2014 diselenggarakan Kongres Perempuan Poso di Dodoha Mosintuwu. Kongres ini dihadiri oleh kurang lebih 450 orang perempuan yang berasal dari 70 desa, 14 kecamatan di Poso.Ratusan perempuan menguatkan solidaritas sebagai sesama perempuan di hari pertama kongres.
Pada hari kedua, para perempuan dibagi kedalam enam topik dan bersama-sama berpikir, menganalisa, dan menyusun poin-poin penting yang telah didiskusikan. Keenam topik tersebut adalah Hak Perempuan atas Layanan Publik, Perlindungan Perempuan dan Anak, Partisipasi Politik Perempuan dalam Pembangunan Desa, Perempuan dalam Adat Budaya, Perempuan membangun Ekonomi Solidaritas, dan Perempuan Membangun Perdamaian.
Di hari terakhir, semua kelompok melakukan sidang kongres yang membahas semua usulan untuk menjadi rekomendasi. Walhasil, rekomendasi pun dihasilkan yang ditujukan kepada Pemerintah Daerah Poso, Pemerintah Desa/Kelurahan, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu sendiri. Kongres Perempuan Poso mendapat perhatian dari publik luas dan di antaranya dihadiri oleh Andy Yentriyani (Komisioner Komnas Perempuan), perwakilan Gerakan Desa Membangun, dan fasilitator yang tersebar di Nusantara.
Selama Kongres berlangsung, tak jarang dan tak sedikit suara perempuan yang menghendaki perubahan, baik secara individu maupun kolektif. Teriakan?teriakan itu seperti, “Jangan 30%, jadikan 50%. Kita perempuan Poso pasti bisa, jangan memandang enteng kekuatan kita sendiri. Tulis saja disitu 50%, jadi kita setara dalam kesempatan dengan laki-laki”.
“Sudah, kita buat saja partai politik perempuan Poso. Kita bisa. Kita merdeka”. “Ayo, bikin partai perempuan”. “Hentikan pengiriman TKW”. “Merapat, kita teriak perempuan berdaulat atas tubuhnya”.
Jalan Menuju Organisasi Rakyat
Mosintuwu Institute lagi-lagi membuat gebrakan. Kali ini dengan menyelenggarakan Festival Sekolah Perempuan yang berlangsung dari tanggal 5-7 November 2015. Sekitar 300an perempuan dari 40 desa yang berasal dari Poso dan sebagian Morowali hadir dalam acara tersebut. Festival Sekolah Perempuan ini merupakan yang pertama kali diadakan sebagai wujud syukur setelah serangkaian proses belajar di sekolah perempuan sejak 2009, yang telah menghasilkan tiga angkatan.
Angkatan Pertama Sekolah Perempuan tahun 2009-2011. Angkatan Kedua Sekolah Perempuan tahun 2012-2013. Dan Angkatan Ketiga Sekolah Perempuan tahun 2014-2015.Festival ini dihadiri oleh Pejabat Bupati Poso; istri Duta Besar Amerika Serikat; perwakilan PBB urusan perempuan, perdamaian dan keamanan; jajaran Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta beberapa aktivis.
Kehadiran para perempuan akar rumput dan pembesar tersebut kian menguatkan daya tawar Mosintuwu Institute di mata pengambil kebijakan. Juga menggemakan suara perempuan ke seluruh jagat raya. Dalam festival ini, diselenggarakan serangkaian kegiatan seperti olahraga, kesenian tradisional, talkshow dan workshop yang memperkaya wawasan, pameran produk desa dan pameran foto perempuan desa. Diluar seremonial yang menghiasi dan meramaikan acara, Festival Sekolah Perempuan menjadi langkah akhir menuju organisasi (perempuan) rakyat yang dicita-citakan pendiri Mosintuwu Institute, Lian Gogali.
Festival ini menjadi semacam evaluasi jejak langkah Mosintuwu dari awal berdiri.Setelah Sekolah PerempuanSelama dua hari, Tim MAARIF Institute berkesempatan mengikuti aktivitas Mosintuwu Institute di wilayah Bada (Kecamatan Lore Utara dan Kecamatan Lore Selatan).
Tim MAARIF mengikuti rangkaian kegiatan yang dilakukan Mosintuwu Institute di 3 desa: Gintu, Badangkaia, dan Bakekao. Masing-masing kegiatan berlangsung selama 3 jam, yakni dari jam 09.00-12.00 WITA, 14.00-17.00 WITA dan 19.00-22.00 WITA.Untuk sampai ke Bada dari Poso Kota, tempat dimana terdapat Megalitik Palindo (Sepe), dibutuhkan waktu sekitar 4 jam menggunakan mobil Avanza yang disulap menjadi angkutan umum.
Orang-orang yang berangkat ke Bada selain membayar ongkos untuk duduk, juga membayar pegangan tangan, karena setengah jalan menuju Bada belum di aspal dan kondisi jalannya rusak cukup parah. Jika menggunakan sepeda motor bisa menghemat waktu karena bisa sampai dalam waktu 3 jam.
Para perempuan Mosintuwu menggunakan mobil kijang untuk sampai ke sana. Sementara tim MAARIF menggunakan mobil Avanza.Kegiatan ini tidak diikuti oleh semua alumni Sekolah Perempuan Angkatan Ketiga. Hal ini disebabkan beberapa hal seperti sedang ada ibadah, sedang ada duka (orang yang meninggal), sedang pesta, dan alasan-alasan lain yang memang sangat logis.
Akan tetapi kami menangkap spirit yang luar biasa dari para perempuan desa yang notabene tersingkirkan dalam kultur yang patriarki dan feodal. Tidak seperti perempuan desa pada umumnya yang malu-malu dan tidak fasih apalagi terstruktur ketika berbicara, para perempuan alumni Sekolah Perempuan Angkatan Ketiga lebih fasih dan percaya diri ketika menyampaikan argumen, meskipun tidak semua argumen dan pernyataan yang mereka sampaikan benar.
Keberanian dan kepercayaan diri ini tetap perlu diapresiasi, karena dengan begitu mereka telah keluar dari zona perempuan desa pada umumnya. Dengan kata lain, mereka selangkah lebih maju dibanding para perempuan desa pada umumnya.
Dalam kegiatan tersebut, tim Mosintuwu Institute yang turun ke lapangan adalah Lian Gogali, Martince Baleona, Asni, Yurlin Pamono, dan Cici. Selain Lian Gogali yang merupakan pendiri Mosintuwu Institute, yang lainnya merupakan anggota (alumni) Angkatan Pertama dan Angkatan Kedua Sekolah Perempuan.
Para perempuan ini bermetamorfosa dari para perempuan biasa menjadi pejuang pembaharuan perempuan.Di sela-sela kegiatan, Martince menceritakan bagaimana cara Lian mendorong ia sebagai alumni. “Setelah Sekolah Perempuan berakhir, saya harus merekrut empat orang dari Kayamanya. Awalnya saya takut karena Kayamanya merupakan daerah Texas.
Tapi Lian selalu meyakinkan kalau saya bisa. Akhirnya saya memberanikan diri dan mencari informasi di pasar. Lama saya mencari, akhirnya berkenalan dengan perempuan Islam (muslimah) di pasar. Dia tinggal di Kayamanya. Dari sana sampai sekarang kami berteman,” kenang Martince.Kembali pada kegiatan yang diselenggarakan oleh Mosintuwu, di sesi awal, Martince menjelaskan tentang topik pertemuan yang dilakukan.
Pada pertamuan kali ini, terdapat tiga topik utama yang dibicarakan dan didiskusikan, yakni Monitoring dan Evaluasi, Penjelasan Tim Pembaharu Desa, dan Sekolah Perempuan Lanjutan. Selanjutnya, Martince menjelaskan tentang cara pengisian lembar Monitoring dan Evaluasi Anggota Sekolah Perempuan.
Setelahnya, Lian Gogali mengambil alih dan menjelaskan tentang Tim Pembaharu Desa. Dalam penjelasannya, Lian menuturkan bahwa yang dimaksud dengan Tim Perempuan Pembaharu Desa adalah satu kesatuan dari lima tim yang akan dibentuk. Adapun kelima tim tersebut adalah Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA), Usaha Desa, Pendamping Desa, Media, dan Project Sophia.
Kelima tim ini merupakan rumusan baru, sekaligus pemadatan, dari awalnya tujuh tim yang dibentuk sebagai follow up pasca kegiatan Sekolah Perempuan.Dalam suatu wawancara di Gedung DPRD Poso, Muhaimin11 mengatakan bahwa Mosintuwu sangat sering ditemui di lapangan. Dalam pantauannya, Mosintuwu melakukan perlindungan yang nyata kepada perempuan dengan mendampingi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum aparat keamanan.
Berkat pendampingan yang dilakukan oleh Mosintuwu, pelaku pelecehan seksual tersebut dinyatakan bersalah dan mendekam di penjara. Hal ini tak lepas dari kerja Bidang Pengorganisasian di bawah koordinasi Martince Baleona, yang di desa-desa dikenal dengan nama Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA).Pada kegiatan tersebut, secara detail Lian menjelaskan apa saja yang harus dilakukan kelima tim secara satu persatu.
Kemudian ketika memasuki penjelasan tentang Sekolah Perempuan Lanjutan, Lian menyampaikan bahwa ini ditujukan bagi mereka yang telah menjadi alumni Sekolah Perempuan. 10 Daerah Texas merupakan istilah yang ditunjukkan oleh orang Poso untuk menyebutkan atau menunjuk daerah yang dianggap rawan dan tidak boleh dilewati. Kayamanya merupakan daerah Texas bagi orang Kristen.
Sedangkan Tentena merupakan daerah Texas bagi orang Islam.11 Muhaimin merupakan Ketua Pemuda Muhammadiyah Poso. Saat ini ia juga tercatat sebagai Ketua DPC Partai Amanat Nasional (PAN) Poso, yang mengantarkannya menjadi salah seorang anggota legislatife pada pileg tahun 2015 yang lalu.
Nantinya, pada Sekolah Perempuan Lanjutan, para perempuan akan banyak mendapatkan materi tentang kepemimpinan karena bahan yang sedang disiapkan mengenai kurikulum kepemimpinan perempuan. Tak ada perbedaan penjelasan di antara ketiga desa yang dikunjungi. Perbedaan hanya terlihat dalam forum tanya jawab dan berbagi informasi antara alumni Sekolah Perempuan dengan tim Mosintuwu Institute.
Misalnya, sebelum penjelasan tentang kelima tim itu dimulai, seorang ibu yang tengah menggendong anaknya menginterupsi, mempertanyakan bagaimana cara ia mengisi lembar Monitoring dan Evaluasi karena ia tak sempat mengikuti Sekolah Perempuan yang diadakan. Di desa lainnya, ada juga seorang ibu yang menanyakan apakah ia boleh mengisi sebagian saja lembar Monitoring dan Evaluasi karena hanya mengikuti setengah jalan Sekolah Perempuan akibat sempat dilarang oleh suaminya.
Menanggapi pertanyaan pertama, tim Mosintuwu Institute menjawab bahwa ibu yang belum pernah mengikuti Sekolah Perempuan tidak perlu mengisi lembar Monitoring dan Evaluasi. Cukup dengan mengikuti kegiatan ini saja dari awal sampai akhir. Dan nanti bila kembali diselenggarakan Sekolah Perempuan, ibu tersebut disarankan untuk mengikutinya.
Sedangkan menjawab pertanyaan di desa lain, tentu dalam waktu dan tempat yang berbeda pula, tim Mosintuwu menyatakan bahwa sang ibu cukup mengisi kuesioner sesuai dengan apa (modul) yang diikutinya selama Sekolah Perempuan berlangsung. Untuk pertanyaan yang si ibu tidak sempat mengikuti kegiatannya, jawaban diisi saja dengan informasi yang menyatakan bahwa pada saat materi itu berlangsung ia tidak sempat mengikutinya.
Dalam forum tanya jawab tersebut ada juga perempuan yang menyampaikan apa saja yang sudah dilakukannya. Di antara mereka yang menyampaikan hal tersebut adalah Mama Fidar, warga Desa Bakekao. Dengan merujuk kepada UU Desa No. 6 Tahun 2014, Mama Fidar membatalkan pemilihan Kepala Desa karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam UU tersebut.
Akibat hal yang dilakukannya ketika itu, sekarang Mama Fidar menjadi tempat bertanya warga dan sebagian aparatur desa ketika di desa tempat tinggalnya akan diselenggarakan musyawarah.Selain Mama Fidar, ada juga ibu di Desa Badangkaia yang menceritakan bisnis wortel yang dijalaninya. Meskipun beriklim sejuk karena berada di kaki gunung, warga Desa Badangkaia tak ada yang menanam wortel dalam aktivitas sehari-harinya sebagai petani. Wortel malah dibawa oleh pendatang yang jauh-jauh datang dari Poso Pesisir selama sekali dalam sebulan.
Melihat peluang tersebut, si ibu mulai menanam wortel dan menjualnya. Meskipun pada awalnya kurang laku karena warga tidak biasa mengkonsumsi, dua bulan terakhir si ibu mulai memetik keuntungan ketika warga mulai mengkonsumsi wortel secara teratur.
Menurut penuturannya, hal ini tidak terlepas dari rumus yang diberikan oleh Mosintuwu ketika Sekolah Perempuan berlangsung, yakni cari yang paling dibutuhkan oleh masyarakat desa, cari potensi yang ada di desa, dan cari hal yang bisa dikerjakan. Mosintuwu memang selalu menekankan tiga hal tersebut kepada para perempuan agar bisa mandiri secara ekonomi. Hal ini tak lain menjadi bagian dari program Ekonomi Solidaritas
Pada hari pertama ini, selama tim MAARIF mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Mosintuwu Institute, kehadiran anak-anak kecil menjadi tak terhindarkan. Bayi, balita, dan anak-anak usia Sekolah Dasar merepotkan dan menonton para ibu-ibu dan tim Mosintuwu. Beserta para ibunya, di awal sesi anak-anak menyanyikan lagu “Kepala Pundak Lutut Kaki”, dengan diikuti gerakan tubuh, yang telah diubah liriknya.
Hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran (advokasi) tentang pentingnya menjaga anggota tubuh.Di sela-sela nyanyian tersebut, Cici menyampaikan bahwa hal demikian sudah jamak dan Mosintuwu Institute memang sengaja tidak melarangnya. Karena mereka sadar bahwa anak-anak susah jauh dengan ibunya. Terlebih, dengan menghapal nyanyian tersebut, anak-anak diharapkan dapat menjaga anggota tubuh mereka agar tidak menjadi korban pelecehan seksual.
Ketika kegiatan berlangsung, anak-anak seumuran Sekolah Dasar membaca buku yang dibawa oleh tim Mosintuwu sebagai bagian dari Project Sophia (Perpustakaan Keliling untuk Anak). Buku ini tidak bisa dibawa ke rumah masing-masing. Hanya boleh dibaca di tempat acara. Ketika acara berakhir, anak-anak pun harus mengembalikan buku yang mereka baca.
Kegiatan dengan topik utama Monitoring dan Evaluasi, Penjelasan Tim Pembaharu Desa, dan Sekolah Perempuan Lanjutan ini diselenggarakan secara sederhana di rumah-rumah warga. Instrumen yang digunakan pun sangat sederhana berupa white board yang bisa dibawa kemana-mana lengkap dengan flif chart, kertas plano, spidol dan perlengkapan pendukung lainnya. Di tiga rumah warga yang dijadikan arena pertemuan terpajang foto-foto kegiatan dan Wisuda Sekolah Perempuan yang mereka ikuti.
Catatan lain yang menarik dari perjalanan mengikuti kegiatan Mosintuwu Institute adalah bagaimana mereka menghargai dan memberdayakan diri (staf) sendiri. Selama kegiatan berlangsung, Ulin dan Cici membantu kesiapan instrument sampai membuat masakan untuk dinikmati bersama-sama. Mereka berdua pula yang mendokumentasikan kegiatan dan melayani anak-anak yang meminjam buku bacaan.
Sedangkan, Asni fokus menjadi notulen yang mencatat alur serta dinamika selama diskusi berlangsung. Sementara itu, Martince bertugas mengkoordinir para peserta sambil membuat catatan-catatan untuk mem-back up notulensi Asni. Terkait dengan notulensi, apa yang dilakukan Mosintuwu sedikit-banyak dilupakan oleh NGO lain yang kerapkali lupa atau bahkan tidak membuatnya sama sekali.
Langkah Nyata
Jum’at, 29 April 2016 merupakan hari kedua tim MAARIF mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh Mosintuwu Institute. Topik hari ini berbeda dengan topik di hari sebelumnya. Pada hari ini, topik yang dibahas mengenai persiapan pembentukan organisasi perempuan. Peserta atau orang yang datang pun orang yang berbeda dengan mereka yang datang di hari sebelumnya, karena mereka merupakan alumni Angkatan Pertama dan Angkatan Kedua Sekolah Perempuan.
Pukul 07.00 WITA di Desa Badangkaia, tanpa seremonial yang berarti, Lian Gogali memfasilitasi dua orang perempuan yang berasal dari Desa Bakekao. Sebelum memulai pemaparannya, Lian terlebih dahulu meminta maaf karena pertemuan tertunda dan berganti hari. Kedua perempuan yang hadir pun meminta maaf mewakili teman seperjuangannya yang tidak bisa menghadiri acara ini.
Memulai pemaparannya, Lian menjelaskan perbedaan tentang mereka sebagai anggota atau alumni Sekolah Perempuan dengan mereka nanti sebagai anggota organisasi perempuan. Secara garis besar, Lian memberikan penjelasan menyeluruh tentang organisasi, Anggaran Dasar (AD)/ Anggaran Rumah Tangga (ART), nilai, prinsip, dan perjuangan yang akan digariskan di organisasi perempuan kelak. Penjelasan rinci seperti itu dilakukan karena yang dihadapinya merupakan para perempuan akar rumput, yang sebelumnya tidak mengenal organisasi sama sekali. Penjelasan itu berlangsung selama dua jam dengan tanya jawab yang menyertainya.
Di akhir pembahasan, Lian mengingatkan kepada dua perempuan yang hadir agar mereka menyampaikan kepada perempuan, dan bapak-bapak yang tertarik bergabung, lain yang berhalangan hadir. Lian mengagendakan dua minggu ke depan akan kembali untuk membicarakan kelanjutan dari pertemuan ini.
Sejauh yang kami amati, Lian tampak sangat hati-hati akan arah organisasi perempuan yang coba dilahirkannya. Ia bahkan tidak memberikan kesempatan atau ruang bicara kepada tim Mosintuwu yang lain. Ia perlu mengawalnya langsung. Dalam penuturannya, berkali-kali kami dengar kegelisahan dan kekhawatiran Lian jika organisasi perempuan yang digagasnya akhirnya mudah tergadaikan seperti yang lain. Kehati-hatian ini ditangkap oleh Sofyan Siruyu.
Dalam pertemuan di Sekretariat Redaksi Harian Poso Raya, Sofyan berujar, “Mosintuwu pernah ditawari bantuan oleh pemda. Ditolak sama Lian karena menurutnya yang dibutuhkan perempuan bukan itu. Dulu mau dikasih bantuan uang dan peralatan mesin pemipil jagung. 5 unit pada saat itu”.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Sony Kapito. Menurut Sony, saking hati-hatinya, Mosintuwu menolak dengan tegas ajakannya untuk bersama-sama memberdayakan masyarakat. “Saya ajak dia (Lian sebagai Direktur Mosintuwu Institute) bermitra. Cuma dia (Lian) hati-hati sekali karena sekarang saya Ketua Perindo Poso. Kamu kan tahu Perindo itu bagaimana. Dia datang dengan gaya pemberdayaan, banyak sekali program-program. Saya ingin bekerjasama dalam hal ini. Tapi dia sangat hati-hati. Dia takut tergiring ke sana (politik). Saya bilang tidak, kita professional. Dia sangat hati-hati. Dan saya hargai itu”, terang Sony.
Atas segala kiprah dan langkah nyata yang ditunjukkan oleh Mosintuwu, Pdt. Lian Padele, Ketua Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), memberi apresiasi dan penilaian tersendiri bagi kehadiran lembaga tersebut. Pertama, Mosintuwu memberi warna tersendiri di Tentena secara khusus, dan Poso pada umumnya.
Mereka menghadirkan wacana yang berbeda dengan gereja atau lembaga keagamaan lainnya dalam hal pemberdayaan masyarakat. Jika gereja atau lembaga keagamaan lain melakukan pendekatan dari atas ke bawah, maka Mosintuwu melakukannya dari bawah ke atas. Kedua, meskipun terkesan eksklusif karena hanya mengangkat isu perempuan, akan tetapi pada kenyataannya Mosintuwu cerdas melihat dan memanfaatkan celah yang tidak dipakai oleh orang lain.
Isu pemberdayaan perempuan menjadi bukti nyata. Ketiga, dampak yang dihasilkan terlihat nyata dan dapat diukur. 12 Sofyan Siruyu adalah Pemimpin Redaksi Harian Poso Raya. Dampak yang dimaksud yakni kemampuan berargumen para perempuan desa; kemampuan berorganisasi; kemampuan membangun jaringan, baik di tingkat lokal, provinsi, nasional, hingga internasional; membangun hidup dalam keberagam secara damai; dan pengontrol kebijakan desa terkait dengan Undang-Undang Desa.
Penutup
Seperti sudah disinggung di awal, kedaulatan menjadi kata kunci yang digemakan Mosintuwu Institute. Di tengah budaya patriarki dan sistem feodal di Poso, kedaulatan atas hak ekonomi, sosial, budaya, dan politik inilah yang coba diwujudkan oleh Mosintuwu Institute. Guna mewujudkannya, Mosintuwu telah banyak melakukan langkah strategis selama ini.
Sekolah Perempuan dengan berbagai turunannya, Project Sophia, Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak, Ekonomi Solidaritas, serta mendorong tiga Rancangan Peraturan Daerah merupakan langkah-langkah nyata yang telah ditempuh.
Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan ini telah merubah persepsi dan memberi dampak nyata bagi masyarakat, khususnya para perempuan. Gerakan pembaharuan yang dilakukan Mosintuwu dengan mengangkat perempuan sebagai isu utama menjadikannya berbeda dan unik, dengan tingkat keberterimaan yang sangat tinggi.
Sejauh ini Mosintuwu masih mengupayakan perubahan paradigma di ranah individu dan keluarga menjadi paradigm komunal sebagai suara bersama. Hal ini sekaligus untuk menjawab tantangan yang selama ini ditujukan bagi Mosintuwu, terkait pembentukan organisasi perempuan.
Di tengah tantangan tersebut, selama setahun terakhir Mosintuwu telah berkeliling dari desa ke desa untuk mengkonsolidasikan agar hal itu terwujud. Jadi, tunggu saja tanggal mainnya. Hanya waktu yang bisa menjawab apakah Mosintuwu akan tetap menjadi Gerakan Pembaharuan Perempuan atau Gerakan Politik Perempuan. Atau, Mosintuwu menjadi jalan tengah di antara keduanya dengan mengilhami lahirnya Gerakan Politik Perempuan yang terdiri dari anggota (alumni) Sekolah Perempuan.
Pipit Aidul Fitriyana & Saefudin Zuhri
Sumber: Jurnal MAARIF Vol. 12, No. 2 — Desember 2017
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!