REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sekalipun Muhammadiyah disakiti dan harta miliknya dirusak, reaksi yang diberikan adalah dalam bentuk pernyataan di atas, yaitu agar hukum ditegakkan. Dengan sengaja menyamarkan nama pelaku teror itu, Muhammadiyah tidak rela lantaran politik kekuasaan persaudaraan umat di tingkat bawah menjadi kacau dan berantakan. Ongkosnya akan sangat tinggi bila teror dibalas dengan teror. Orang yang beradab pasti mampu menahan diri sebagai pertanda keadaban.
Anarkisme di Jawa Timur menjadi perhatian utama PP Muhammadiyah. Kontak dengan PWM Jawa Timur terus dilakukan sambil mendesak aparat agar tindakan kekerasan dihentikan secepatnya. Anak-anak muda NU yang dekat dengan saya terus dihubungi agar menggunakan pengaruh mereka untuk meredakan situasi yang panas, tetapi tidak membawa hasil. Cukup banyak milik Muhammadiyah yang menjadi sasaran tindakan brutal selama berbulan-bulan sampai Presiden Abdurrahman Wahid benar-benar harus rela meninggalkan kursi kepresidenannya pada 23 Juli 2001, setelah berkuasa sejak 20 Oktober 1999.
Pengalaman memimpin Muhammadiyah dalam kondisi semacam itu sungguh sangat membekas dalam hati dan perasaan saya. Ternyata sebagian umat Islam ketika tokoh idolanya sedang berada dalam proses kejatuhan karena dinilai melakukan kesalahan menjadi tidak stabil dan tidak normal, bahkan bisa berbuat apa saja yang dilarang agama. Sejarah Islam dalam bilangan abad tidak sunyi dari pengalaman pahit serupa ini, tetapi kita tidak mau belajar untuk tidak mengulanginya.
Alhamdulillah, beberapa bulan setelah itu hubungan NU-Muhammadiyah di tingkat dasar berangsur pulih secara perlahan, tetapi pasti. Kata orang, kepemimpinan saya telah lulus ujian, sekalipun Muhammadiyah harus berkorban. PBNU bukannya tidak mengakui bahwa milik Muhammadiyah telah dirusak oleh warganya. Oleh sebab itu, bantuan mereka tawarkan untuk perbaikan kembali, tetapi PWM Jawa Timur dengan sopan menolaknya dengan alasan: “…secara spontan warga Muhammadiyah telah mulai melakukan perbaikan.” Jawaban ini sebenarnya tajam, tetapi dianyam dalam bahasa simbolis yang santun, sejalan dengan salah satu diktum dalam kepribadian Muhammadiyah yang berbunyi: “Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.”
Saya dan teman-teman pimpinan yang telah bekerja keras sejak muktamar tahun 2000 untuk merajut tali persaudaraan yang tulus dengan kalangan NU tentu cukup terluka dengan apa yang dialami Muhammadiyah di Jawa Timur. Tetapi, di awal tahun 2002, upaya menguatkan persaudaraan itu saya teruskan lagi dengan hasil yang lumayan. Inilah rupanya risiko yang harus dilalui Muhammadiyah karena anggota masyarakat tertentu belum bisa membedakan antara figur Amien Rais sebagai Ketua MPR dengan Muhammadiyah yang ketika itu sudah berada di bawah kepemimpinan saya. Sampai dengan muktamar ke-45 di Malang, Juli 2005, gangguan terhadap Muhammadiyah sudah jauh berkurang, bahkan sampai hari ini, setelah saya sejak tahun itu tidak lagi berada dalam kepengurusan PP Muhammadiyah karena usia sudah 70 tahun.
Itulah sekilas pengalaman dari seorang anak kampung tersuruk dalam kiprah gerakan Muhammadiyah berhadapan dengan realitas umat dan bangsa. Suka dan getir saling melengkapi. Dalam segala cuaca, stamina spiritual memang tidak boleh melemah, sekalipun tidak jarang saya merasa sangat lelah.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!