Pengarang: Fadhli Lukman, www.qureta.com

Antara Idealitas dan Realitas

Ma’arif Institut merilis Indeks Kota Islami (IKI), orang Minang berang. Beragam tanggapan, kecurigaan, bahkan tuduhan tumpah ruah di media sosial. Pasalnya, kota Padang ditempatkan di posisi tiga terbawah. Banyak yang merasa tersinggung, karena Padang dan Sumatera Barat adalah wilayah mayoritas berpenduduk Muslim.

Pun Minangkabau berfalsafah Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah. Indak baradaik dari dulu memang sebuah celaan yang keras bagi orang Minang. Maka, ketika menempatkan 2 kota kebanggaan di Sumbar di urutan bawah pada Indeks Kota Islami, maka Ma’arif Institut secara tidak langsung menyebut orang Padang tidak beragama dan tidak beradat. Inilah yang membuat orang Minang marah.

Persoalan sebenarnya adalah problem kesenjangan idealitas dan realitas. Penelitian tersebut tidak memperhatikan apakah orang Minang berfalsafah hidup Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah; bahwa orang Minang menghargai Islam, bercita-cita hidup secara Islam, baik pada level individu maupun sosial; dan mendukung setiap upaya-upaya untuk menghapuskan maksiat. Bukan itu yang mereka bahas.

Yang mereka teliti adalah tentang bagaimana cita-cita tersebut teraplikasi di lapangan. Bukanlah norma apa yang dianut oleh orang-orang tertentu, baik Hindu di Bali maupun Islam dan adat di Padang yang mereka perhatikan, melainkan bagaimana realitas kehidupan orang-orang di kota-kota di Indonesia dengan menggunakan tiga kriteria ‘Islami’, yaitu kesejahteraan, keamanan, dan kebahagiaan.

Terkait perda syari’ah, hasil penelitian ini mengungkapkan temuan unik. Daerah-daerah yang memiliki perda syari’ah tidak secara otomatis memenuhi ketiga kriteria ‘Islami’ yang digunakan. Ini adalah hal yang logis belaka, bahwa ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam perumusan dan implementasi sebuah hukum. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa implementasi perda syariah sejauh ini belum menghasilkan rasa aman, bahagia, dan sejahtera penduduknya.

Kita tidak perlu terburu-buru menuduh bahwa penelitian ini dilakukan untuk melemahkan perda syari’ah. Justru, hasil penelitian tersebut harus dijadikan media introspeksi bahwa implementasi perda syari’ah sejauh ini masih belum memenuhi ekspektasi.

Informasi Minim

Banyak orang yang menyoroti kriteria yang digunakan oleh Ma’arif Institut dalam penelitian ini. Indikator aman, sejahtera, dan bahagia dinilai bukanlah kriteria ‘Islami’, melainkan kriteria umum. Sejahtera, aman, dan bahagia hanyalah cita-cita universal naluriah manusia, sementara cita-cita hidup Islam lebih khusus dari itu.

Kriteria Islami adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah yaitu bersyahadat, shalat, zakat, puasa, dan berhaji, atau yang disampaikan banyak ayat Al-Quran yaitu beriman kepada Allah, Rasul, dan hari akhir, serta meninggalkan perkara-perkara yang dilarang seperti zina, khamar, dan sebagainya.

Untuk mengomentari istilah ‘Islami’ secara labih layak tentu saja harus memperhatikan detil dari research plan yang digunakan. Sayangnya, informasi tentang itu terbatas, hanya dari media yang menyampaikannya sepotong-sepotong.

Jika penyebutan ‘Islami’ di sana dinilai tidak tepat dengan alasan tersebut, saya tidak sepenuhnya sependapat. Setipis info yang beredar menyebut bahwa koordinator peneliti IKI, Ahmad Imam Mujadid Rais, indikator tersebut diramu berdasarkan maqashid al-syari’ah dan Piagam Madinah. Tapi kembali, diperlukan info yang lebih detil tentang ini.

Selain itu, terminologi ‘kota’ juga penting diperhatikan. Menurut Rais, ‘kota Islami’ merujuk kepada keislaman dalam level perkotaan, bukan dalam makna perilaku masyarakat seperti dalam antropologi. Akan tetapi, kita melihat informasi yang kontradiktif di sejumlah media, bahwa variabel turunan dari ketiga kategori inti tersebut adalah perilaku shalat, sedekah, dan semacamnya. Ini antropologis.

Menunggu Respon Pemerintah dan Kampus

Kita telah melihat ada celah-celah yang bisa diperdebatkan dalam IKI, baik terkait kriteria maupun implementasinya. Sungguhpun demikian, penelitian tersebut mengungkapkan bahwa tingkat keamanan, kesejahteraan, dan kebahagiaan penduduk di Padang dan Padang Panjang termasuk rendah. Artinya, pemerintah perlu merespon hasil penelitian ini.

Respon yang dimaksud di sini bukanlah respon verbal-reaktif. Penelitian tersebut menyampaikan sebuah penilaian. Maka, buruknya penilaian diniatkan untuk diperbaiki. Rendahnya tingkat keamanan, kesejahteraan, dan kebahagiaan penduduk di Padang dan Padang Panjang harus segera diperbaiki. Demikianlah cara pemerintah merespon IKI ini. Kita bersyukur Wako Padang menanggapinya sedemikian.

Kita tentu telah mendengar beberapa perkembangan tentang kota Padang seperti pembersihan tenda ceper dan tata pantai. Tapi masih ada hal-hal yang harus diperhatikan. Misalnya seberapa ramahkah lalu lintas buat pejalan kaki atau buat pengendara motor?; seberapa amankah jalanan dari pengemudi angkot remaja yang ugal-ugalan?; dan sebagainya.

Di atas semua itu, yang paling berhak untuk merespon penelitian ini adalah kampus-kampus di Sumatera Barat. Jika hasil penelitian Ma’arif Institut ini hanya dijawab dengan keberangan, maka tiada guna. Penelitian dijawab dengan penelitian, bukan umpatan.

Respon-respon yang diperlihatkan masyarakat menggambarkan kegelisahan mereka. Jika tidak ingin kegelisahan tersebut bertahan, Lemlit kampus perlu menanggapi isu ini dengan lebih serius. Mereka perlu mengagendakan penelitian serupa, memperbaiki indikator ‘Islami’ dan ‘Kota’ yang ambigu, dan dieksekusi di lapangan. Selanjutnya, kita lihat hasilnya.

Barang Lama

Terlepas dari kritik, celaan, dan kecurigaan terhadap Ma’arif Institut, riset ini bukanlah barang baru. Direktur Eksekutif Fajar Riza Ul Haq menyebut bahwa riset ini dilatarbelakangi dari riset Indeks Negara Islami yang menempatkan Indonesia di urutan 140 dari 170.

Tapi, ‘bukan barang baru’ yang saya maksud bukan dalam konteks ini, melainkan dalam ungkapan Muhammad Abduh yang terkenal, “al-Islamu mahjubun bi al-muslimin” (Islam terhalang oleh orang Islam itu sendiri). Konon ia juga menyatakan bahwa di Barat ia melihat Islam tapi bukan Muslimin, sebaliknya, di Mesir ia banyak melihat Muslimin, tapi tidak Islam.

Hasil penelitian Ma’arif Institut hanyalah pengulangan dari refleksi Abduh tersebut. Secara terang, penelitian ini mengawinkan ungkapan Abduh dengan realita di Indonesia. Mereka menyebut ‘kami temukan Islam di Bali, tapi bukan kaum Muslimin, dan kami lihat kaum Muslim di Padang, tapi tidak Islam itu sendiri.’

Jika selama kita begitu saja mengamini refleksi Abduh, dan berang dengan riset Ma’arif Institut, rupanya kita telat sadar bahwa kegelisahan Abduh ada di dalam rumah kita.

Fadhli Lukman

http://www.qureta.com/post/padang-kurang-islami?utm_campaign=shareaholic&utm_medium=facebook&utm_source=socialnetwork

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

ten − 7 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.