Jakarta – Semboyan Bhineka Tunggal Ika sangat melekat dengan bangsa Indonesia. Meski rakyat Indonesia berbeda suku, bangsa dan budaya tetapi tetap satu tujuan.
Dalam buku Fikih Kebinekaan terbitan Maarif Institute dibahas tentang bagaimana Islam melihat toleransi dalam masyarakat yang majemuk ini. Fikih Kebinekaan adalah sebuah rumusan fikih yang berpijak pada fenomena keberagaman di masyarakat.
Tujuan dari rumusan ini adalah untuk memberikan panduan fisiologis, teoritis-metodologis dan praktis di kalangan umat Islam Indonesia dalam mendorong hubungan sosial yang harmonis dan bebas diskriminatif. Selain itu juga bisa memperkuat demokratisasi dan memberi landasan normatif religius bagi negara dalam memenuhi hak-hak rakyat secara berkeadilan.
“Buku Fikih Kebinekaan ini saya harapkan bisa menjadi panduan akademik dan moral untuk mengukuhkan kebinekaan di Indonesia dan menjadi sumbangan intelektual Islam di pentas dunia,” ujar Syafii Maarif dalam prolognya di halaman 28.
Direktur Eksekutif Direktur Maarif Institut Fajar Riza Ul Haq dalam sambutannya di halaman 8 mengatakan buku ini merupakan hasil kegiatan Halaqah Fikih Kebinekaa yang diadadakan 24-26 Febriari 2015 di Jakarta.
Buku ini membahas tiga topik utama, pertama konsep ummah (citizenship) yang lebih terbuka dan egaliter, kedua hubungan mayoritas-minoritas dalam relasi setara tanpa diskriminatif dan kepemimpinan dalam masyrakat majemuk yang menempatkan minoritas punya hak politik yang sama dengan mayoritas.
Permbahasan ketiga topik tersebut berangkat dari perspektif Islam dengan mempertimbangkan konteks kekinian dalam kerangka negara-bangsa.
Fikih Kebinekaan mengkaji ulang konsep kewarganegaraan, hubungan sosial antar kelompok dan kepemimpinan politik dengan mengacu pada prinsip kesetaraan dan keadilan.
“Kajian fikih klasik mainstream menjadikan agama sebagai basis legitimasi hak-hak politik. Orang yang berbeda agama tidak berhak mendapat pengakuan dan perlakukan politik yang sama. Kerangka Fikih Kebinekaan membuka tafsir baru atas persoalan tersebut dijiwai kesadaran kebangsaan yang inklusif, sejalan dengan tujuan negara menurut Alquran dan hadis,” jelas Riza.
Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin dalam sambutannya di buku ini halaman 18 mengatakan Fikih Kebinekaan dapat diartikan sebagai seperangkat aturan tentang perilaku sosial manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok, yang ditetapkan oleh ulama atau ahli yang berkompeten berdasarkan dalil yang terperinci untuk tujuan kemaslahatan umat. Lukman berharap rumusan Fikih Kebangsaan bermanfaat untuk membangun kemaslahatan bangsa dan negara.
“Kementerian Agama sangat berkepentingan dengan hasil-hasil Halaqah Fikih Kebinekaan ini, mengingat saat ini sedang menyusun RUU tentang Perlindungan Umat Beragama. RUU ini antara lain akan mengatur perlindungan hak umat beragama, syarat-syarat pendirian rumah ibadah hingga rambu-rambu penyiaran agama. Mudah-mudahan hasil halaqah ini (buku Fikih Kebinekaan) dapat memperkaya dengan masukan-masukan berharga untuk penyempurnaan RUU tersebut,” kata Lukman.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!