Pengarang: http://print.kompas.com

Josep Matheus Rudolf Fofid paham benar pedihnya konflik Maluku yang pecah pada 1999 dan baru reda 2002. Ia kehilangan ayah dan dua kakaknya dalam tragedi berdarah itu. Namun, ia tidak menyimpan dendam. Ia sadar bahwa mereka yang membunuh dan mereka yang terbunuh sebenarnya sama-sama korban. Ia pun berusaha menjahit kembali “kain” perdamaian yang terkoyak.

Berkat kerja keras dan konsistensinya, Opa-begitu sapaan akrabnya-mendapat Maarif Award 2016 pada Minggu (13/6) malam, di Jakarta. Ini penghargaan bergengsi yang diberikan kepada perorangan atau lembaga yang menebar nilai-nilai toleransi, penghargaan atas kebinekaan, dan keadilan sosial di akar rumput.

Maarif Award adalah salah satu program Maarif Institute-sebuah lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan dalam konteks keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan yang didirikan oleh mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif.

“Saya sebenarnya merasa tidak layak (mendapat penghargaan ini), tetapi harus saya terima karena ini bukan hanya untuk saya, melainkan juga untuk semua komunitas yang terlibat dalam kampanye perdamaian (di Maluku), para korban, dan pelaku,” ujar Opa.

Kami bertemu laki-laki keturunan Kei itu di sebuah mal di Jakarta, Minggu siang. Laki-laki ramping berusia 51 itu sederhana saja. Rambutnya yang keriting panjang diikat seadanya, jenggot dan kumisnya dibiarkan berantakan. Opa berbicara dengan suara lembut meski mengisahkan soal tragedi berdarah.

Tahun 1999, lanjutnya, konflik di Maluku pecah. Situasi memanas hingga ke pelosok kampung, termasuk di tempat tinggal ayah Opa di Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Para tetangga telah mengingatkan ayah Opa agar segera mengungsi karena rumahnya akan diserang. Namun, ayah Opa dan dua kakaknya bergeming. Ketika serangan benar-benar terjadi, mereka bertiga terbunuh.

Saat peristiwa itu terjadi, Opa sedang berada di Tual, Maluku. Tak terelakkan, “Saya menangis karena sedih tidak akan bisa bertemu mereka lagi.”

Namun, Opa tidak mau larut dalam kesedihan. Ia juga tidak ingin dikuasai oleh dendam. “Saya memilih meredakan kesedihan dan kemarahan. Saya tahu yang membunuh pasti bukan orang yang kami kenal atau orang yang terpaksa. Saya cuma tidak habis pikir mengapa konflik seperti ini bisa terjadi di Maluku yang masyarakatnya biasa hidup damai,” ujarnya.

Belum mendapat jawaban atas pertanyaannya, Opa harus menyaksikan konflik kian panas. Masyarakat terbelah berdasarkan agama. Situasi diperburuk oleh hadirnya posko-posko kemanusiaan yang hadir hanya untuk umat agama tertentu saja. Wartawan terbelah dan mulai memproduksi berita-berita yang bias.

“Situasi sangat kacau. Isu beredar lewat telepon. Fakta dibolak-balik,” kenang Opa yang saat itu bekerja sebagai wartawan di harian Suara Maluku.

Merangkul semua

Dalam situasi serba kacau, Opa dan kawan-kawan wartawan membentuk Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang melayani siapa saja tanpa memandang agama dan latar belakangnya. Mereka mempertaruhkan nyawa menerobos barikade komunitas yang bertikai untuk memberi bantuan.

Istri Opa, Keety Renwarin, juga turut serta. Keety, yang berprofesi sebagai apoteker, sering kali bertindak sebagai dokter yang merawat, memberi resep, atau mengobati korban. “Saya bilang, Eh kamu apoteker tidak boleh jadi dokter gadungan. Istri saya jawab, Dalam situasi kacau begini, apa pun boleh dilakukan untuk menolong orang.”

Beberapa kali mereka dicegat kelompok yang bertikai. “Istri saya bahkah pernah dikalungi celurit. Syukurlah kami selamat.”

Pada saat yang sama, Opa bersama-sama wartawan lain terus berdiskusi untuk menghentikan provokasi dan bias informasi yang diproduksi media, termasuk media nasional. “Kami diskusikan lagi prinsip-prinsip jurnalistik dan kode etik. Kami rumuskan pilihan kata-kata (untuk koran) yang bisa mengarahkan pada perdamaian,” katanya.

Setahun kemudian, Opa dan kawan-kawan mendirikan Maluku Media Center (MMC) sebagai rumah bersama bagi para wartawan berbeda agama dan tempat konfirmasi atas isu yang beredar. MMC kemudian menerbitkan media alternatif yang menawarkan jurnalisme damai.

“Awalnya dua wartawan berbeda agama meliput di masing-masing kubu. Pada akhirnya, wartawan Kristen bisa masuk ke komunitas Islam dan sebaliknya. Beberapa kali kena razia, tetapi kami lolos karena ada penjamin,” katanya.

Selanjutnya Opa merangkul komunitas sastra, musik, pencinta alam, dan anak jalanan lintas agama. “Bahkan, aktivis penyelamat burung pun kami rangkul. Yang penting saya bisa membuat mereka berkumpul, berdialog, dan pada akhirnya menghormati setiap perbedaan.”

Setelah beberapa tahun, jumlah anggota komunitas yang berhasil Opa rangkul mencapai ribuan orang. Opa juga menyebarkan benih-benih perdamaian ke komunitas-komunitas di luar Ambon. “Merekalah yang selanjutnya akan menjadi pewarta kasih sayang,” ujar Opa dengan wajah bahagia.

Rapuh

Sejak kecil, Opa biasa bergaul dengan kelompok yang berbeda agama. Warga di kampung halamannya di Desa Ngilngof, Maluku Tenggara, mayoritas beragama Katolik. Ketika usia SD dan SMP, ia dan keluarganya tinggal di Bacan, Maluku Utara, yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Saat SMA, Opa tinggal di lingkungan dengan penduduk mayoritas Kristen Protestan.

Ketika dewasa, ia berkenalan dengan Pastor Jan van de Made MSC yang sering mengajaknya menghadiri kegiatan-kegiatan dialog antaragama. Dari pengalaman masa kecil dan persentuhan dengan Pastor Jan, ia memahami konsep pluralisme.

“Saya tidak pernah jauh dengan komunitas Islam. Dari dulu, saya punya hubungan baik dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan kawan-kawan Muslim. Orang Maluku itu bertahun-tahun hidup harmonis meski beda agama.”

Karena itu, Opa tidak habis pikir ketika konflik berdarah pecah di Maluku pada 1999. “Saya tidak percaya ini konflik horizontal. Pasti ada tangan-tangan vertikal yang bermain,” ujarnya.

Kini, Opa bisa bernapas lega. Setelah bertahun-tahun konflik reda, tradisi untuk merayakan perjumpaan secara fisik di kalangan komunitas lintas agama kembali tumbuh. “Yang Islam, misalnya, mengundang yang Kristen untuk ikut berbuka puasa bersama di rumah.”

Meski demikian, Opa tetap menyimpan kekhawatiran. Ia tahu bahwa situasi Maluku sudah kembali damai, tetapi trauma akibat konflik masa lalu tidak pernah bisa diukur. Negara juga tidak pernah mendorong rekonsiliasi secara tuntas. Proses saling memaafkan secara kelembagaan tidak pernah didorong meski secara personal sudah terjadi.

“Luka lama akibat konflik dibiarkan dan dikira akan sembuh sendiri. Bekas petarung anak (anak-anak yang terlibat konflik) tidak ada yang urus. Mereka ada yang gila, tidak berani pulang kampung dan jadi preman. Yang bisa berdamai dengan masa lalu hanya sedikit. Mereka ada yang jadi relawan kemanusiaan,” tuturnya.

Situasi damai di Maluku, menurut Opa, masih rapuh. Pasalnya, masih ada bibit konflik lain seperti pilkada. Karena itu, Opa tidak mau berhenti untuk menjahit perdamaian.

Ia terus merangkul berbagai komunitas, apa pun latar belakangnya, untuk mengajarkan dialog dan rekonsiliasi. “Jika terjadi sesuatu lagi di Maluku, setidaknya orang lebih siap untuk menahan diri dan tidak mudah terprovokasi. Kami tak mau tragedi berdarah di Taman Eden terjadi lagi.”

http://print.kompas.com /14 Juni 2016

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

12 + 20 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.