Pada tahun 2007, di Padang, Buya Ahmad Syafii Maarif memberikan pidato kebudayaan pada sebuah acara. Dalam kesempatan itu, Buya Syafii Maarif tengah menyampaikan perihal kebudayaan, terutama munculnya tokoh-tokoh dan karya kesusastraan yang banyak lahir di Ranah Minang. Untuk itulah Buya Syafii Maarif memberikan julukan Pabrik Kearifan Kata yang Kaya pada tempat kelahiran Buya Hamka (17/2/1908-24/7/1981) itu.

Bukan tanpa alasan, julukan itu disematkan Buya Syafii lantaran Ranah Minang memang sejak zaman dahulu, sebelum Indonesia merdeka, telah melahirkan toko-tokoh besar, seperti pengarang, cendekiawan, pemikir, ulama, dan sebagainya. Di Pabrik Kearifan Kata itu juga lahir pelbagai jenis karya sastra yang turut mewarnai kesusastraan dan kebudayaan Indonesia, mulai dari pantun, gurindam, syair, pepatah, hingga roman.

Buya Hamka dan bahkan Buya Syafii Maarif sendiri pun merupakan tokoh umat dan bangsa yang lahir dari Ranah Minang. Kita bukan sedang membicarakan primordialitas kesukuan seorang tokoh dengan tokoh lain. Melainkan mencoba membaca fakta unik dan menarik tentang kiprah dan kelahiran tokoh-tokoh dari daerah tersebut. Dalam hal ini perlu kita sadari bahwa berbagai belahan Indonesia menyimpan keistimewaan yang besar.

“Hamka adalah seorang pemikir yang merdeka,” ujar Buya Syafii dalam pengantar Adicerita Hamka karangan James R Rush (2017). Pantas Buya Hamka dilabeli demikian, sebab dari sekian banyak karyanya, baik karya sastra, tasawuf, filsafat, tafsir Al-Quran, maupun buku-buku agama, memang menggambarkan sosok Hamka yang luwes dalam berpikir. Tak segan-segan, Buya Hamka, memberikan kritik dan bahan perenungan yang dalam pada setiap coretannya.

Meskipun dalam masalah agama, kita bisa melihat sosok Hamka sebagai ulama yang teguh berpendirian, bahkan mungkin di zaman sekarang bisa dianggap keras dan konservatif. Namun, kembali lagi, semua itu bisa disampaikan dengan bahasa yang menggugah dan membuat pembaca atau pendengarnya merenung dengan dalam. Itulah bentuk kearifan kata yang menjadikan Buya Hamka begitu istimewa.

Budaya berpikir bebas itu, sebut Buya Syafii, merupakan warisan dari ayahnya, Haji Rasul, yang memang terpatri dalam tradisi Minangkabau yang autentik. Jika kita menelaah ungkapan Buya Syafii ini, tentu kita akan kembali ke ungkapan Pabrik Kearifan Kata. Bagaimana tradisi keluarga di suatu daerah membentuk pribadi seseorang.

Meski pada awalnya Malik, nama kecil Hamka, dalam berbagai kisah dan cerita disebutkan sebagai anak yang “bandel” bahkan tidak lulus sekolah formal, tapi ternyata kita bisa melihat bagaiaman seorang tumbuh menjadi tokoh besar. Bahkan, banyak akademisi dari dalam dan luar negeri tertarik untuk membedah dan meneliti karya, pemikiran, tafsir, dan kisah Buya Hamka. Nama Hamka pun diabadikan sebagai nama sebuah universitas, yakni Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA di Jakarta dan Pesantren Modern Terpadu Prof DR HAMKA di Padang.

Semua itu saya kira dibentuk oleh tradisi keluarga, lingkungan, serta budaya Minang yang dikatakan Buya Syafii sebagai tradisi yang autentik. Dari Pabrik Kearifan Kata lahir sosok-sosok panutan bukan cuma bagi umat Islam, tapi juga bagi segenap bangsa Indonesia, bahkan dunia. Buya Hamka memang telah pergi, tapi kecintaannya terhadap bangsa dan agama masih kita rasakan hingga hari ini. Tidak lain adalah lewat karya-karyanya.

Buya Syafii Maarif yang juga merupakan guru bangsa, berkata bahwa Hamka sangat mencintai Indonesia. Buya Syafii berpesan, “… karya-karya Hamka perlu disebarkan terus-menerus karena di dalamnya berhimpun pesan abadi untuk kebesaran dan kedaulatan bangsa ini.”

Penulis: Ahmad Soleh 

(Pengasuh Website Madrasah Digital)

Sumber: madrasahdigital.co, 19 Februari 2020

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

three + fourteen =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.