Fahd Pahdepie

Diskursus mengenai politik baru (new politics) dan politik lama (old politics) sudah lama menjadi bahan perdebatan di kalangan para pengamat dan pembelajar ilmu politik. Politik baru mengandaikan reformasi bahkan transformasi dari budaya politik lama yang dianggap culas, koruptif, nepotis, memburu rente dan cenderung membentuk oligarki.

Politik baru diharapkan lebih memiliki ‘virtue. Meminjam istilah Ariestoteles yang merujuk pada etika atau standard moral, untuk melakukan kerja-kerja perubahan yang bersifat adiluhung. Masalahnya, politik baru ini sering dianggap utopis, tidak berpijak pada kenyataan politik yang ada (realpolitik).

Dalam logika politik elektoral, misalnya, politisi-politisi muda yang menawarkan gagasan yang lebih segar serta pendekatan yang lebih kekinian kerap kali gagal bersaing dengan poltisi lawas yang lebih memiliki struktur ekonomi politik yang mapan.

Apalagi jika masyarakat politiknya, dalam hal ini pemilih, masih cenderung pragmatis, koersif bahkan Machiavelian. Seandainya gagasan tentang perubahan menguat sekalipun, sesuai dengan semangat zaman (zeitgeist) yang berlaku, momen politik baru tidak akan melahirkan aktor politik baru. Bahkan di negara demokrasi maju sekalipun, Amerika Serikat contohnya, dikenal istilah ‘new politics, old politicians’.

Gerbong Sejarah

Belajar dari sejarah, saya percaya bahwa perjuangan politik harus dikerjakan dengan cara dan pendekatan yang lebih besar dari sekadar politik itu sendiri. Strukturalisme mengajarkan kepada kita bahwa politik harus selalu ditarik kepada naratif yang lebih besar. Bukan hanya mengenai kekuasaan, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan bermasyarakat termasuk kebudayaan. Di dalamnya adalah sastra, fashion, musik, dan segala yang menyangkut cara manusia berfikir, merasa, bertindak.

Bagi filsuf Simon Blackburn, inter-relasi antar struktur-struktur kecil semacam itu menjelaskan struktur abstrak yang lebih besar yang memberi gambaran kepada kita bangunan yang lebih utuh mengenai sesuatu yang sedang coba kita pahami. Jika politik adalah sebuah narasi, kita harus membuatnya menjadi narasi besar (‘grand narrative’, ‘metanarrative’, atau meminjam istilah Lyotard, ‘emancipation narrative’) yang menstrukturkan narasi-narasi kecil di dalam himpunannya.

Saat ini anak-anak muda mengandaikan situasi politik baru, rasanya ia tak mungkin tercapai tanpa sebuah desain strategi kebudayaan, bukan hanya terjun ke dalam pertarungan politik kekuasaan saja. Pemilu 2014 dan 2019 membuktikan kepada kita bahwa politisi-politisi muda yang tidak mengerjakan strategi kebudayaan hanya akan menjadi spons baru yang menyerap segala material cair di sekelilingnya. Jika material cair itu terpolusi, ia akan menjadi spons yang kotor juga.

Maka alih-alih mencemplungkan sebanyak mungkin spons ke dalam bak kotor, kita harus bisa juga mengubah substansi cairan di dalam bak itu. Bahkan mengubah rancang bangun saluran dan tampungannya. Inilah saya kira yang dimaksud Gramsci sebagai ‘hegemoni’, ia merevisi pemikiran Marx yang hanya mengandaikan hegemoni sebagai kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi tertentu. Lebih dari itu, hegemoni adalah sebuah ‘pengaruh kultural’.

Di sinilah anak muda perlu membangun hegemoninya dengan membentuk gerbong kesejarahan (historical bloc). Terdiri dari mereka yang menguasai ruang-ruang gagasan (intellectuals). Mereka yang bekerja di ruang-ruang modal (entrepreneurs), dan mereka yang berjuang di dalam struktur politik (activists). Blok kesejarahan anak muda bukan hanya tentang membuat anak-anak muda mengisi jabatan-jabatan publik tertentu. Tetapi mengendalikan seluruh naratif publik itu sendiri.

Nalar Politik Baru

Gerbong reformasi 98 memberi kita pelajaran berharga. Blok kesejarahan itu melahirkan banyak aktor politik muda yang mengisi ruang-ruang kekuasaan. Tetapi saat mereka gagal merebut struktur kekuatan ekonomi dari kaum oligarki, narasi besar reformasi menjadi setengah jalan, untuk tak mengatakannya gagal dikerjakan. Blok sejarah reformasi 98 berhasil mencetak banyak politisi baru (new politicians) tetapi gagal mengganti nalar politik lama (old politics). Bahkan politisi-politisi baru itu mengandaikan oligarkinya sendiri.

Kita lebih perlu nalar politik baru daripada aktor politik baru. Apakah berbagai posisi strategis dan prestisius anak muda sebagai staf khusus presiden, wakil menteri, staf khusus menteri, komisaris atau direktur BUMN saat ini memberi kita harapan? Di satu sisi, iya. Anak muda mulai diperankan dalam posisi-posisi publik. Tetapi di sisi lain ia juga mendatangkan kecemasan tersendiri, jika hanya dijadikan sekadar lipstick atau gimmick, karena nalar politik republik masih dikendalikan oligarki lama.

Scientia potentia est. Knowledge is always power. Yang harus kita lakukan hari ini adalah membangun nalar politik baru dengan gagasan dan strategi kebudayaan yang lebih komprehensif. Gagasan harus menjadi panglima ke mana gerbong politik baru ini akan digerakkan. Apa strategi kebudayaan yang dipakai untuk menciptakan gerbong sejarah anak muda yang lebih menjanjikan di masa depan itu?

Kesadaran politik anak muda harus terus dibangkitkan. Pendidikan politik harus terus dikerjakan. Perubahan harus dikejar. Narasi dan imajinasi tentang Indonesia masa depan harus memasuki ruang-ruang kebudayaan yang lebih luas. Ia harus menjadi bahan diskusi, literasi, fashion, musik, aplikasi teknologi dan inovasi, dan seterusnya. Anak-anak muda lintas bidang harus lebih sering bertemu dalam satu ruang bersama (common room) untuk memulai kerja-kerja kolaborasi.

Saya kita kita bisa mulai dari sesuatu yang cukup sederhana. Aneka diskusi harus digelar. Tulisan-tulisan dengan gagasan segar harus diterbitkan. Kolaborasi anak muda bisa dimulai dari kedai-kedai kopi atau co-working space. Common room harus diciptakan. Anak muda harus tampil menjadi juru bicara bagi gagasan dan karyanya sendiri. Dari sana kita bisa merancang bersama gerbong anak muda, politik yang dikerjakan dengan virtue yang sesuai dengan semangat zaman ini. Kekuasaan hanya soal waktu tunggu.

Penulis: Direktur Eksekutif Amanat Institute, sebuah think tank sekaligus common room dan platform bagi anak-anak muda pemimpin masa depan

Artikel ini kerjasama MAARIF Institute dan Rahma.id

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

fourteen + 18 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.