Tag Archive for: buya syafii

Buya Syafii Maarif Menerima Penghargaan Lifetime Achievement dari Liputan6 Awards 2023

MAARIF Institute – Jakarta – Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif yang dikenal sebagai guru bangsa dan cendekiawan menerima penghargaan Lifetime Achievement dari Liputan6 Awards 2023. Penghargaan ini diberikan atas dedikasinya memperjuangkan isu isu perdamaian, keadilan, kemanusiaan dan toleransi semasa hidupnya.

Acara yang dihelat pada hari jumat (28/10) di Studio 5 Indosiar, Jakarta tersebut di hadiri oleh Abd Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif MAARIF Institute mewakili keluarga Buya Syafii Maarif.

Rohim dalam sambutannya mengucapkan terima kasih kepada SCTV dan Liputan 6 yang telah memberikan penghargaan Lifetime Achievement untuk Buya Syafii Maarif.

“Buya adalah tokoh yang sangat peduli dengan anak-anak muda, karena kepada merekalah bangsa ini akan diwariskan, dan akan menjadi pemimpin di masa depan,” tutur Rohim.

Lebih lanjut Rohim menyampaikan pesan yang selalu menjadi perhatian Buya sesama hidupnya.

“Beliau selalu berpesan kepada kita untuk tetap menjaga keindonesiaan, perdamaian, serta menjaga prinsip-prinsip kemanusiaan dalam berkarya untuk menjaga keindonesia ini,” tegas Rohim.

“Pluralisme di Indonesia ini seperti taman bunga yang indah, seperti orkestra yang indah yang harus kita jaga bersama-sama dalam tatanan kerjasama keindonesiaan kita,” pungkas Rohim.

Puan Maharani yang hadir memberikan penghargan Lifetime Achievement ini menyampaikan bahwa Buya Syafii merupakan sosok yang selalu memperjuangkan toleransi di tengah keragaman, menjunjung kemanusiaan tanpa memandang ras, selalu kritis terhadap sikap intoleransi dan hak asasi manusia.

“Semua yang dimilikinya menjadi tauladan bagi kita semua hingga saat ini, dan Buya selalu menyuarakan soal moral, soal konstitusi yang harus dijadikan dasar berpolitik dan berdemokrasi hingga saat ini,” pungkas Puan.

Liputan 6 Awards merupakan penghargaan yang diberikan oleh Liputan 6 SCTV. Perhargaan ini diberikan kepada para tokoh yang sudah mendedikasikan dan mengabdikan hidupnya kepada masyarakat dan lingkungan.

Pemberian penghargaan Liputan 6 Awards 2023 terbagi menjadi 5 kategori, di antaranya Penghargaan Kategori Kemanusiaan, Kategori Kesehatan, Kategori Pendidikan, Kategori Olahraga, Kategori Ekonomi Kerakyatan dan UMKM, serta Lifetime achievement. []

MAARIF Institute dan UIII Gelar Acara Syafii Maarif Memorial Lecture (SMML) II

SANGSURYAMU.COM-Depok – Buya Syafii Maarif (Prof. Dr. KH. Ahmad Syafii Maarif) yang dikenal sebagai Guru Bangsa, telah berpulang ke Rahmatullah pada Jumat, 27 Mei 2022. Buya Syafii, bukan hanya dikenal sebagai seorang cendekiawan, guru bangsa dengan kepribadian yang humanis, tetapi juga dikenal sebagai seorang sejarawan yang kritis. Pemikiran-pemikirannya tentang isu-isu keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan, telah membuka pintu gerbang cakrawala keilmuan bagi para penerus bangsa.

Untuk mengenang Buya Syafii Maarif, MAARIF Institute bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) menyelenggarakan kegiatan Syafii Maarif Memorial Lecture (SMML) yang kedua dengan tema, Agama, Politik dan Hak Asasi Manusia: Refleksi atas Kontribusi Syafii Maarif pada Keberagaman Indonesia.

Kegiatan yang dihadiri 200 tamu undangan ini, diawali dengan sambutan dari Ketua Yayasan Ahmad Syafii Maarif, Dr. Rizal Sukma, dan Wakil Rektor UIII Bidang Kerjasama, Riset dan Kelembagaan, Prof. Dr. Jamhari Makruf.

Dalam sambutannya, Rizal Sukma, mengingatkan bahwa sosok guru bangsa seperti Buya Syafii bukan hanya sekadar kita kenang setiap tahunnya, tetapi mesti kita lanjutkan pemikiran-pemikirannya.

“Buya sosok sederhana dalam penampilan, egaliter dalam hubungan sosial, dan sangat kaya ilmu pengetahuan. Beliau selama hidupnya tak kenal lelah mencintai Indonesia. Dalam situasi politik hari ini, meneladani sikap moral Buya Syafii menjadi sangat relevan. Tanpa moralitas yang tak henti disuarakan Buya Syafii, politik menjadi hampa dan tak bermakna” jelas Rizal.

blank

Sementara Jamhari, dalam sambutannya mengatakan bahwa Buya Syafii selama hidupnya didedikasikan untuk kepentingan umat dan bangsa.

“Buya seorang muazin yang selalu memerhatikan kondisi bangsa yang dicintainya. Sikap seperti itu, menurut Jamhari, ia pertahankan sampai akhir hidupnya dengan sepenuh hati dan pikiran”, tambah Jamhari.

“Buya seorang muslim yang inklusif, plural, dan bermoral. Dengan menjadi seorang muslim yang inklusif dibarengi dengan intelektual, maka tak heran jika pemikiran Buya Syafii melintasi batas teritorial. Hal itu menjadikan Buya bukan sekadar sebagai sosok intelektual muslim yang melintasi batas agama dan teritorial, tetapi sikap hidupnya menjadi teladan baik untuk anak-anak bangsa”, tegas Jamhari

Kegiatan Memorial Lecture ini menegaskan bahwa kita bukan hanya mewarisi pemikiran-pemikiran Buya Syafii, tetapi juga melanjutkan dan meneladani sikap hidupnya yang sederhana”, pugkas Jamhari.

Dalam kegiatan ini, MAARIF Institute menghadirkan Prof. Dr. Greg Fealy, (Sejarawan Politik dari Australia National University- ANU) untuk menyampaikan pidato kebudayaan memperingati setahun wafatnya Buya Syafii. Acara ini dimoderatori oleh M. Rifqi Muna.

Mengawali pemaparannya, Greg, menyatakan bahwa ia tidak mengenal Buya Syafii dengan dekat, namun secara personal, ia telah mengikuti perjalanan karir Buya secara mendalam, terutama pada momen-momen penting dalam kehidupan publik masyarakat Indonesia manakala isu agama dan politik sedang menjadi perdebatan.

blank

Dalam pandangan Greg, Buya Syafii bukan hanya seorang intelektual semata-mata namun juga mantan jurnalis yang memahami bahwa menulis di media adalah soal untuk mendapatkan impact dan hal ini membutuhkan bahasa dan metafora yang gamblang. Buya, lanjutnya, tidak ingin sekadar menjadi kolumnis yang menulis opini-opini yang menyenangkan dan sedikit menggugah. Beliau ingin merenggut perhatian pembaca, menantang mereka, dan menjadikan mereka berpikir.

Lebih jauh, Greg, memotret ketokohan Buya Syafii sebagai tokoh yang konsisten dalam menerapkan prinsip-prinsipnya, lebih sistematis dan tekun dalam intelektualismenya, dan lebih bergairah dalam mengecam para pemimpin politik dan agama yang menjadi pelaku kesalahan. Indonesia, dan bahkan setiap negara, membutuhkan sosok seperti Buya Syafii yang merupakan lentera perjuangan etika, kerendahan hati pribadi, dan kekuatan karakter dalam menghadapi kesulitan yang besar.

“Kita menghargai dan menghormati kenangan terhadap Pak Syafii dan semua yang telah beliau lakukannya untuk menjadikan Indonesia dan dunia menjadi tempat yang lebih baik”, jelasnya.

Kegiatan ini diawali dengan hiburan tarian Betawi yang diperagakan oleh mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, dan puisi berjudul Muadzin Bangsa yang dibawakan oleh Penyair Gaus AF. (DM)

MAARIF Institute Gelar Festival Pemikiran Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —  MAARIF Institute akan menggelar Festival Pemikiran Ahmad Syafii Maarif. Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Abd Rohim Ghazali mengatakan, acara spesial tersebut dihelat agar generasi muda bisa mengenal lebih dekat dan lebih dalam gagasan dan pemikiran guru bangsabernama lengkap Ahmad Syafii Maarif (ASM).

“Kegiatan ini ditujukan bagi generasi muda agar dapat mewarisi nilai-nilai perjuangan dan pemikiran Buya Syafii,” ujar Rohim Ghazali pada acara “Media Gathering Festival Pemikiran Ahmad Syafii Maarif” di kantor MAARIF Institute, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (6/10/2022). Sejumlah pimpinan redaksi media cetak dan elektronik hadir dalam kesempatan tersebut .

Menurut Rohim, Buya Syafii Maarif telah pergi meninggalkan bangsa ini untuk selamanya. Namun, kata dia,  pemikiran dan gagasan almarhum tetap bersama kita dan tak akan lekang oleh waktu.  “Presiden Joko Widodo menyebut almarhum sebagai guru bangsa yang tak lelah menyuarakan Pancasila sebagai perekat bangsa. Karya pemikiran dan gagasan Buya mulai dari soal keislaman, keindonesiaan hingga kemanusiaan,” kata Rohim.

Buya Syafii bersama koleganya telah mendirikan lembaga MAARIF Institutepada 2003 sebagai katalisator dalam menyebarkan pemikiran Islam Rahmatan Lil ‘Alamin dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan. Rohim menegaskan, sebagai institusi kultural, MAARIF Institute terus bergerak menjaga, memperkokoh, dan mensosialisasikan watak serta ciri khas Islam Indonesia yang rahmatan lil `alamin, inklusif, demokratis, dan berpihak kepada keadilan sebagaimana cita-cita intelektual Buya Syafii.

“Kami ingin menjawab tantangan sekaligus harapan dari banyak pihak paska Buya pergi, bagaimana mencetak kader-kader bangsa, Syafii Maarif muda yang mampu menyelaraskan Islam dan Pancasila dalam satu tarikan napas sebagai formula jawaban atas permasalahan bangsa”, ungkap Rohim.

Direktur Program MAARIF Institute Moh Shofan menambahkan, rangkaian Festival Pemikiran ASM digelar selama delapan bulan. Dari Oktober 2022 hingga Mei 2023. Kegiatan dimulai dengan pengumuman sayembara video pendek dan artikel. Dalam peluncuran perdana kali ini diselenggarakan diskusi buku-buku karya ASM yang dijadwalkan pada 27 Oktober 2022 di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Jakarta.

Selain itu, rangkaian festival dilanjutkan dengan Muktamar Pemikiran ASM yang diselenggarakan pada 12 November 2022  Solo, Jawa Tengah. Fokus muktamar pemikiran adalah membahas relevansi pemikiran ASM dalam konteks tantangan keindonesiaan dan kemanusiaan hari ini. Kegiatan ini disambung dengan program Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan ASM Ke-IV (SKK-ASM IV) selama lima hari, yaitu pada 13-17 Nopember 2022. Program SKK-ASM menghadirkan sejumlah tokoh lokal dan nasional lintas agama serta cendekiawan.

Dari Muktamar Pemikiran ASM itulah, kata Shofan, akan lahir pokok-pokok pemikiran ASM yang disumbangkan untuk bangsa ini sebagai salah satu kader terbaik Muhammadiyah. Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka syiar Muktamar Muhammadiyah ke-48 yang akan digelar 19-20 November 2022 di Solo, Jawa Tengah.

Shofan menjelaskan, perhelatan Muktamar Pemikiran ASM dan SKK IV itu bakal diikuti 100 orang peserta dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Mereka terdiri dari kader intelektual, aktivis ormas Islam, aktivis lintas agama, peneliti muda alumni program MAARIF Fellowship (MAF) dan alumni SKK-ASM sebelumnya, serta peserta SKK periode 2022.

Masih dalam rangkaian agenda tersebut, kata dia, MAARIF Institute juga berencana menggelar acara “Mensyukuri 2 Dekade MAARIF Institute”. Tujuannya untuk mensyukuri 20 tahun perjalanan MAARIF Institute yang didirikan pada 28 Februari 2003. Hal itu sebagai ruang refleksi atas peran kelembagaan selama ini dalam mencapai misi dan tujuannya. Karena itulah, saat kegiatannya nanti ditayangkan profil 20 tahun perjalanan lembaga dan testimoni dari sejumlah tokoh, serta penerima manfaat program MAARIF Institute.

Selanjutnya,  kata dia, pada Mei 2023, MAARIF Institute mendaulat bulan ini sebagai Bulan Pemikiran ASM. Hal ini lantaran Buya Syafii lahir dan meninggal dunia di bulan Mei, yaitu 31 Mei 1935 dan 27 Mei 2022. Bulan pemikiran ASM ini akan digelar setiap tahun dan menjadi agenda inti dari program MAARIF Institute.

Menurut dia, ada dua agenda besar yang akan dilakukan pada Bulan Pemikiran ASM tersebut. Agenda pertama, Syafii Maarif Memorial Lecture (SMML), yang sudah memasuki tahun kedua. Forum akademik ini mengundang sarjana dan cendekiawan terkemuka sebagai narasumber untuk memaparkan ide, pemikiran, dan temuan penelitian terbaru terkait isu-isu keagamaan, politik, demokrasi, kebhinekaan, dan kemanusiaan.

Agenda kedua, penganugerahaan Ahmad Syafii Maarif Award (ASM Award). ASM Award merupakan penghargaan yang diberikan setahun sekali, setiap bulan Mei kepada individu atau lembaga di wilayah Asia-Pasifik yang telah teruji konsistensi dan pengaruh perjuangannya di masyarakat luas yang majemuk.

“Award ini diberikan untuk kategori bidang yang mencerminkan jalan perjuangan intelektual ASM, yaitu bidang pemikiran keagamaan yang menekankan konsistensi menghidupkan api reformisme keagamaan, progresivitas dan keberanian mengatasi sekat-sekat kultural, politik, agama, serta bidang aktivisme sosial yang mencerminkan keteguhan dalam membela hak-hak minoritas dan kelompok terpinggirkan,” papar Shofan.

Inisiatif award tersebut, kata dia, didedikasikan untuk mengenang perjuangan Alm Ahmad Syafii Maarif yang pernah menakhodai organisasi Islam modernis terbesar di dunia, mantan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP), dan penerima Ramon Magsaysay Award (2008) untuk kategori Perdamaian dan Pemahaman Internasional.

Bom Atom dan Kemerdekaan Indonesia

Karena itu, kemerdekaan bangsa punya nilai sangat tinggi dan muli

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

Bulan Agustus, 76 tahun silam adalah akhir Perang Dunia (PD) II, yang didahului ledakan bom atom.

Sebenarnya, ada perbedaan pendapat yang tajam antara panglima tertinggi sekutu di Eropa, Jenderal Dwight D Eisenhower bersama beberapa perwira tinggi tentara AS dan Presiden Harry S Truman, dalam menentukan sikap terhadap Jepang untuk mengakhiri perang pada Agustus 1945.

Bagi Truman, Jepang harus segera dilumpuhkan dengan bom atom yang kemudian dijatuhkan pada 6 Agustus 1945 di Hiroshima dan 9 Agustus 1945 disusul ledakan kedua di Nagasaki. Dua kota itu luluh berantakan, meninggalkan abu radio aktif yang sangat berbahaya.

Jepang dihajar dengan bom nuklir pertama kali dalam sejarah umat manusia. Dalam perhitungan Jenderal Eisenhower, Jepang akan segera bertekuk lutut tanpa dibom sekalipun.

Jepang dihajar dengan bom nuklir pertama kali dalam sejarah umat manusia. Dalam perhitungan Jenderal Eisenhower, Jepang akan segera bertekuk lutut tanpa dibom sekalipun.

Karena yang berkuasa Truman, usul Eisenhower dan koleganya tak berlaku, padahal didasarkan kajian dimedan perang yang akurat. Jepang waktu itu sudah kehabisan napas untuk meneruskan perang dunia yang telah membunuh manusia 62.537.400, militer dan sipil.

Rakyat Indonesia yang mati akibat perang cukup tinggi, yaitu 4 juta. Korban kematian rakyat Jepang 2.600.000: militer 2 juta dan sipil 600 ribu. Sedangkan AS hanya 418.500, yakni  militer 407.300 dan sipil 11.200 orang.

Angka kematian tertinggi diderita Cina sebanyak 10 juta: sipil 7 juta, sedangkan militer 3 juta. Karena tulisan ini bukan untuk mengulas PD II, kita cukupkan dengan menuliskan angka-angka korban yang dibatasi pada empat negara itu saja.

Apa kaitannya antara bom atom dan proklamasi kemerdekaan Indonesia? Bahwa Indonesia pasti merdeka pada suatu saat yang tidak terlalu lama, sudah diperkirakan Bung Hatta dalam pidato pembelaannya di depan pengadilan Den Haag pada 28 Maret 1928.

Rakyat Indonesia yang mati akibat perang cukup tinggi, yaitu 4 juta. Korban kematian rakyat Jepang 2.600.000: militer 2 juta dan sipil 600 ribu. Sedangkan AS hanya 418.500, yakni  militer 407.300 dan sipil 11.200 orang.

Maka itu, ledakan bom atom di Jepang seperti disebut di atas, hanyalah mempercepat proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, yang memang sudah dirintis sejak abad ke-19 berupa perang-perang sporadis, yang dilancarkan para patriot nusantara.

Perjuangan kemerdekaan itu semakin terorganisasi dengan baik pada abad ke-20, yang dipelopori pergerakan nasional Indonesia.

Setelah penjajah Belanda diusir secara hina tanpa perlawanan oleh pasukan Jepang pada Maret 1942, Indonesia untuk 3,5 tahun ke depan punya bos baru: si mata sipit yang tidak kurang kejamnya terhadap rakyat di kepulauan ini.

Ingat, romusha (pengiriman puluhan ribu pemuda dari Jawa untuk kerja paksa di luar Jawa) dimulai pada 1943 oleh penguasa Jepang. Seusai perang, hanya sebagian kecil pemuda kita itu yang selamat kembali ke kampung halamannya.

Sejumlah besar telah hilang selama kerja paksa itu dalam keadaan sangat kurus kering. Juga praktik iyanfu (gadis-gadis sejumlah negara, termasuk Indonesia, dijadikan perbudakan seks oleh tentara pendudukan Jepang) sampai hari ini belum terbongkar seluruhnya.

Tentara mata sipit ini sungguh tak punya rasa kemanusiaan sama sekali saat memerkosa perempuan negeri taklukannya. Sisa mantan iyanfu ini sekarang berusia sangat lanjut, sebagian masih sempat menuturkan penderitaannya sebagai budak seks tentara Jepang itu.

Karena itu, kemerdekaan bangsa punya nilai sangat tinggi dan mulia

Sayang, Pemerintah Jepang dan Indonesia sampai hari ini tak serius mengurus perempuan bernasib sangat malang ini. Nasib rakyat terjajah memang sangat memelas, bergerak dari penderitaan satu ke penderitaan lain dalam mata rantai yang panjang.

Karena itu, kemerdekaan bangsa punya nilai sangat tinggi dan mulia. Sekalipun Jepang sudah kalah, proses deklarasi kemerdekaan Indonesia tidak mulus. Terjadi pertentangan politik domestik antara golongan pemuda dan golongan tua Sukarno-Hatta.

Pemuda menilai, golongan tua tidak revolusioner untuk segera menyatakan kemerdekaan.

Peristiwa Rengasdengklok berupa penculikan golongan pemuda terhadap Sukarno-Hatta pada pertengahan Agustus 1945 adalah bagian menyatu dengan derap revolusi Indonesia, yang kadang-kadang tidak terkendali itu.

Bentakan Sukarno terhadap ancaman pemuda Wikana sebelum penculikan adalah bukti gesekan tajam antara dua pendapat berbeda itu. Golongan pemuda memaksa Bung Karno segera menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Tentara Jepang yang sudah kalah masih sering beraksi brutal terhadap rakyat Indonesia dan perlawanan dari pihak kita terhadap pasukan itu juga tidak kurang gigihnya dengan korban pada kedua belah pihak.

Inilah kesaksian Bung Hatta: Mendengar ancaman itu Sukarno naik darah, menuju pada Wikana sambil menunjukkan lehernya dan berkata: “Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu sampai besok.”

Bentakan ini membuat Wikana terperanjat: “Maksud kami bukan untuk membunuh Bung…” (Lih. Mohammad Hatta, Memoir. Jakarta: Yayasan Hatta, 2002, hlm 445).

Tentara Jepang yang sudah kalah masih sering beraksi brutal terhadap rakyat Indonesia dan perlawanan dari pihak kita terhadap pasukan itu juga tidak kurang gigihnya dengan korban pada kedua belah pihak.

Harga sebuah kemerdekaan itu sungguh mahal. Indonesia telah menebusnya dengan nyawa, kehormatan, dan derita rakyat yang meninggalkan luka sangat dalam. Saya tidak tahu, apakah ledakan bom atom itu seimbang dengan kekejaman Jepang terhadap rakyat jajahannya? Allahu a’lam!

Sekalipun mungkin banyak pemuja Jepang di negeri ini, kelakuan biadab tentaranya saat PD II tidak boleh dilupakan.

Teladan Kearifan Imam Al-Ghazali

KH. Mahbub Ma’afi Ramdlan

Hentikan lidahmu (menuduh kafir atau sesat) kepada ahli kiblat (umat Islam) selama mereka masih mengucapkan lâ ilâha illallâh muhammadur rasûlullâh(Imam Ghazali).

Pernyataan Imam Al-Ghazali di atas bukan lahir di ruang hampa, tetapi karena kegalauannya terhadap sikap para teolog (ahlul kalâm) saat itu yang acapkali mengkafirkan dan menyesatkan pihak-pihak yang dianggap berbeda secara ideologi, madzhab, aliran atau tafsir keagamaan, padahal masih sama-sama pemeluk Islam.

Sebagaimana dimaklumi bersama, istilah kafir lazim disematkan untuk mereka yang berbeda agama. Kendati demikian, beberapa pihak Islam sendiri ada yang gemar mengafirkan orang atau kelompok Islam lain yang tidak sepaham dengan mereka. Dari sinilah kemudian Imam al-Ghazali mewanti-wanti kepada umat Islam untuk tidak mengkafirkan kepada sesama Muslim sepanjang mereka menyakini bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya.

Imam Al-Ghazali adalah sosok ulama besar yang hidup pada abad ke-11 M. Beliau dikenal dengan pandangan moderatnya. Banyak karya beliau yang dijadikan pegangan oleh umat Islam Indonesia, sehingga  umat Islam Indonesia mempunyai semangat moderatisme yang begitu tinggi dan mendalam.

Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, perbedaan cara pandang dalam memaknai agama hendaknya jangan sampai menimbulkan sikap saling mengkafirkan dan menyesatkan. Beliau juga melancarkan kritik pedas kepada orang-orang yang terlibat dalam pengkafiran dan penyesatan semata-mata karena hasutan orang lain.

Hasut, iri dan dengki adalah penyakit hati yang sangat sulit disembuhkan dan merupakan bentuk dari kemaksiatan hati. Semua itu harus dibersihkan dari dalam hati dengan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT secara intens. Selama hati diliputi rasa hasut, iri dan dengki, seseorang tidak akan sampai kepada hakikat keimanan. Sebab orang beriman adalah orang yang mencintai orang lain laiknya dia mencintai dirinya sendiri. Nabi Muhammad SAW bersabda, lâ yu’minu ahadukum hattâ yuhibba li akhîhi mâ yuhibbu li nafsihî (seseorang tidaklah beriman secara sempurna kecuali dia mencintai orang lain laiknya mencintai diri sendiri), HR. Bukhari.

Karenanya, menurut Imam Al- Ghazali, adalah bodoh jika seseorang beranggapan bahwa hadd at-takfîr(batas pengkafiran) adalah manakala berbeda dengan aliran yang diikuti, baik itu aliran Asy’ariyah, Mu’tazilah, Hanbali dan lain sebagainya.

Dewasa ini, pengkafiran tehadap kelompok yang dipandang berbeda seolah-olah telah dianggap lumrah. Sikap ini muncul untuk mendiskreditkan pihak yang dianggap sebagai lawan. Padahal, menuduh seseorang kafir atau sesat sama halnya dengan menghalalkan darah dan harta orang yang bersangkutan.

Pada zaman terdahulu, aksi pengkafiran dan penyesatan telah memakan korban yang tak terhitung. Sebut saja sebagai misal, Imam Syafii pernah dituduh sesat karena dianggap sebagai pengikut Syi’ah Rafidlah, Imam Abu Hanifah dianggap sebagai pembid’ah dan kafir. Bahkan salah seorang pengikut Imam Abu Hanifah, yaitu Imam Abu Bakar Asy-Syarkhasi harus dipenjara gara-gara tuduhan sesat.

Secara teologis, aksi pengkafiran dan penyesatan jelas bertentangan dengan prinsip ketauhidan yangmenjadi dasar utama seluruh ajaran Islam. Kesaksian seorang muslim bahwa, “Tidakada Tuhan selain Allah” mengandaikan bahwa tidak ada kebenaran mutlak kecuali kebenaran-Nya.

Di dalam Al-Quran ditegaskan, Sesungguhnya Tuhanmulah yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya dan Dialah yang Paling Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Al-Qalâm: 7).

Ibnu Katsir di dalam kitab Tafsir-nya mengatakan, pengertian ayat ini adalah bahwa Allah SWT mengetahui dua golongan dari kalian; yang mendapat petunjuk dan yang sesat. Karena itu, manusia tidak memiliki wewenang untuk menghakimi dan mengintervensi keimanan seseorang, menganggap kelompok lain kafir, sesat atau salah. Sebab, hanya Allah-lah yang berhak memberikan label keimanan atau kekufuran kepada orang lain.

Apakah ada perbuatan yang lebih buruk dari tuduhan kafir atau sesat kepada orang lain? Pengkafiran dan penyesatan merupakan bentuk kazaliman dan harus dihentikan. Mengkafirkan dan menyesatkan orang lain karena perbedaan tafsir terhadap suatu ajaran agama sama halnya dengan membunuh orang tersebut, sebagaimana dikatakan Al-‘Alla bin Ziyad (seorang tabi’in), Tidak ada bedanya antara mengkafirkan seorang muslim dengan membunuhnya.

Sesama muslim adalah saudara. Selama masih mengatakan lâ ilâha illallâh muhammadur rasulullâh,” seseorang tidak layak disebut kafir atau sesat, karenanya darah dan hartanya tetap haram dan harus dihormati.

Pengkafiran dan penyesatan adalah hak prerogatif Allah SWT sebagaimana dijelaskan di atas. Dengan kata lain, tanpa disadari pengkafiran dan penyesatan telah menjerumuskan seseorang ke dalam jurang kemusyrikan. Padahal kemusyrikan adalah musuh utama kemanusiaan dan merupakan dosa paling besar.

Pengkafiran dan penyesatan akan menimbulkan iklim yang tidak sehat bagi keberislaman. Karena pengkafiran akan menimbulkan sikap saling curiga, permusuhan, kekerasan, dan lain sebagainya.

Citra Islam sebagai agama yang toleran dan anti kekerasan ternodai  oleh aksi pengkafiran. Untukmenghindarinya mutlak diperlukan adanya kearifan, kesantunan, dan kedewasaan dalam melihat perbedaan, termasuk juga perbedaan dalam memahami agama dan menafsirkan kitab suci.

Imam Al-Ghazali telah memberikan teladan baik kepada kita semua agar tidak mudah mengafirkan atau menuduh sesat orang lain yang tidak sepaham. Sebagai pengikut Imam Al- Ghazali, umat Islam Indonesia sejatinya meneladani keteladanan beliau. Yaitu keteladanan yang mengedepankan kerukunan, perdamaian dan menghormati perbedaan.

(KH Mahbub Maafi Ramdlan, pengurus MUI Pusat)

Serangan Covid-19 Kategori OTG

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

“OTG seperti saya ini, mungkin yang masih beruntung karena perlindungan Allah belaka.”

Orang tanpa gejala (OTG). Kami sekeluarga sebelumnya sama sekali tak mengira, saya akan termasuk kategori ini.

Ketika istri saya (Hj Nurkhalifah) di-swab pada 11 Februari 2021, sekitar pukul 10.30 WIB, oleh petugas RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, karena sebelumnya berdekatan dengan menantunya yang terpapar, saya hanya ikut-ikutan.

Tidak ada tanda-tandanya. Pusing tidak, panas tidak, sesak napas tidak, batuk tidak. Makan biasa. Lidah dan hidung berfungsi normal. Singkat kata, tidak ada keluhan. Maka, tidak cukup alasan untuk khawatir.

Sorenya, apa yang terjadi? Dr Muhammad Adnan Sp HTT dari PKU menelepon saya, memberitahukan hasil swab. Istri negatif, saya malah positif dengan CT value32,25. Artinya, sudah diserang beberapa hari sebelumnya. Kami semua tentu saja kaget.

Istri saya menjerit. Karena saya sudah berusia 85 tahun plus gula sekalipun terjinakkan, dan batu ginjal, macam-macamlah yang terbayang. Awak yang sudah sepuh ini diserang pandemi lagi, sekalipun dalam bentuk OTG.

Sore itu dalam suasana agak galau karena dalam persiapan isolasi ke PKU malam itu juga, saya masih sempat kirim artikel yang sudah siap untuk Republika, yang kemudian dimuat pada 16 Februari dengan judul: “Muhammadiyah Cabang Babat Sulit Ditandingi”.

PKU Gamping yang baru berusia 12 tahun ini dipilih karena lebih lapang dan sepi. Di lantai tiga, dari jendela menghadap ke utara, kita dengan leluasa memandang Gunung Merapi yang lagi batuk-batuk saat tidak diliputi kabut.

Di ruang ini pula pada Juli 2019, saya pernah dirawat karena batu ginjal. Sebagai OTG, saya harus sendirian tinggal di ruang ini. Sekitar setahun sebelumnya, istri saya juga operasi kedua tempurung lututnya di PKU ini. Hasilnya sangat memuaskan.

Di antara dokter yang mengawasi pasien, ada yang memakai APD seperti pakaian astronaut dengan sepatu botnya dan masker berlapis. Dr Evan Gintang Kumara Sp D dan Dokter Maskur Rahmat Sp D kemudian datang pula Dr Ardorisye Saptaty Fornia Sp P.

Mereka yang pertama mengunjungi saya dan menanyakan, mengapa saya sampai terpapar. Sebelum masuk kamar, ada proses ambil darah dan CT Scan terlebih dulu. Sebuah panorama rumah sakit yang tidak biasa kita lihat sebelum serangan Covid-19.

OTG seperti saya ini, mungkin yang masih beruntung karena perlindungan Allah belaka. Di mana saya terserang dan melalui siapa, tidak bisa dijawab. Sejak Maret 2020, saya patuhi protokol kesehatan. Selalu cuci tangan.

Pergi ke toko swalayan dan ke bank tak berani. Selama lima bulan absen shalat Jumat dan tidak mendekati kerumunan. Jika bersepeda sendirian ke luar rumah biasanya pakai masker. Tamu amat jarang datang. Jika berkunjung dengan jarak aman.

Tamu terakhir awal Februari 2021 adalah Ketua BPK DR Agung Firman Sampurna, bersama pengusaha dermawan Jenderal Fahmi SH. Agak jauh sebelum itu ada kunjungan Kepala BNPT Komjen DR Boy Rafli Amar MH, dengan jarak aman.

Sesudah itu, kunjungan Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri Komjen DR Rycko Amelza Dahniel MSi, juga menaati protokol kesehatan. Jadi, dugaan saya, terpapar bukan dari para tamu penting itu.

Mereka sebelumnya sudah wanti-wanti untuk sama-sama menjaga jarak. Lalu dari jurusan mana virus ini menyerang? Dalam bahasa Minang, jawabannya adalah antalah yuang (entahlah buyung)!

Perasaan takut pergi ke rumah sakit selama ini harus ditundukkan. Isolasi di rumah jelas tak memadai, sekalipun virus yang datang itu mungkin jenis yang lebih sopan. Ada rasa kasihannya kepada si tua renta ini.

Para dokter dan semua tenaga kesehatan lainnya di PKU Gamping adalah manusia penuh dedikasi. Saya wajib berterima kasih kepada mereka itu. Terlalu banyak jika disebut satu per satu.

Dirut PKU Gamping, Dr Ahmad Faesol Sp Rad, alumnus pandemi ini, terus saja memantau kondisi saya. Untuk staf perawat, cukup seorang saja ditulis di sini: Rubi Yanto dari bagian MPP (manajer pelayanan pasien).

Bung Rubi selalu menanyakan keadaan saya. Tidak sebatas itu, urusan komputer pun dibantunya. Pada 16 Februari pagi, Dr Evan Sp D menemui saya sambil memberitahukan keadaan saya, yang sudah semakin membaik dan boleh pulang sebelum 11 hari.

Untuk swab kedua kali dapat dilakukan di rumah, tetapi tetap mematuhi ketentuan isolasi mandiri. Dalam kamar harus sendiri, piring makan dan gelas untuk minum mesti terpisah, dan lain-lain.

Setelah keluarga berunding, anak kami, Mohammad Hafiz, menyarankan jangan pulang dulu sebelum di-swab lagi di PKU dengan hasil negatif agar semuanya merasa tenang. Dr Evan setuju dengan saran ini.

Pada 20 Februari pagi, Dr Adnan melakukan swab lanjutan untuk saya. Sorenya, alhamdulillah, hasilnya sudah negatif dan saya boleh pulang setelah sembilan hari dirawat. Matur nuwun sanget atas segala kebaikan, atas segala doa.

PKU Gamping untuk sekian kalinya berjasa menjaga kesehatan kami sekeluarga. Hanya Allah yang bisa membalas semua bantuan dan kebaikan itu. Amin.

Sumber:

https://www.republika.id/posts/14430/serangan-covid-19-kategori-otg

Oase di Tengah Konflik Poso: Mosintuwu Institute Gerakan Perempuan dan Perdamaian

Dodoha Mosintuwu, tempat di mana Mosintuwu Institute berada di wilayah kecamatan Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Kota ini memiliki keindahan alam yang luar biasa. Tetapi dalam dekade terakhir, citra keindahan tersebut musnah dengan terjadinya kerusuhan 1998 yang kemudian disebut konflik Poso.

Konflik Poso dianggap sebagai pemicu kemunculan gerakan radikal-terorisme di Indonesia. Faktor-faktor yang dipercayai sebagai penyebab utama konflik di Poso ada tiga; 1) persaingan politik, yaitu perebutan jabatan Bupati dan Sekretaris Daerah Kabupaten Poso; 2) persaingan di bidang ekonomi antara penduduk asli dan pendatang; 3) pergeseran struktur-sosial budaya serta komposisi penduduk asli dan pendatang.

Konflik itu diawali dari konflik komunal sampai menjadi konflik SARA. Pertama, pada 25 Desember 1998 pemuda muslim dibacok oleh Roy Runtu Bisalemba yang beragama Kristen di dalam masjid Darusalam Poso. Kedua, pada 16 April 2000 dua pemuda mabuk dan tanpa alasan yang jelas terlibat pertikaian.

Kedua belah pihak yang bertikai berasal dari desa yang berpenduduk muslim dan Kristen. Kejadian ini menyebabkan bentrokan antar kelompok terulang kembali. Ketiga, pada 24 Mei 2000 desa berpenduduk muslim diserang oleh sekelompok pemuda Kristen dari luar Poso, kemudian menyulutkan konflik yang meluas dan menimbulkan aksi balasan yang kemudian disebut aksi terorisme bom natal.

Sejak itu, aksi-aksi teror lainnya terus terjadi karena penyelesaian tidak kunjung dilakukan oleh pemerintah secara tuntas. Konflik masih terus terjadi dari kedua belah pihak sampai diputuskannya Deklarasi Malino I tahun 2001. Tujuan deklarasi ini untuk mempertemukan kedua belah pihak dan menyelesaikan konflik yang ditengahi oleh Menko Kesra, Jusuf Kalla.

Meski demikian, riak-riak konflik masih seringkali muncul. Pengeboman di Poso terus terjadi di tahun 2003 yang sedikitnya 8 kali peristiwa, tahun 2005 sebanyak 11 kali peristiwa dan salah satunya di wilayah Tentena, dan 2006 terjadi sebanyak 9 kali peristiwa.

Di tengah-tengah situasi tersebut, muncul suatu Oase yang sedang tumbuh untuk mendamaikan Poso, yakni Mosintuwu Intsitute. Lembaga yang didirikan oleh Lian Gogali ini, bermula dari rasa keprihatinan atas peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama, dan adanya kepentingan ekonomi politik dibalik konflik kekerasan yang berakhir pada pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin dan marginal yang terjadi di Poso.

Dalam perkembangannya, Mosintuwu mendapat banyak simpatisan. Anggotanya berasal dari berbagai latarbelakang suku dan agama yang ada di Kabupaten Poso dan Morowali.4Tulisan ini menceritakan khazanah lokal, dari salah satu aktor perdamaian di Poso, Mosintuwu Institute. Lembaga ini mendapatkan anugerah Maarif Award 2016, yakni program pengakuan dan penghormatan kepada aktor-aktor lokal yang bergerak untuk kemanusiaan.

Lembaga ini dinilai mampu mentransformasikan kekuatan perempuan menjadi gerakan pembaruan di Poso. Salah satu juri Maarif Award 2016, Endy bayuni mengatakan, “Mosintuwu adalah bukti bahwa perempuan-perempuan penyintas konflik Poso mampu menjembatani konflik, mengurai dendam dan memahami perbedaan untuk kemudian bersama membangun Tanah Poso melalui desa”.

Selain Mosintuwi Institute, Maarif Award 2016 juga diberikan kepada Budiman Maliki, pejuang hak dasar layanan masyarakat Poso. Budiman merupakan aktivis yang pernah terlibat dalam rangka penanganan pengungsi konflik Poso. Aktivitasnya melampaui batas-batas primordial agama dan etnis. Kini, dia berkutat pada pemberdayaan masyarakat.

Kemudian penghargaan ini juga diberikan kepada Rudi Fofid. Dia seorang aktivis, seniman yang juga wartawan. Melalui sastra hingga music hip-hop, ia menyuarakan perdamaian. Dia penyintas konflik kekerasan di Ambon yang meyakini bahwa perdamaian adalah jalan hidup. Dan baginya, Ambon yang damai adalah obat untuk semua orang yang telah menjadi korban dalam konflik di Ambon, termasuk ayah dan kakaknya.

Untuk diketahui, Maarif Award terselenggara enam kali: 2007, 2008, 2010, 2012, dan 2014. Penerima Maarif Award pada tahun 2007 yaitu Pdt Jack Manuputty dari Ambon, Arianto Sangaji dari Poso. Pada tahun 2008 TGH Hasanain Juaini dari Lombok, M. Tafsir dari Semarang, Cecilia Yuliani Hendayani dari Blitar. Tahun 2010 penerimanya adalah S. Ali Habsyi dari Magelang, tahun 2012 Ahmad Bahruddin dari Salatiga, Romo Carolus dari Cilacap, dan tahun 2014 Maril Koto dari Sumatera Barat.

Dari Teologi Pembebasan hingga ke Politik Ingatan

Teologi Pembebasan, Kajian Budaya, Ekonomi-Politik, dan Politik Ingatan merupakan empat disiplin ilmu yang pada akhirnya mengantarkan Lian Gogali menulis tesis tentang Politik Ingatan Perempuan dan Anak dalam Konflik Poso.

Aktivitas Lian untuk mendampingi para korban konflik bermula dari perasaan berhutang kepada para perempuan yang diwawancarainya ketika menyelesaikan tesis tersebut. Pertanyaan paling menohok yang didapatnya ketika itu adalah, “apa yang terjadi pada kami setelah Lian pergi?”. Lian banyak membaca dan berdiskusi tentang Teologi Pembebasan ketika menempuh studi sarjana di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.

Dalam suatu wawancara, Lian mengungkapkan bahwa dirinya sangat terbantu oleh ST. Sunardi dalam hal Kajian Budaya. ST. Sunardi merupakan salah seorang pengajar ketika Lian menempuh studi master di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Kajian komprehensif ihwal Ekonomi-Politik banyak Lian dapatkan dari George Aditjondro. Selama menempuh studi master, Lian menjadi asisten peneliti George Aditjondro selama 2 sampai 3 tahun.

Bahkan, Lian mengungkapkan bahwa dirinya adalah anak angkat dari Geogre Aditjondro. Dr. Budiawan, salah seorang pengajar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, disebut oleh Lian sebagai orang yang paling berjasa dan mempengaruhinya tentang kajian Politik Ingatan. Hingga ia akhirnya memutuskan untuk menulis tesis tentang itu.

Pada tahun 2007, Lian kembali ke Poso dan beraktivitas di Asian Muslim Action Network (AMAN) dan Poso Center. Setelah melewati banyak diskusi dengan sesama kawan aktivis dan menyelami konteks Poso, guna membumikan cita-citanya, akhirnya pada tahun 2009 ia mendirikan Institut Mosintuwu atau Mosintuwu Institute yang anggotanya terdiri dari para survivor konflik Poso.

Pada mulanya, Mosintuwu Institute diharapkan dapat menjadi suara alternatif dari perempuan dan anak tentang pembangunan perdamaian yang berkeadilan dan setara. Mosintuwu Institute berharap perempuan dan anak memiliki ruang untuk berbicara dan memperkuat kapasitas, sehingga dapat membuka gerakan alternatif dalam memperjuangkan pembangunan perdamaian, keadilan dan kesetaraan di wilayah pasca konflik Poso.

Kelahiran Mosintuwu Institute diilhami oleh kondisi sosial masyarakat Poso yang patriarki dan feodal yang masih memandang perempuan sebagai warga kelas dua dan hanya memiliki fungsi reproduksi. Oleh karena itu, dalam konflik, perempuan mengalami dampak yang mengerikan. Setidaknya terdapat tiga dampak yang ditimbulkan akibat itu, yakni perpecahan keluarga, kekerasan seksual yang diikuti dengan diskriminasi sosial yang sangat rentan dialami oleh perempuan ketika dan pasca konflik, dan pelecehan seksual.

Di tengah kondisi patriarki dan feodal tersebut, Lian melihat peran lain yang dimainkan oleh perempuan dan kadang dilupakan, yaitu menghidupi anak-anak dan komunitasnya. Kekuatan lain yang yang dilihat Lian adalah inisiatif perempuan untuk melakukan perdamaian. Akan tetapi, dalam pertemuan-pertemuan antar komunitas yang memutuskan kebijakan perdamaian atau pembangunan, perempuan tidak pernah dilibatkan.

Akibatnya, kebijakan penanganan konflik dan pembangunan pasca konflik sangat bias gender. Pembangunan pasca konflik yang bias gender tersebut menempatkan perempuan mengalami kekerasan baru dan didiskriminasi terus-menerus, termasuk menenggelamkan narasi perempuan dalam konflik yang berbeda dari laki-laki.

Nama Mosintuwu diambil dari Bahasa Pamona (salah satu suku di Poso) yang berarti bekerja bersama-sama. Mosintuwu Institute mempunyai program yang terdiri dari: (1) Bidang Pendidikan, yang memiliki program: Sekolah Perempuan Mosintuwu; Project Sophia (Perpustakaan Keliling untuk Anak); dan Perpustakaan Sophia. (2) Bidang Pengorganisasian, yang memiliki program: Organisasi Perempuan Interfaith; Advokasi Perlindungan Perempuan dan Anak; Lingkar Diskusi dan Aksi. (3) Bidang Media dan Kampanye, yang memiliki program: Koran Perempuan, Radio Komunitas; Media Internet. (4) Bidang Ekonomi Solidaritas, yang memiliki program: Bank Perempuan; Eko-Wisata; dan Bamboo Project.

Program-program tersebut tidak hanya menjadikan perempuan sebagai agen perdamaian, tetapi juga menjadikan perempuan berdaya secara ekonomi, sosial, budaya dan melek politik. Melek politik di sini tidak sekedar memperkenalkan persoalan-persoalan politik tetapi juga mengadvokasi kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kesetaraan perempuan. Untuk melihat jejak langkah sebagai karya nyata Mosintuwu Institute, tulisan ini disusun secara kronologis dari sejak pendiriannya hingga saat ini.

Perdamaian Sebagai Pintu Masuk

Sekolah Perempuan merupakan salah satu program yang digalakkan untuk mewujudkan visi dan misi Mosintuwu Institute. Dipilih karena Mosintuwu melihat bahwa pendidikan bagaimana pun menjadi kunci utama untuk membuka pandangan para perempuan.

Angkatan Pertama dan Kedua Sekolah Perempuan menitikberatkan pada proses perdamaian sebagai pintu masuk menuju kedaulatan rakyat yang dicita-citakan. Perdamaian memang kata yang tak mungkin dilepaskan sekaligus konsekuensi logis akibat konflik Poso.

Isu perdamaian dipilih karena Mosintuwu melihat kondisi alam bawah sadar para perempuan dan anak-anak masih rentan akan nuansa konflik.“Proses tidak dirancang sendiri, melainkan pemahaman terhadap konteks. Jadi konteks awalnya memang harus dilihat, tahun ketika pertama kali Mosintuwu dibangun. Itu adalah tahun dimana hubungan antar agama sangat renggang. Lalu juga berdasarkan tesis saya.

Memang kelompok perempuan sangat potensial untuk proses membangun perdamaian”, ujar Lian memberikan alasan.Perdamaian sebagai pintu masuk menuju kedaulatan yang dicita-citakan juga diamini oleh Martince Baleona, seorang ibu rumah tangga yang bermetamorfosa menjadi aktivis berkat Sekolah Perempuan Angkatan Pertama.

Dirinya merasa bahwa Sekolah Perempuanlah yang sepenuhnya mengubah pandangannya tentang Islam dan Perdamaian ketika penyampaian materi “Islam, Toleransi dan Perdamaian” dan kunjungan lapangan ke masjid.Ibarat kondisi jalan raya di Poso, di mana selalu ada batu dan kerikil, bahkan longsor, yang tiap saat bisa menghadang. Begitupun dengan apa yang dikerjakan oleh Mosintuwu.

Kendala yang dialami ialah ketika para peserta Angkatan Pertama Sekolah Perempuan yang beragama Kristen akan mengunjungi masjid. Ustadz setempat mengungkapkan keberatannya karena khawatir para perempuan Kristen tersebut sedang tidak suci (haid).

Selain itu, ustadz tersebut juga menganggap bahwa acara yang diselenggarakan oleh Mosintuwu Institute merupakan bagian dari Kristenisasi.Mencari jalan keluar dari masalah tersebut, Mosintuwu menghubungi Darwis Waru, Ketua Gusdurian Poso, dan memintanya untuk membantu menyelesaikan perkara tersebut. Ditemui di kediamannya yang disulap menjadi menjadi Griya Gus Dur, Darwis mengatakan langkah yang diambil oleh Mosintuwu tersebut sebagai salah satu kecerdikan politik strategis.

Senada dengan Darwis, Ibrahim Ismail, Ketua GP Anshor Poso, yang pernah dimintai bantuan serupa untuk kasus yang berbeda mengatakan bahwa kecerdikan Mosintuwu untuk menyelesaikan beberapa masalah dengan meminta bantuan kepada orang atau lembaga yang kompeten dan sesuai dengan segmennya.

Selain tentang diskriminasi yang dialami perempuan, perdamaian masih menjadi isu utama pada modul dan materi yang disampaikan dalam Sekolah Perempuan Angkatan Kedua yang dilaksanakan pada kurun waktu 2012-2013 di 8 desa dan kelurahan. Hal ini seperti yang dituturkan Yurlin Pamoso, perempuan desa yang bermetamorfosa menjadi aktivis perempuan dengan menjadi staff Mosintuwu, di sela-sela Monitoring dan Evaluasi Sekolah Perempuan Angkatan Ketiga di Desa Gincu, daerah Bada.

Ulin, begitu ia biasa disapa, menyampaikan bahwa isu perdamaian masih menjadi bahasan utama di Angkatan Kedua Sekolah Perempuan lewat modul yang diajarkan. Dengan demikian, bisa disebut jika fase pertama dari Mosintuwu Institute adalah mewujudkan perdamaian yang sesungguhnya.

Konsolidasi Perempuan

Untuk pertama kalinya dalam sejarah perempuan di Poso dilaksanakan Musyawarah Perempuan Desa dari tanggal 3-17 Maret 2014. Musyawarah Perempuan Desa ini diinisiasi oleh Mosintuwu Institute yang khusus diikuti oleh perempuan akar rumput, yang terdiri dari para perempuan lintas profesi seperti ibu rumah tangga, petani, nelayan, dan buruh, dan terdiri dari lintas agama seperti Islam, Kristen, Hindu, serta lintas suku.

Mosintuwu memilih para perempuan akar rumput ini karena mereka yang selama ini memberi makna pada kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik. Dan pada saat yang bersamaan mereka juga adalah yang selalu terpinggirkan, terdiskriminasi, terabaikan, juga tidak didengar.

Musyawarah Perempuan Desa dilaksanakan dalam 10 wilayah berdasarkan karakteristik daerah, yaitu: Wilayah I Kecamatan Poso Pesisir Utara; Wilayah II Kecamatan Poso Pesisir dan Poso Pesisir Selatan; Wilayah III Kecamatan Poso Kota, Poso Kota Utara, Poso Kota Selatan; Wilayah IV Kecamatan Lage bagian Timur; Wilayah V Kecamatan Lage bagian Selatan; Wilayah VI Kecamatan Pamona Utara; Wilayah VII Kecamatan Pamona Puselembah; Wilayah VIII Kecamatan Pamona Selatan dan Pamona Barat; Wilayah IX Kecamatan Pamona TImur dan Pamona Tenggara; dan Wilayah X Kecamatan Lore Selatan.

Kongres Perempuan Poso: Antara LSM dan Organisasi Rakyat

Setelah melaksanakan Musyawarah Perempuan Desa, Mosintuwu Institute kembali menyelenggarakan acara yang pesertanya adalah para perempuan akar rumput. Pada tanggal 25-27 Maret 2014 diselenggarakan Kongres Perempuan Poso di Dodoha Mosintuwu. Kongres ini dihadiri oleh kurang lebih 450 orang perempuan yang berasal dari 70 desa, 14 kecamatan di Poso.Ratusan perempuan menguatkan solidaritas sebagai sesama perempuan di hari pertama kongres.

Pada hari kedua, para perempuan dibagi kedalam enam topik dan bersama-sama berpikir, menganalisa, dan menyusun poin-poin penting yang telah didiskusikan. Keenam topik tersebut adalah Hak Perempuan atas Layanan Publik, Perlindungan Perempuan dan Anak, Partisipasi Politik Perempuan dalam Pembangunan Desa, Perempuan dalam Adat Budaya, Perempuan membangun Ekonomi Solidaritas, dan Perempuan Membangun Perdamaian.

Di hari terakhir, semua kelompok melakukan sidang kongres yang membahas semua usulan untuk menjadi rekomendasi. Walhasil, rekomendasi pun dihasilkan yang ditujukan kepada Pemerintah Daerah Poso, Pemerintah Desa/Kelurahan, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu sendiri. Kongres Perempuan Poso mendapat perhatian dari publik luas dan di antaranya dihadiri oleh Andy Yentriyani (Komisioner Komnas Perempuan), perwakilan Gerakan Desa Membangun, dan fasilitator yang tersebar di Nusantara.

Selama Kongres berlangsung, tak jarang dan tak sedikit suara perempuan yang menghendaki perubahan, baik secara individu maupun kolektif. Teriakan?teriakan itu seperti, “Jangan 30%, jadikan 50%. Kita perempuan Poso pasti bisa, jangan memandang enteng kekuatan kita sendiri. Tulis saja disitu 50%, jadi kita setara dalam kesempatan dengan laki-laki”.

“Sudah, kita buat saja partai politik perempuan Poso. Kita bisa. Kita merdeka”. “Ayo, bikin partai perempuan”. “Hentikan pengiriman TKW”. “Merapat, kita teriak perempuan berdaulat atas tubuhnya”.

Jalan Menuju Organisasi Rakyat

Mosintuwu Institute lagi-lagi membuat gebrakan. Kali ini dengan menyelenggarakan Festival Sekolah Perempuan yang berlangsung dari tanggal 5-7 November 2015. Sekitar 300an perempuan dari 40 desa yang berasal dari Poso dan sebagian Morowali hadir dalam acara tersebut. Festival Sekolah Perempuan ini merupakan yang pertama kali diadakan sebagai wujud syukur setelah serangkaian proses belajar di sekolah perempuan sejak 2009, yang telah menghasilkan tiga angkatan.

Angkatan Pertama Sekolah Perempuan tahun 2009-2011. Angkatan Kedua Sekolah Perempuan tahun 2012-2013. Dan Angkatan Ketiga Sekolah Perempuan tahun 2014-2015.Festival ini dihadiri oleh Pejabat Bupati Poso; istri Duta Besar Amerika Serikat; perwakilan PBB urusan perempuan, perdamaian dan keamanan; jajaran Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta beberapa aktivis.

Kehadiran para perempuan akar rumput dan pembesar tersebut kian menguatkan daya tawar Mosintuwu Institute di mata pengambil kebijakan. Juga menggemakan suara perempuan ke seluruh jagat raya. Dalam festival ini, diselenggarakan serangkaian kegiatan seperti olahraga, kesenian tradisional, talkshow dan workshop yang memperkaya wawasan, pameran produk desa dan pameran foto perempuan desa. Diluar seremonial yang menghiasi dan meramaikan acara, Festival Sekolah Perempuan menjadi langkah akhir menuju organisasi (perempuan) rakyat yang dicita-citakan pendiri Mosintuwu Institute, Lian Gogali.

Festival ini menjadi semacam evaluasi jejak langkah Mosintuwu dari awal berdiri.Setelah Sekolah PerempuanSelama dua hari, Tim MAARIF Institute berkesempatan mengikuti aktivitas Mosintuwu Institute di wilayah Bada (Kecamatan Lore Utara dan Kecamatan Lore Selatan).

Tim MAARIF mengikuti rangkaian kegiatan yang dilakukan Mosintuwu Institute di 3 desa: Gintu, Badangkaia, dan Bakekao. Masing-masing kegiatan berlangsung selama 3 jam, yakni dari jam 09.00-12.00 WITA, 14.00-17.00 WITA dan 19.00-22.00 WITA.Untuk sampai ke Bada dari Poso Kota, tempat dimana terdapat Megalitik Palindo (Sepe), dibutuhkan waktu sekitar 4 jam menggunakan mobil Avanza yang disulap menjadi angkutan umum.

Orang-orang yang berangkat ke Bada selain membayar ongkos untuk duduk, juga membayar pegangan tangan, karena setengah jalan menuju Bada belum di aspal dan kondisi jalannya rusak cukup parah. Jika menggunakan sepeda motor bisa menghemat waktu karena bisa sampai dalam waktu 3 jam.

Para perempuan Mosintuwu menggunakan mobil kijang untuk sampai ke sana. Sementara tim MAARIF menggunakan mobil Avanza.Kegiatan ini tidak diikuti oleh semua alumni Sekolah Perempuan Angkatan Ketiga. Hal ini disebabkan beberapa hal seperti sedang ada ibadah, sedang ada duka (orang yang meninggal), sedang pesta, dan alasan-alasan lain yang memang sangat logis.

Akan tetapi kami menangkap spirit yang luar biasa dari para perempuan desa yang notabene tersingkirkan dalam kultur yang patriarki dan feodal. Tidak seperti perempuan desa pada umumnya yang malu-malu dan tidak fasih apalagi terstruktur ketika berbicara, para perempuan alumni Sekolah Perempuan Angkatan Ketiga lebih fasih dan percaya diri ketika menyampaikan argumen, meskipun tidak semua argumen dan pernyataan yang mereka sampaikan benar.

Keberanian dan kepercayaan diri ini tetap perlu diapresiasi, karena dengan begitu mereka telah keluar dari zona perempuan desa pada umumnya. Dengan kata lain, mereka selangkah lebih maju dibanding para perempuan desa pada umumnya.

Dalam kegiatan tersebut, tim Mosintuwu Institute yang turun ke lapangan adalah Lian Gogali, Martince Baleona, Asni, Yurlin Pamono, dan Cici. Selain Lian Gogali yang merupakan pendiri Mosintuwu Institute, yang lainnya merupakan anggota (alumni) Angkatan Pertama dan Angkatan Kedua Sekolah Perempuan.

Para perempuan ini bermetamorfosa dari para perempuan biasa menjadi pejuang pembaharuan perempuan.Di sela-sela kegiatan, Martince menceritakan bagaimana cara Lian mendorong ia sebagai alumni. “Setelah Sekolah Perempuan berakhir, saya harus merekrut empat orang dari Kayamanya. Awalnya saya takut karena Kayamanya merupakan daerah Texas.

Tapi Lian selalu meyakinkan kalau saya bisa. Akhirnya saya memberanikan diri dan mencari informasi di pasar. Lama saya mencari, akhirnya berkenalan dengan perempuan Islam (muslimah) di pasar. Dia tinggal di Kayamanya. Dari sana sampai sekarang kami berteman,” kenang Martince.Kembali pada kegiatan yang diselenggarakan oleh Mosintuwu, di sesi awal, Martince menjelaskan tentang topik pertemuan yang dilakukan.

Pada pertamuan kali ini, terdapat tiga topik utama yang dibicarakan dan didiskusikan, yakni Monitoring dan Evaluasi, Penjelasan Tim Pembaharu Desa, dan Sekolah Perempuan Lanjutan. Selanjutnya, Martince menjelaskan tentang cara pengisian lembar Monitoring dan Evaluasi Anggota Sekolah Perempuan.

Setelahnya, Lian Gogali mengambil alih dan menjelaskan tentang Tim Pembaharu Desa. Dalam penjelasannya, Lian menuturkan bahwa yang dimaksud dengan Tim Perempuan Pembaharu Desa adalah satu kesatuan dari lima tim yang akan dibentuk. Adapun kelima tim tersebut adalah Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA), Usaha Desa, Pendamping Desa, Media, dan Project Sophia.

Kelima tim ini merupakan rumusan baru, sekaligus pemadatan, dari awalnya tujuh tim yang dibentuk sebagai follow up pasca kegiatan Sekolah Perempuan.Dalam suatu wawancara di Gedung DPRD Poso, Muhaimin11 mengatakan bahwa Mosintuwu sangat sering ditemui di lapangan. Dalam pantauannya, Mosintuwu melakukan perlindungan yang nyata kepada perempuan dengan mendampingi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum aparat keamanan.

Berkat pendampingan yang dilakukan oleh Mosintuwu, pelaku pelecehan seksual tersebut dinyatakan bersalah dan mendekam di penjara. Hal ini tak lepas dari kerja Bidang Pengorganisasian di bawah koordinasi Martince Baleona, yang di desa-desa dikenal dengan nama Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA).Pada kegiatan tersebut, secara detail Lian menjelaskan apa saja yang harus dilakukan kelima tim secara satu persatu.

Kemudian ketika memasuki penjelasan tentang Sekolah Perempuan Lanjutan, Lian menyampaikan bahwa ini ditujukan bagi mereka yang telah menjadi alumni Sekolah Perempuan. 10 Daerah Texas merupakan istilah yang ditunjukkan oleh orang Poso untuk menyebutkan atau menunjuk daerah yang dianggap rawan dan tidak boleh dilewati. Kayamanya merupakan daerah Texas bagi orang Kristen.

Sedangkan Tentena merupakan daerah Texas bagi orang Islam.11 Muhaimin merupakan Ketua Pemuda Muhammadiyah Poso. Saat ini ia juga tercatat sebagai Ketua DPC Partai Amanat Nasional (PAN) Poso, yang mengantarkannya menjadi salah seorang anggota legislatife pada pileg tahun 2015 yang lalu.

Nantinya, pada Sekolah Perempuan Lanjutan, para perempuan akan banyak mendapatkan materi tentang kepemimpinan karena bahan yang sedang disiapkan mengenai kurikulum kepemimpinan perempuan. Tak ada perbedaan penjelasan di antara ketiga desa yang dikunjungi. Perbedaan hanya terlihat dalam forum tanya jawab dan berbagi informasi antara alumni Sekolah Perempuan dengan tim Mosintuwu Institute.

Misalnya, sebelum penjelasan tentang kelima tim itu dimulai, seorang ibu yang tengah menggendong anaknya menginterupsi, mempertanyakan bagaimana cara ia mengisi lembar Monitoring dan Evaluasi karena ia tak sempat mengikuti Sekolah Perempuan yang diadakan. Di desa lainnya, ada juga seorang ibu yang menanyakan apakah ia boleh mengisi sebagian saja lembar Monitoring dan Evaluasi karena hanya mengikuti setengah jalan Sekolah Perempuan akibat sempat dilarang oleh suaminya.

Menanggapi pertanyaan pertama, tim Mosintuwu Institute menjawab bahwa ibu yang belum pernah mengikuti Sekolah Perempuan tidak perlu mengisi lembar Monitoring dan Evaluasi. Cukup dengan mengikuti kegiatan ini saja dari awal sampai akhir. Dan nanti bila kembali diselenggarakan Sekolah Perempuan, ibu tersebut disarankan untuk mengikutinya.

Sedangkan menjawab pertanyaan di desa lain, tentu dalam waktu dan tempat yang berbeda pula, tim Mosintuwu menyatakan bahwa sang ibu cukup mengisi kuesioner sesuai dengan apa (modul) yang diikutinya selama Sekolah Perempuan berlangsung. Untuk pertanyaan yang si ibu tidak sempat mengikuti kegiatannya, jawaban diisi saja dengan informasi yang menyatakan bahwa pada saat materi itu berlangsung ia tidak sempat mengikutinya.

Dalam forum tanya jawab tersebut ada juga perempuan yang menyampaikan apa saja yang sudah dilakukannya. Di antara mereka yang menyampaikan hal tersebut adalah Mama Fidar, warga Desa Bakekao. Dengan merujuk kepada UU Desa No. 6 Tahun 2014, Mama Fidar membatalkan pemilihan Kepala Desa karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam UU tersebut.

Akibat hal yang dilakukannya ketika itu, sekarang Mama Fidar menjadi tempat bertanya warga dan sebagian aparatur desa ketika di desa tempat tinggalnya akan diselenggarakan musyawarah.Selain Mama Fidar, ada juga ibu di Desa Badangkaia yang menceritakan bisnis wortel yang dijalaninya. Meskipun beriklim sejuk karena berada di kaki gunung, warga Desa Badangkaia tak ada yang menanam wortel dalam aktivitas sehari-harinya sebagai petani. Wortel malah dibawa oleh pendatang yang jauh-jauh datang dari Poso Pesisir selama sekali dalam sebulan.

Melihat peluang tersebut, si ibu mulai menanam wortel dan menjualnya. Meskipun pada awalnya kurang laku karena warga tidak biasa mengkonsumsi, dua bulan terakhir si ibu mulai memetik keuntungan ketika warga mulai mengkonsumsi wortel secara teratur.

Menurut penuturannya, hal ini tidak terlepas dari rumus yang diberikan oleh Mosintuwu ketika Sekolah Perempuan berlangsung, yakni cari yang paling dibutuhkan oleh masyarakat desa, cari potensi yang ada di desa, dan cari hal yang bisa dikerjakan. Mosintuwu memang selalu menekankan tiga hal tersebut kepada para perempuan agar bisa mandiri secara ekonomi. Hal ini tak lain menjadi bagian dari program Ekonomi Solidaritas

Pada hari pertama ini, selama tim MAARIF mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Mosintuwu Institute, kehadiran anak-anak kecil menjadi tak terhindarkan. Bayi, balita, dan anak-anak usia Sekolah Dasar merepotkan dan menonton para ibu-ibu dan tim Mosintuwu. Beserta para ibunya, di awal sesi anak-anak menyanyikan lagu “Kepala Pundak Lutut Kaki”, dengan diikuti gerakan tubuh, yang telah diubah liriknya.

Hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran (advokasi) tentang pentingnya menjaga anggota tubuh.Di sela-sela nyanyian tersebut, Cici menyampaikan bahwa hal demikian sudah jamak dan Mosintuwu Institute memang sengaja tidak melarangnya. Karena mereka sadar bahwa anak-anak susah jauh dengan ibunya. Terlebih, dengan menghapal nyanyian tersebut, anak-anak diharapkan dapat menjaga anggota tubuh mereka agar tidak menjadi korban pelecehan seksual.

Ketika kegiatan berlangsung, anak-anak seumuran Sekolah Dasar membaca buku yang dibawa oleh tim Mosintuwu sebagai bagian dari Project Sophia (Perpustakaan Keliling untuk Anak). Buku ini tidak bisa dibawa ke rumah masing-masing. Hanya boleh dibaca di tempat acara. Ketika acara berakhir, anak-anak pun harus mengembalikan buku yang mereka baca.

Kegiatan dengan topik utama Monitoring dan Evaluasi, Penjelasan Tim Pembaharu Desa, dan Sekolah Perempuan Lanjutan ini diselenggarakan secara sederhana di rumah-rumah warga. Instrumen yang digunakan pun sangat sederhana berupa white board yang bisa dibawa kemana-mana lengkap dengan flif chart, kertas plano, spidol dan perlengkapan pendukung lainnya. Di tiga rumah warga yang dijadikan arena pertemuan terpajang foto-foto kegiatan dan Wisuda Sekolah Perempuan yang mereka ikuti.

Catatan lain yang menarik dari perjalanan mengikuti kegiatan Mosintuwu Institute adalah bagaimana mereka menghargai dan memberdayakan diri (staf) sendiri. Selama kegiatan berlangsung, Ulin dan Cici membantu kesiapan instrument sampai membuat masakan untuk dinikmati bersama-sama. Mereka berdua pula yang mendokumentasikan kegiatan dan melayani anak-anak yang meminjam buku bacaan.

Sedangkan, Asni fokus menjadi notulen yang mencatat alur serta dinamika selama diskusi berlangsung. Sementara itu, Martince bertugas mengkoordinir para peserta sambil membuat catatan-catatan untuk mem-back up notulensi Asni. Terkait dengan notulensi, apa yang dilakukan Mosintuwu sedikit-banyak dilupakan oleh NGO lain yang kerapkali lupa atau bahkan tidak membuatnya sama sekali.

Langkah Nyata

Jum’at, 29 April 2016 merupakan hari kedua tim MAARIF mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh Mosintuwu Institute. Topik hari ini berbeda dengan topik di hari sebelumnya. Pada hari ini, topik yang dibahas mengenai persiapan pembentukan organisasi perempuan. Peserta atau orang yang datang pun orang yang berbeda dengan mereka yang datang di hari sebelumnya, karena mereka merupakan alumni Angkatan Pertama dan Angkatan Kedua Sekolah Perempuan.

Pukul 07.00 WITA di Desa Badangkaia, tanpa seremonial yang berarti, Lian Gogali memfasilitasi dua orang perempuan yang berasal dari Desa Bakekao. Sebelum memulai pemaparannya, Lian terlebih dahulu meminta maaf karena pertemuan tertunda dan berganti hari. Kedua perempuan yang hadir pun meminta maaf mewakili teman seperjuangannya yang tidak bisa menghadiri acara ini.

Memulai pemaparannya, Lian menjelaskan perbedaan tentang mereka sebagai anggota atau alumni Sekolah Perempuan dengan mereka nanti sebagai anggota organisasi perempuan. Secara garis besar, Lian memberikan penjelasan menyeluruh tentang organisasi, Anggaran Dasar (AD)/ Anggaran Rumah Tangga (ART), nilai, prinsip, dan perjuangan yang akan digariskan di organisasi perempuan kelak. Penjelasan rinci seperti itu dilakukan karena yang dihadapinya merupakan para perempuan akar rumput, yang sebelumnya tidak mengenal organisasi sama sekali. Penjelasan itu berlangsung selama dua jam dengan tanya jawab yang menyertainya.

Di akhir pembahasan, Lian mengingatkan kepada dua perempuan yang hadir agar mereka menyampaikan kepada perempuan, dan bapak-bapak yang tertarik bergabung, lain yang berhalangan hadir. Lian mengagendakan dua minggu ke depan akan kembali untuk membicarakan kelanjutan dari pertemuan ini.

Sejauh yang kami amati, Lian tampak sangat hati-hati akan arah organisasi perempuan yang coba dilahirkannya. Ia bahkan tidak memberikan kesempatan atau ruang bicara kepada tim Mosintuwu yang lain. Ia perlu mengawalnya langsung. Dalam penuturannya, berkali-kali kami dengar kegelisahan dan kekhawatiran Lian jika organisasi perempuan yang digagasnya akhirnya mudah tergadaikan seperti yang lain. Kehati-hatian ini ditangkap oleh Sofyan Siruyu.

Dalam pertemuan di Sekretariat Redaksi Harian Poso Raya, Sofyan berujar, “Mosintuwu pernah ditawari bantuan oleh pemda. Ditolak sama Lian karena menurutnya yang dibutuhkan perempuan bukan itu. Dulu mau dikasih bantuan uang dan peralatan mesin pemipil jagung. 5 unit pada saat itu”.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Sony Kapito. Menurut Sony, saking hati-hatinya, Mosintuwu menolak dengan tegas ajakannya untuk bersama-sama memberdayakan masyarakat. “Saya ajak dia (Lian sebagai Direktur Mosintuwu Institute) bermitra. Cuma dia (Lian) hati-hati sekali karena sekarang saya Ketua Perindo Poso. Kamu kan tahu Perindo itu bagaimana. Dia datang dengan gaya pemberdayaan, banyak sekali program-program. Saya ingin bekerjasama dalam hal ini. Tapi dia sangat hati-hati. Dia takut tergiring ke sana (politik). Saya bilang tidak, kita professional. Dia sangat hati-hati. Dan saya hargai itu”, terang Sony.

Atas segala kiprah dan langkah nyata yang ditunjukkan oleh Mosintuwu, Pdt. Lian Padele, Ketua Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), memberi apresiasi dan penilaian tersendiri bagi kehadiran lembaga tersebut. Pertama, Mosintuwu memberi warna tersendiri di Tentena secara khusus, dan Poso pada umumnya.

Mereka menghadirkan wacana yang berbeda dengan gereja atau lembaga keagamaan lainnya dalam hal pemberdayaan masyarakat. Jika gereja atau lembaga keagamaan lain melakukan pendekatan dari atas ke bawah, maka Mosintuwu melakukannya dari bawah ke atas. Kedua, meskipun terkesan eksklusif karena hanya mengangkat isu perempuan, akan tetapi pada kenyataannya Mosintuwu cerdas melihat dan memanfaatkan celah yang tidak dipakai oleh orang lain.

Isu pemberdayaan perempuan menjadi bukti nyata. Ketiga, dampak yang dihasilkan terlihat nyata dan dapat diukur. 12 Sofyan Siruyu adalah Pemimpin Redaksi Harian Poso Raya. Dampak yang dimaksud yakni kemampuan berargumen para perempuan desa; kemampuan berorganisasi; kemampuan membangun jaringan, baik di tingkat lokal, provinsi, nasional, hingga internasional; membangun hidup dalam keberagam secara damai; dan pengontrol kebijakan desa terkait dengan Undang-Undang Desa.

Penutup

Seperti sudah disinggung di awal, kedaulatan menjadi kata kunci yang digemakan Mosintuwu Institute. Di tengah budaya patriarki dan sistem feodal di Poso, kedaulatan atas hak ekonomi, sosial, budaya, dan politik inilah yang coba diwujudkan oleh Mosintuwu Institute. Guna mewujudkannya, Mosintuwu telah banyak melakukan langkah strategis selama ini.

Sekolah Perempuan dengan berbagai turunannya, Project Sophia, Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak, Ekonomi Solidaritas, serta mendorong tiga Rancangan Peraturan Daerah merupakan langkah-langkah nyata yang telah ditempuh.

Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan ini telah merubah persepsi dan memberi dampak nyata bagi masyarakat, khususnya para perempuan. Gerakan pembaharuan yang dilakukan Mosintuwu dengan mengangkat perempuan sebagai isu utama menjadikannya berbeda dan unik, dengan tingkat keberterimaan yang sangat tinggi.

Sejauh ini Mosintuwu masih mengupayakan perubahan paradigma di ranah individu dan keluarga menjadi paradigm komunal sebagai suara bersama. Hal ini sekaligus untuk menjawab tantangan yang selama ini ditujukan bagi Mosintuwu, terkait pembentukan organisasi perempuan.

Di tengah tantangan tersebut, selama setahun terakhir Mosintuwu telah berkeliling dari desa ke desa untuk mengkonsolidasikan agar hal itu terwujud. Jadi, tunggu saja tanggal mainnya. Hanya waktu yang bisa menjawab apakah Mosintuwu akan tetap menjadi Gerakan Pembaharuan Perempuan atau Gerakan Politik Perempuan. Atau, Mosintuwu menjadi jalan tengah di antara keduanya dengan mengilhami lahirnya Gerakan Politik Perempuan yang terdiri dari anggota (alumni) Sekolah Perempuan.

Pipit Aidul Fitriyana & Saefudin Zuhri

Sumber: Jurnal MAARIF Vol. 12, No. 2 — Desember 2017

 

Pesan Solidaritas Buya Syafii Maarif Menghadapi Covid-19

Info tentang Covid-19 begitu masif disiarkan melalui media cetak, televisi, dan media sosial. Namun peringatan agar tetap waspada dan tidak panik kurang begitu diacuhkan publik.

Tetapi, bukankah akan lebih baik kita mau merenung untuk meningkatkan stamina spiritual kita agar terlihat jelas keterbatasan manusia dalam memecahkan masalah-masalah hidupnya.

Teknologi kedokteran semakin canggih, tetapi jenis penyakit pun tidak mau kalah. inilah dunia tempat kita bermukim sementara untuk kita pelihara bersama, bukan untuk ditaklukkan (Ahmad Syafii Maarif, 22 Maret 2020)

blankblank

Dari analisis para pakar, wabah Covid-19 pasti akan berlalu, asal kita semua mau mendisiplin diri untuk tidak keluar rumah, jika tidak sangat penting. Wabah yang telah membunuh umat manusia dalam jumlah jutaan bukanlah masalah baru, tapi sudah pernah melanda dunia jauh sebelum abad modern.

Oleh sebab itu, demi menjaga kelangsungan hidup kita semua, semangat solidaritas sosial dan saling membantu perlu selalu diingatkan. Kita tidak mungkin hidup sendirian di muka bumi, kita memerlukan orang lain. Tanpa orang lain, kita tidak punya arti apa-apa. (Ahmad Syafii Maarif, 24 Maret 2020)

Buya Syafii: Sang Intelektual Organik

Pasca wafatnya Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bisa dikatakan Ahmad Syafii Maarif atau yang biasa dipanggil Buya Syafii adalah satu dari segelintir tokoh yang mampu mewarnai diskursus terkait kebangsaan dan keindonesiaan. Ditengah hiruk-pikuk bangsa ini, Ia mampu menjadi oase dan suluh bagi umat.

Buya Syafii terus gelisah dan tak pernah lelah memikirkan permasalahan yang menimpa bangsanya. Peran beliau untuk bangsa ini tak diragukan lagi. Berbagai kritik, pesan, nasehat dan pemikiran terus diberikan dan di dedikasikan untuk tanah air ini. Pemikiran-pemikiran beliau merupakan sumbangsih tanpa pamrih.

Martin van Bruinessen menyebut Buya Syafii sebagai “Indonesia’s last remaining public wise old man” dan “a unique paragon of moral leadership”. Perpaduan sinergi antara tingkat intelektual dengan integritas moral menyebabkannya berbeda dari tokoh-tokoh lain.

Buya Syafii merupakan salah satu “Tiga Pendekar dari Chicago” bersama Amien Rais dan Nurcholis Madjid. Pria yang lahir dari salah satu daerah pedalaman Indonesia, tepatnya di Desa Calau, Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatera Barat pada 31 Mei 1935. Sekarang menjelma sebagai sosok yang multikulturalis, pluralis, nasionalis dan juga ikon lintas agama.

Bermula dari Fundamentalis Tulen

Buya Syafii yang kita kenal sekarang tidak datang dari ruang hampa, yang tiba-tiba menjelma sebagai tokoh bangsa. Melainkan, datang melalui proses yang panjang, berliku dan banyak aral melintang. Dari yang mulanya seorang tokoh Muhammadiyah fundamentalis-puritan berubah drastis menjadi tokoh yang multikulturalis, pluralis, nasionalis sehingga menghantarkannya menjadi ikon lintas agama dan guru bangsa.

Perubahan paradigma tersebut terjadi saat beliau belajar langsung dengan tokoh neo-modernis asal Pakistan, Fazlur Rahman, di Universitas Chicago. Sebelum bertemu dan belajar langsung dengan Fazlur Rahman, Buya Syafii pernah menjadi seorang pendukung nalar ide negara Islam atau “syari’ah centris” agar bisa diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Syafii muda beranggapan bahwa kekacauan dan keburukan yang terjadi di Indonesia selama ini disebabkan semata-mata karena bangsa ini tidak menerepkan sistem syariah. Ketika itu beliau sangat getol dan terus berjuang untuk memformalisasikan Islam. Ia meyakini dengan berdirinya negara Islam, maka semua hal akan menjadi beres.

Cara pandang tersebut tak lepas dari pengaruh Abul Ala Al-Maududi, seorang tokoh neo revivalis dari Pakistan dan konsep M. Natsir, yang Islamis. Buya adalah pendukung kuat gagasan negara Islam Indonesia pada periode tahun 1950-1970. Pemikiran tokoh-tokoh Masyumi plus Maududi adalah rujukan utamanya.

Mengalami Status Quo

Menjelang usia Buya Syafii hampir setengah abad yakni, 40 tahun beliau tetap memegang prinsip dan yakin akan merek serba Islam tersebut. Hatta, beliau mengalami status quo dalam pemikirannya, sebagaimana diterangkan dalam autobiografinya:

“Selama periode Athens (1976-1978) dari segi pemikiran Keislamanku, belum ada perkembangan yang berarti. Aku masih terpasung dalam status quo pemikiran. Masih berkutat pada Maududi, Maryam Jameela, tokoh-tokoh Ikhwan, Masyumi dan gagasan tentang negara Islam”.

“Iqbal, pemikir dan penyair Besar Pakistan itu memang telah kuikuti, tetapi ruh ijtihadnya belum singgah secara mantap di otakku yang masih bercorak aktivis, belum reflektif, dan kontemplatif. Apalagi aku aktif di MSA (Muslim Student’Association) yang masih sangat merindukan tegaknya sebuah Negara Islam di suatu negeri. Seakan-akan dengan merek serba Islam itu semuanya akan menjadi beres”.

Paradigma tersebut berubah, ketika beliau bertemu dan belajar langsung dengan Fazlur Rahman saat nyantri melanjutkan pendidikan Strata-tiganya (S3) di kampus Chicago Amerika Serikat. Sebagaimana pernyataannya “pergumulanku dengan kuliah-kuliah Rahman selama empat tahun telah memengaruhi sikap hidupku dengan sangat mendasar sekalipun ilmuku tidak sampai seperempat ilmunya.”

Menjadi Kosmopolit

Perjalanan dan pengalaman yang menimpa Buya Syafii telah membawanya pada pemahaman yang lebih luas dan substantif. Dari lorong pemikiran yang sempit menuju lorong yang kosmopolit. Tentunya apa yang terjadi pada beliau tak datang begitu saja, melainkan melalui proses demi proses secara gradual.

Perpindahan dan perubahan paradigma tersebut, diterangkan oleh pakar psikologi ternama Amerika Serikat, William James dengan istilah konversi. Dalam buku klasiknya yang berjudul The Varieties of Religious Experience (1985), ia mendefinisikan konversi sebagai sebuah proses dimana “religious ideas, previously peripheral in his consciousness, now take a central place, and that religious aims form the habitual centre of his energy”.

Artinya, konversi itu terjadi jika suatu pandangan keagamaan yang dulunya hanya dianggap pinggiran dan tak penting atau bahkan menyimpang oleh seseorang. Namun kemudian ia berubah menjadi meyakini bahwa yang pinggiran itu menjadi sentral atau sangat penting. Maka orang itu telah mengalami apa yang disebut dengan konversi.

Merujuk pada makna konversi di atas, apa yang terjadi pada Buya Syafii merupakan suatu contoh dari konversi tersebut. Konversi yang dialami oleh beliau ialah, bermula dari tokoh Muhammadiyah fundamentalis-puritan menjadi tokoh yang humanis, pluralis dan kosmopolit.

Hal tersebut terjadi ketika beliau bertemu dan belajar langsung dengan Fazlur Rahman di Universitas Chicago. Di kampus Chicago di bawah perkuliahan Fazlur Rahman, Buya mengalami pencucian otak dari pendukung formalisasi Islam menuju Islam yang substantif. “Terlalu lama otakku berdansa di panggung paham keislaman yang kurang mencerahkan”, jelasnya.

Sang Intelektual Organik

Dari kisah perjalanannya, kita bisa melihat kepribadian Buya Syafii yang terus gelisah, kepo dan selalu mencari pelepas dahaga atas kegelisahan dan keingintahuannya. Dengan segala pengorbanan, akhirnya beliau bertemu dengan Fazlur Rahman di kampus Chicago yang bisa melepaskan dahaga tersebut.

Di usia senjanya, lantas tak membuat Buya Syafii hanya berdiam diri dan bersantai dalam menikmati hari tuanya. Justru, beliau terus gelisah akan kondisi yang menimpa bangsa dan tanah air yang dicintainya ini. Jiwanya yang selalu gundah dan gelisah atas pelbagai persoalan yang ada dan ingin terlibat langsung, membuatnya dekat dengan konsep “Intelektual Organik” Antonio Gramsci.

Manifestasi pemikiran beliau dapat dilihat dari karya-karyanya serta menginisiasi berdirinya beberapa komunitas intelektual progresif seperti; Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), hingga Maarif Institute for Humanity and Culture.

Hingga saat ini pun, beliau masih menyempatkan diri untuk hadir dalam berbagai seminar, agenda kemanusiaan dan kerja-kerja intelektual lainnya. Beliau juga selalu menumpah ruahkan buah pikirannya dalam resonansi di Republika serta berbagai media lainnya.

Penulis: Nirwansyah

Sumber: kalimahsawa.id/Maret 10, 2020

Buya Syafii, Membangun Islam Indonesia

Nama Ahmad Syafii Maarif merupakan sebuah nama besar yang sudah tidak asing didengar baik oleh para cendikiawan maupun aktivis Muhammadiyah. Ahmad Syafii Maarif atau yang lebih dikenal dengan nama Buya Syafii merupakan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1998-2005.

Ia merupakan sosok yang dilahirkan dan dibesarkan dilingkungan Muhammadiyah. Amien Rais dan Fazlur Rahman Buya Syafii dilahirkan di Calau, Sumpur Kudus, Sumatera Barat pada 31 Mei 1935 Pendidikan formalnya dimulai dari tingkat dasar yaitu SR (Sekolah Rakyat) dan Madrasah Ibtidaiyah Sumpur Kudus (lulus 1947), kemudian ia melanjutkan ke Sekolah Menegah Pertama di Madrasah Muallimin, Lintan, Sumatra Barat (1950-1953).

Setelah lulus dari sekolah menengah pertama Buya Syafii kemudian hijrah ke Solo dan Yogyakarta  untuk melajutkan pendidikan. Ia memperoleh gelar Sarjana Muda Sejarah Budaya pada 1964. Selanjutnya, ia memperoleh gelar Sarjana Sejarah dari IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) pada tahun 1968.

Sepak terjang pendidikan Buya Syafii tidak cukup berhenti sampai disitu. Setelah lulus dari IKIP Yogyakarta, ia kemudian mengikuti program beasiswa Full Bright untuk meneruskan pendidikan jenjang Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, Amerika Serikat. Setelah menyelesaikan pendidikan masternya, buya Syafii kemudian melanjutkan pendidikannya pada Program Doktor di Universitas Chicago. Hal ini terjadi atas jasa Amien Rais yang telah memperkenalkan dan meminta rekomendasi kepada Fazlur Rahman.

Setelah diterima di Universitas Chicago inilah Buya Syafii secara intensif aktif melakukan pengkajian Al-Qur’an yang dibimbing secara langsung oleh gurunya sekaligus tokoh pembaharu Islam, Fazlur Rahman. Selain itu Buya Syafii juga aktif berdiskusi dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang saat itu juga sedang menempuh pendidikan doktoral di Universitas yang sama.

Sepak Terjang Buya Syafii

Buya Syafii berhasil menyelesaikan Program Dotornya di bidang Studi Bahasa dan Peradaban Timur pada tahun 1993 dengan disertasi berjudul Islam as thr Basic of State: A Study of The Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia. Kemudian Buya Syafii mengawali debutnya dibidang intelektual dengan menjadi tenaga pengajar di PGA Muhammadiyah di Lombok Timur selama satu tahun (1956-1957). Ia menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Sejarah Indonesia Kuni di IKIP Yogyakarta dan asisten sejarah Islam di Universitas Islam Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada 1997.

Kemudian dikukuhkan sebagai Guru Besar Filsafat di UNY pada 1997 dan mengajar di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu ia pun menjadi dosen di berbagai Universitas Luar Negeri serta menjadi ketua diberbagai organisasi nasional dan internasioanal. Pada 28 Februari 2003, Buya mendirikan Maarif Institute for Culture abd Humanity, sebuah lembaga yang concern terhadap isu-isu keislaman dan demokrasi.

Didirikannya Maarif Institute ini sebagai kesadaran akan pentingnya institusi kultural yang memperjuangkan tersosialisasikannya watak dan ciri khas Islam Indonesia sebagai agama rahmatan li al-alamin, inklusif, dan toleran serta memiliki kesesuaian dengan demokrasi yang berpihak kepda keadilan. Sang Sosok Humanis Sebagai seorang intelektual yang berkontribusi dalam mempopulerkan gagasan pembaharuan Islam di Indonesia.

Buya Syafii sangat berjasa dalam mendorong gerbong pemikiran Islam yang inklusif dan toleran.  Pemikiran Buya Syafii dinilai banyak dipengaruhi oleh Fazlur Rahman selaku guru ketika di Universitas Chicago. Sebelumnya Buya Syafii Ma’arif dikenal sebagai sosok yang fundamentalis, dimana Buya memahami Al-Qur’an sama seperti teks tanpa melihat konteks.

Namun setelah perjumpaannya dengan Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, dan Amien Rais, pemikiran Buya menjadi lebih peka terhadap konteks. Baca Juga  Siapakah Sosok Perempuan Yang Muncul di Laman Pencarian Google? Sebagaimana Fazlur Rahman, Buya Syafii juga meilhat bahwa Islam sebagai ekspresi peradaban pada abad 21 masih belum banyak beranjak dari posisinya di masa lampau.

Setelah hampir satu abad sepeninggal Al-Afghani dan Muhammad Abduh belum banyak pemikiran Islam fundamental yang berhasil disumbangkan demi mengangkat umat ke posisi yang lebih layak. Buya Syafii mengakui bahwa ilmu dan pengetahuan sejarah memikat minatnya karena sejarah berbicara tentang kemanusiaan secara totalitas. Dari proses inilah rasa humanismenya tumbuh dan memperdalam perhatiannya pada masalah-masalah kemanusiaan.

Buya Syafii mengajak seluruh umat Islam pada khususnya untuk membumikan Islam dalam bingkai Hablumminannas (saling mencintai dan mengasihi sesama manusia di muka bumi) yang sejati . Buya juga menyerukan agar Islam tak dipeluk dalam keyakinan yang sebatas ritual. Tetapi juga harus mampu mengembangkan praktik dan perilaku hidup keislaman dengan memeluk utuh Islam sesuai seruan hakikinya, yaitu rahmatan lil’alamin.

Membangun Islam Indonesia

Kecintaanya yang tulus pada bangsa Indonesia membuatnya konsisten memperjuangkan nilai-nilai kemajemukan dalam bingkai keislaman, keindonesiaan, kemanusiaan. Setidaknya inilah takeline yang sering didengungkan ketika acara shortcourse yang diadakan selama kurang lebih satu minggu oleh Ma’arif Institute, mulai tanggal 12-19 Desember 2019 kemarin. Menurut Buya Syafii, wajah Islam Indonesia hari ini sebagian sisinya tercitra negatif hingga jauh dari nilai sejati Islam sebagai agama damai.

Hari ini di Indonesia mudah sekali menemukan orang-orang yang mengaku Islam namun perilakunya kasar dan merasa paling suci. Menurut Buya, Islam Indonesia golongan ini hanya terjebak pada simbol-simbol saja dan menjauh dari esensi yang yang sebenarnya. Penyakit umat Islam di Indonesia adalah kerap menyamaratan antara Islam dengan Arabisme. Banyak orang Islam Indonesia memahami bahwa karena Islam berasal dari tanah Arab, maka semua yang ada di Arab sudah pasti 100 persen Islam.

Buya Syafii melihat terdapat bahaya besar apabila pemahaman ini terus berlanjut. Karena hal tersebut akan membuat masyarakat Islam Indonesia salah dalam melaksanakan dan memahami Islam. Salah satu cara yang harus dilakukan oleh masyarakat muslim Indonesia adalah dengan menumbuhkan sikap inklusif, toleran, non diskriminatif, dan egaliter agar umat Islam Indonesia terhindar dari fanatisme agama (merasa agamanya yang paling benar).

Tantangan Toleransi dan Demokrasi

Namun, relitas saat ini bahwa toleransi menurut buya Syafi’i masih sulit untuk ditegakkan di Indonesia. tidak hanya toleransi, demokrasi pun juga tidak tumbuh dengan baik. Menurutnya seperti diungkapkan dalam buku Islam dan Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah (2009) “kepentingan politik sempit yang menutup ruang untuk mengembangkan budaya toleransi di kalangan elit.

Kemudian dibawah sistem politik otoritarian selama empat dasawarsa (1959-1988), demokrasi telah dibunuh secara sadar”. Hal yang sangat dianjurkan dan ditekankan oleh Buya Syafii Maarif untuk menciptakan iklim beragama yang kondusif adalah dengan menumbuhkan sikap toleran pada setiap pemeluk agama di Indonesia. Karena Buya Syafii mengaku risih dengan dengan sikap intoleran di Indonesia.

Buya Syafii menegaskan dalam bukunya, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1956-1965, ”Sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran apabila toleransi sosial, agama, dan budaya tidak mantap.” Toleransi bagaimanapun sangat penting bagi Indonesia yang majemuk dalam banyak hal.

Oleh: Puput Dwi Lestari*

Alumnus Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif III.

Sumber: Ibtimes.id