Jakarta, CNN Indonesia — Tak banyak tokoh Islam yang berintegritas, memiliki pemikiran seluas samudra dan mampu menjadi tokoh lintas agama. Ahmad Syafii Maarif adalah salah satunya.
Sebagai wujud salutasi bagi sang Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah dan pendiri Maarif Institute, 14 penulis mempersembahkan buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat. Buku setebal 426 halaman ini diluncurkan di Bentara Budaya Jakarta, pada Jumat (3/6).
Salah satu pembahas buku pada acara tersebut, mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat menilai, Maarif sebagai tokoh berintegritas. Maarif mampu menjadi tokoh lintas agama.
“Buya Syafii orangnya sederhana,” Komaruddin memuji. “Orang lain pun percaya apa kata-katanya, dan dia berintegritas. Buya bisa membedakan nilai ajaran Nabi Muhammad dan Islam di Timur Tengah. Buya ini pikirannya dibaca, sekaligus pemikirannya membaca sejarah.”
Pengajar Unika Atma Jaya Alois A. Nugroho yang juga menjadi pembahas, pada sore itu, menekankan bahwa judul muazin menggambarkan sikap Maarif. Menurutnya Maarif tidak bosan meneriakkan kritik.
“Bagi saya, bagi banyak orang, Buya itu menyerukan mana yang benar dan mana yang salah. Tidak jemu jemu walaupun yang diserukan tidak kapok-kapok. Kita memerlukan orang yang berani bersuara dan berani pada diri sendiri,” tutur Alois.
Ditegaskan Alois, “Kita membutuhkan muazin yang bisa mengatakan bahwa salah adalah salah, dan benar adalah benar.” Dengan begitu, si pelaku kesalahan memahami perbuatannya telah merugikan banyak orang.
Rahmawati Husein, pengajar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, juga menekankan perhatian Maarif pada perilaku yang abai terhadap lingkungan. Perilaku korup menjadi pemicu rusaknya sumber daya alam (SDA).
“Korupsi dilakukan 53 kepala daerah itu berhubungan dengan izin eksploitasi alam. Buya sangat keras menyampaikan korupsi berhubungan dengan banjir dan kerusakan alam,” ucap Rahmawati.
Di akhir sesi pembahasan buku, ketiga pembicara menyampaikan testimoni untuk Maarif. Komaruddin menggarisbawahi pentingnya lembaga studi Islam, sedangkan Alois dan Rahmawati menyampaikan salutasi bagi pemikiran Maarif.
“Di Indonesia itu kalau bicara pusat studi keislaman itu masih massa, belum lembaga. Sebelum Buya goodbye dengan kami, masih ada tugas baru, yaitu merintis institusi keislaman yang world class,” ujar Komaruddin.
Komaruddin berharap, tak hanya tulisannya yang dikenal dan dibaca, namun juga lembaganya. Dulu, katanya, Sriwijaya itu pusat studi Hindu, kenapa tidak sekarang didirikan dalam konteks Islam?
“Buku ini menerjemahkan bagaimana pemikiran Buya menjadi seluas samudra,” kata Rahmawati. “Beliau tidak hanya menjadi tokoh Islam tapi lintas agama. Pemikiran Buya harus disimak masyarakat Indonesia dan masyarakt global,” tutup Alois.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!