Oleh: Moh Shofan, Direktur Program MAARIF Institute

DALAM sebuah acara refleksi kebangsaan bertajuk Spirit Guru Bangsa—Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii—dalam Aspek Bernegara Masa Kini yang diselenggarakan Jaringan Gusdurian, Nurcholis Madjid Society, dan Maarif Institute di Djakarta Theater, beberapa waktu lalu, saya—salah satu di antara narasumber lain, seperti Ulil Abshar Abdalla, Alissa Wahid, dan Musdah Mulia—menyampaikan apa yang menjadi kekhawatiran Buya Syafii, yaitu jika kita tidak hati-hati dan gagal mengelola kebinekaan Indonesia yang kaya ini, tidak tertutup kemungkinan bahwa bangsa ini akan masuk museum sejarah pada suatu hari.

Kegelisahan Buya Syafii di atas—dan pada hakikatnya juga menjadi kegelisahan dua sahabat dekatnya: Cak Nur dan Gus Dur—selalu disampaikan berulang-ulang saat melihat ada masalah yang tidak beres di negerinya. Bagi Buya Syafii, di bumi Indonesia, setiap elemen masyarakat dan bangsa harus mendapat perlakuan yang setara tanpa membedakan latar belakang etnik, budaya, atau agama.

Buya Syafii selalu menegaskan pentingnya anak-anak bangsa untuk menjalin persaudaraan, bekerja sama dengan berbagai pihak, baik intra maupun antaragama, untuk membangun Indonesia yang lebih baik di masa depan.

Mengapa anak muda? Karena dalam beberapa tahun terakhir ini, ada kecenderungan sikap intoleran dan segregatif di kalangan anak-anak muda sebagai agen perubahan yang semestinya dapat berperan aktif dalam mempromosikan toleransi agama, toleransi budaya, toleransi politik, serta mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dan hak asasi manusia. Dari sejumlah isu-isu terkait, tampaknya isu toleransi beragama dan toleransi politik yang senantiasa berpotensi menggerus kohesi kebangsaan kita. Persoalan itu merambah pada sendi-sendi kehidupan, tidak terkecuali pendidikan.

Fenomena intoleransi

Sejumlah penelitian mengonfirmasi sikap keterbukaan dan penghargaan terhadap perbedaan, termasuk terhadap kelompok minoritas dan marginal, serta aktor-aktor pendidikan kita masih lemah (PPIM, 2017, 2018; Wahid Institute, 2019). Di ranah pendidikan tinggi, misalnya, sejumlah studi menunjukkan merebaknya ekstremisme di kalangan perguruan tinggi (Setara Institute, 2019); kegiatan keagamaan di lingkungan kampus mendorong tumbuh suburnya pandangan keagamaan yang eksklusif (CISForm, 2018).

Sementara itu, survei yang dilakukan INFID dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) tentang sikap dan pandangan generasi Z dan milenial di Indonesia terhadap toleransi, kebinekaan, dan kebebasan beragama di 18 provinsi pada Agustus–September 2021, menunjukkan siswa dan mahasiswa merasa bahwa pendidikan agama memiliki porsi yang besar dalam memengaruhi mereka agar tidak bergaul dengan pemeluk agama lain.

Di sisi lain, media sosial juga dapat bermanifestasi sebagai media intoleran dan ekspresi radikal. Media sosial menjadi platform utama dalam penyebaran konten yang mengarah pada tindakan intoleransi, termasuk ujaran kebencian dan hoaks (Burhanuddin et al, 2021). Sejak 2015 intolerasi dan radikalisme agama di Indonesia semakin menguat yang ditandai dengan menguatnya narasi-narasi negatif dan ujaran kebencian di media mengenai sentimen primordial keagamaan (George, 2016). Hasil survei yang dilakukan Mastel pada 2019 mengungkapkan hoaks terkait dengan SARA menduduki posisi kedua setelah hoaks mengenai isu politik (Kuntarto et al, 2021).

Tingginya kasus intoleransi di sejumlah instansi pendidikan, maraknya saling hujat di media sosial (medsos) menjadi cermin rendahnya tingkat toleransi masyarakat. Sikap intoleransi itu tidak hanya terjadi pada level masyarakat mayoritas, tetapi juga tumbuh subur pada masyarakat minoritas.

Bahkan, kasus terbaru yang terjadi di kawasan Pasir Putih Kambang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, yakni penelanjangan dan penceburan ke laut terhadap dua perempuan yang diduga sebagai pemandu karaoke—sumber berita lain mengungkap bahwa keduanya hanya pengunjung yang datang bersama teman temannya—menambah rentetan panjang kasus kekerasan terhadap perempuan yang beririsan dengan moralitas keagamaan.

Pandangan keagamaan yang eksklusif, absolutis, merasa paling benar dalam memahami sesuatu, dan melakukan hal yang bertentangan dengan arus utama seolah menjadi kewajaran di lingkungan masyarakat kita.

Benar-benar sebuah kemalangan bahwa di abad ke-21, kita masih harus menyaksikan kekejian seperti ini. Betapa doktrin keagamaan sangat berpotensi menjadi alat legitimasi tindakan kekerasan dan dalam batas yang paling ekstrem ialah berani menempuh jalan ekstrem seperti mengakhiri hidup demi membela ajarannya.

Kekerasan demi kekerasan itu tidak hanya dapat mengganggu kebebasan umat beragama dalam menunaikan ajaran agamanya, tetapi juga dapat mencederai dan menodai sendi-sendi ajaran agama itu sendiri. Keadaan itu pada gilirannya akan menghancurkan hak-hak heterogenitas (keragaman) dan memorak-porandakan kesatuan bangsa.

Berperang atas nama agama, menurut Buya Syafii, ialah sebuah bentuk ‘teologi maut’ yang dapat memonopoli kebenaran terhadap kelompok lain. Cara beragama seperti itu merupakan pengkhianatan terhadap kitab sucinya yang pada hakikatnya berkhianat pada nilai nilai kemanusiaan.

Penguatan pendidikan toleransi dan kebinekaan

Kita berharap akan hadirnya intelektual-intelektual organik dan tokoh-tokoh agama yang berani menyerukan agar tiap-tiap umat beragama memiliki cara beragama yang inklusif, mengajak kembali ke agama autentik, yakni modus keberagamaan yang tidak sekadar bersetia dengan doktrin skriptural yang statis, tetapi juga sebuah iman yang hidup dan menghidupi kemanusiaan universal untuk mewujudkan sistem kehidupan yang berkeadilan, berkesetaraan, dan menciptakan kehidupan yang manusiawi.

Habib Ali al-Jufri, dalam bukunya berjudul Al-Insaniyyah Qabl at-Tadayyun (Kemanusiaan sebelum Keberagamaan) menjelaskan, agama dan kemanusiaan pasti sejalan mengingat misi utama agama ialah kemanusiaan itu sendiri. Agama-agama Tuhan diturunkan dengan misi yang sama, yaitu untuk menjaga dan mengelola alam semesta serta memperbaiki keadaan para penghuninya, terutama umat manusia. Sebuah agama dikatakan agama karena ia memuat seperangkat ajaran (keyakinan) dan perbuatan yang mengantarkan pemeluknya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Orang yang menghormati jati diri setiap agama pasti tidak akan mengatakan semua agama ialah sama. Setiap agama tentu memiliki perbedaan. Setiap agama mempunyai pemahaman dan konsepsi sendiri-sendiri. Seperti dikatakan dalam kaidah ushul: al-ashl fi al-‘ibadah al-ittiba’. Namun, dalam hal yang berkaitan dengan etika dan moral, seperti kasih sayang, toleransi, perdamaian, keadilan, kesetaraan, dan persamaan hak merupakan ajaran yang diutamakan semua agama.

Nilai-nilai tersebut bisa diaplikasikan dalam konteks sosial untuk membangun kebersamaan dan kesepahaman. Dari sini kita berharap semoga masa depan umat manusia bisa lebih menjanjikan bagi datangnya era baru yang sejahtera, damai, dan tanpa prasangka dengan berpijak pada nilai-nilai moral dan spiritual yang mengikat dalam etika global.

Pendidikan toleransi dan kebinekaan yang memiliki prinsip menghargai perbedaan, menyemai keragaman, dan menguatkan nilai-nilai kebangsaan sejatinya menjadi budaya di sekolah. Lembaga pendidikan ialah media yang paling tepat untuk mereparasi mindset seseorang. Guru punya posisi strategis dan punya peran penting dalam pembentukan nilai-nilai, pandangan, serta pemikiran siswa. Sejauh ini para guru agama masih jauh dari memainkan peran itu.

Pendidikan agama yang seharusnya diarahkan menjadi media penyadaran umat, pada kenyataannya sampai saat ini masih memelihara kesan eksklusivitas. Itu sehingga akan tumbuh pemahaman yang tidak inklusif, harmonisasi agama-agama di tengah kehidupan masyarakat tidak dapat terwujud. Kesadaran seperti itu niscaya akan menghasilkan corak paradigma beragama yang rigid dan tidak toleran.

Untuk itu, diperlukan adanya upaya-upaya untuk mengubah paradigma pendidikan yang eksklusif menuju paradigma pendidikan agama yang toleran dan inklusif. Model pengajaran agama yang hanya menekankan kebenaran agamanya mau tidak mau harus ‘dibongkar ulang’. Itu karena cara pemahaman teologi yang eksklusif dan intoleran pada gilirannya akan dapat merusak harmonisasi agama-agama serta menghilangkan sikap untuk saling menghargai kebenaran dari agama lain.

Dalam pendidikan toleransi, guru bisa menggunakan beragam metode: ceramah, diskusi, dan tanya jawab dengan menyajikan gambar-gambar atau video-video terkait dengan permasalahan toleransi, seperti kasus penyegelan, perusakan tempat ibadah, pengusiran terhadap kelompok tertentu yang berbeda keyakinan. Dengan memakai beragam metode dan menyajikan data-data pelanggaran kebebasan beragama, peserta didik akan terlatih dan mampu berpikir secara kritis.

Guru harus punya cara dan kreativitas untuk menanamkan nilai toleransi kepada peserta didik agar bisa menghargai perbedaan pendapat serta tidak mudah terjebak pada perdebatan normativitas dan sakralitas. Dengan demikian, siswa diharapkan mampu untuk melakukan pengamatan serta sikap apa saja yang perlu dikembangkan dalam ruang-ruang kebinekaan.

Dengan memahami kebinekaan sebagai sebuah kenyataan hidup, yakni setiap orang harus berusaha sampai sikap saling memahami satu sama lain, serta memberikan implikasi positif bagi para pemeluk agama untuk saling berlomba melakukan yang terbaik sesuai dengan doktrin ajaran masing-masing, pendidikan toleransi yang merupakan salah satu usaha dalam mewujudkan sustainable development goals (SDGs) yaitu, pendidikan bermutu akan terwujud dengan baik.

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/575346/penguatan-pendidikan-untuk-menjaga-kebinekaan

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

fifteen − three =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.