Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah mempunyai sejumlah fungsi, di antaranya: berfungsi menyampaikan ajaran Islam yang benar dan menangkal paham-paham keagamaan yang ekstrem dan radikal. Paham-paham keagamaan yang ekstrem dan radikal bukan hanya berbahaya bagi perkembangan doktrin-doktrin agama itu sendiri tapi juga bagi kehidupan beragama masyarakat.

Dalam konteks Indonesia yang majemuk dalam hal agama, paham keagamaan yang ekstrem dan sempalan jelas tidak kondusif. Paham demikian bukan hanya merusak kerukunan hidup antar umat beragama, melainkan bahkan dapat menyulut konflik antar agama. Hal ini disebabkan karena paham keagamaan ekstrem dicirikan oleh eksklusivitas dan klaim kebenaran yang bersifat intoleran terhadap agama-agama lain.

Fungsi lain dari Pendidikan Agama Islam di sekolah adalah memberikan pengayoman terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan di sekolah. Kegiatan keagamaan di sekolah merupakan kegiatan yang hampir rutin diselenggarakan seperti PHBI, rihlah dakwah, kajian keagamaan, rohis, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut bukan saja sangat bermanfaat bagi siswa, tetapi juga masyarakat sekolah pada umumnya.

Dari segi siswa, proses internalisasi nilai-nilai agama akan semakin intensif, sedangkan dari sisi sekolah, suasana religius akan mewarnai kehidupan sekolah. Oleh karena itu, kegiatan semacam ini tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa bimbingan dan pengayoman, terutama dari guru Pendidikan Agama Islam.

Dengan demikian, kegiatan yang dilaksanakan bukan saja akan berjalan lancar, tetapi juga tertutup dari kemungkinan munculnya kegiatan-kegiatan yang bertendensi ekstrem dan fundamentalis. Nah, berikut ini kita potretkan beberapa gambaran masalah yang menceritakan kejadian-kejadian yang berkaitan dengan problematika keberagamaan dan juga pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah yang menyiratkan bahwa pemahaman agama yang mentolerir tindakan kekerasan atas nama agama kerap terjadi.

Potret 1 Beberapa bulan setelah kasus bom bunuh diri di 3 gereja di Surabaya, seorang guru PAI, setelah membaca sebuah media, berbicara tentang kasus tersebut di depan siswa-siswanya. Dia bercerita bahwa apa yang telah dilakukan oleh  Si Fulan dkk. adalah  bagian dari Jihad. Dia menambahkan bahwa Si Fulan cs, menurut agama, tidak berdosa telah melakukan tindakan tersebut karena para korban adalah orang kafir yang beragama B yang sedang menyekutukan Allah SWT.

Pembelajaran agama yang seperti ini, tentunya, sangat menyesatkan bagi siswa. Guru PAI, dalam kisah ini, telah menanamkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama B, dan telah melegalkan tindakan kekerasan terhadap orang lain (umat beragama lain). Dalam hal ini, apakah guru PAI seharusnya bersikap demikian? Bukankah seharusnya ia menjelaskan bahwa tindakan Si Fulan cs tidak bisa dibenarkan baik secara hukum maupun menurut agama?

Bukankah akan lebih bijak bila ia menjelaskan bahwa semua agama, apalagi Islam, tidak pernah memerintahkan kepada pemeluknya untuk melakukan kekerasan terhadap siapa saja, termasuk kepada pemeluk agama lain? Potret 2 Seorang siswa SMA merasa bingung ketika mengikuti pelajaran Pendidkan Agama Islam. Dia merasa, selama ini hanya mempelajari dan menghafal “teks-teks” keagamaan dan tata cara melakukan kegiatan ritual keagamaan di sekolah. Dia merasa aneh, kenapa pak guru PAI tidak pernah membahas atau mendiskusikan hubungan agama dengan kenyataan kehidupan yang ada. Pertanyaan-pertanyaan siswa seperti ini, sering kita temui, terutama sekali pada tingkat perguruan tinggi.

Kajian agama yang lebih bersentuhan langsung pada persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat memang sangat dibutuhkan, seperti mempelajari bagaimana peran agama terhadap merebaknya hoax, perlindungan anak, pengentasan kemiskinan, pembearantasan korupsi, atau bagaimana hubungan agama dan negara. Selama ini, kajian-kajian yang baru saja disebut hanya ada pada tingkat perguruan tinggi. Itupun hanya terbatas pada program-program studi tertentu seperti studi agama, sosiologi, antropologi, dan politik.

Tugas Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sekolah

Untuk mengatasi masalah ini, harus ada beberapa perubahan pada orientasi pendidikan agama kita, kurikulum, dan materi pelajaran yang digunakan. Orientasi pendidikan yang tidak hanya mengacu pada pembentukan pemahaman keagamaan secara tesktual dan ritual, tapi juga mengacu pada pemahaman yang kontekstual dan sosial. Kurikulum yang tidak hanya bertujuan membangun kemampuan siswa terhadap mata pelajaran keagamaan, tapi juga bagaimana membangun sikap siswa yang agamis, religius, dan peduli sosial.

Serta materi pelajaran yang tidak hanya mengacu pada teks-teks keagamaan (buku, kitab) yang bersumber pada satu aliran pemikiran atau mazhab tertentu, tapi juga berasal dari penulis, zaman, aliran, dan mazhab yang bervariasi. Peran Guru PAI dan Sekolah Beranjak dari beberapa gambaran kejadian seperti di atas maka penting kiranya bagi seorang guru PAI atau sekolah untuk menerapkan secara langsung beberapa aksi guna membangun pemahaman keberagamaan siswa yang inklusif dan moderat di sekolah.

Guru PAI merupakan faktor penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif-pluralis dan moderat di sekolah. Guru PAI memiliki posisi penting dalam pendidikan multikultural karena dia merupakan salah satu target dari strategi pendidikan ini. Apabila seorang guru PAI mempunyai paradigma pemahaman keberagamaan yang inklusif-pluralis dan moderat, maka dia juga akan mampu untuk mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan tersebut terhadap siswa di sekolah.

Paling tidak, ada dua peran guru PAI untuk mendukung hal tersebut yang meliputi; pertama, seorang guru PAI harus mampu untuk bersikap demokratis. Artinya dalam segala tingkah lakunya, baik sikap maupun perkataannya, tidak diskriminatif, berlaku adil termasuk kepada  siswa-siswa yang menganut agama yang berbeda dengannya.

Kedua, guru PAI seharusnya mempunyai kepedulian terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Contohnya ketika terjadi bom bunuh diri di 3 gereja di Surabaya (2018), maka seorang guru PAI yang berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut. Kemudian seorang guru PAI sebaiknya mampu menjelaskan bahwa kejadian tersebut seharusnya jangan sampai terjadi.

Bukankah di dalam semua agama baik Islam, Kristen, Hindu Buddha, Yahudi, Khonghucu, dan kepercayaan lainnya mengajarkan bahwa segala macam bentuk kekerasan dalam memecahkan masalah adalah dilarang. Sebab kekerasan hanya akan memunculkan masalah-masalah baru.

Penulis: Munawwar Khalil

Wakil Ketua MPK PP Muhammadiyah & Dosen FITK UIN Sunan Kalijaga.

Artikel ini kerjasama MAARIF Institute dan Ibtimes

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

one × 5 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.