Tag Archive for: buya syafii

Buya Syafii, Sarang Building, dan Peluang Seni-Budaya di Muhammadiyah

Di rumah makan Padang Sederhana jalan Kaliurang pada 31 Januari 2020 sekitar pukul 19.45, dokter Alim, Iqbal Aji Daryono, Lya Fahmi-Lukman, dan saya menyimak kegelisahan seniman Alfi Chaniago, asal suku Minang, yang sangat mencintai Muhammadiyah itu meskipun ia tak pernah terlibat secara aktif sebagai pengurus di Persyarikatan. “Meskipun saya bukan pengurus Muhammadiyah,” kata Alfi, “darah dan daging saya adalah Muhammadiyah.”

Secara ekonomi, Uda Alfi, demikian ia akrab disapa, telah selesai dengan dirinya sendiri. Buya Syafii Maarif menyebutnya sebagai seniman yang konglomerat. Ia adalah pemilik Sarang Building yang berlokasi di Kalipakis, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, DIY. Sebuah galeri seni lukis yang dibangun di atas tanah seluas 1.400 meter persegi dengan konsep hijau-terbuka bagai oase di tengah kota.

Suatu ketika Buya Syafii pernah berpesan kepada Alfi sebagai seniman sekaligus budayawan agar mengisi Muhammadiyah dari aspek kesenian dan kebudayaannya yang terasa kering. Kemudian hari Alfi bersama beberapa generasi muda di atas berinisiasi mengadakan sebuah forum kajian kebudayaan bertempat di Sarang Building. “Kami sebagai generasi muda ingin lagi belajar tentang Muhammadiyah dari sisi kebudayaannya,” ungkap Alfi dalam kajian pertama bersama Buya Syafii.

Kegiatan yang rencananya akan diadakan secara rutin setiap bulan ini mengangkat pikiran-pikiran di Muhammadiyah yang kurang atau bahkan tidak terekspos, terutama dalam hal seni-budaya. Catatan penting dari Alfi bahwa forum ini terbuka untuk semua orang, forum ini harus menjadi oase, dan menggembirakan. Awalnya, Alfi sendiri tidak terlalu optimis dalam melihat peluang seni-budaya di Muhammadiyah.

Di saat yang sama, Alfi menaruh harapan besar dengan adanya LSBO (Lembaga Seni, Budaya, dan Olahraga) Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah organisasi besar sekaligus identik dengan formalitas dan birokasi. Baca Juga Apapun Ormasnya, Agamanya Islam Sedangkan dunia seni-budaya terkesan imajinatif, bebas, dan dinamis.

Meskipun demikan, sebagai seorang seniman, Alfi tidak habis ide. Ia mengambil jalan tengah dengan mengonsep forum ini menjadi semi-formal. Forum pertama yang diadakan pada Sabtu sore, 22 Februari 2020 yang lalu, berjudul Mengurai Silang Sengkarut Kebudayaan Islam. Buya Syafii Maarif hadir sebagai pemateri dan dokter Alim sebagai moderator. Puluhan yang hadir berasal dari latar belakang kultural yang beragam. Kebanyakan dari generasi muda. Sebagian lagi dari kalangan akademisi, seniman, dan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).

Bagi Alfi dan kawan-kawan, forum ini menjadi satu upaya mewujudkan amanah dan impian Buya Syafii untuk mengisi Muhammadiyah dari aspek seni dan budaya. “Meskipun tidak melalui struktural, siapapun bisa berbuat dan bermanfaat bagi Persyarikatan dalam batas kemampuan masing-masing,” ungkap Alfi.

Penulis/Reporter: Erik Tauvanie

Editor: Azaki

Judul Asli: Sarang Building, dan Peluang Seni-Budaya di Muhammadiyah

Sumber: ibtimes.id, 23 Februari 2020

 

Buya Syafii Maarif, Dedikasi Tiada Henti Menyemai Kebudayaan dan Kemanusiaan untuk Negeri

Bila ada pertanyaan mana yang lebih mudah menjadi toleran atau intoleran? Maka untuk sementara ini harus diakui menjadi intoleran lebih mudah dari pada menjadi toleran. Tindakan intoleransi seperti kekerasan, intimidasi, fitnah, hate-speech, penyerangan sebuah kelompok terhadap kelompok lain, hingga terorisme telah menjadi laku sebagian kelompok atau ormas.

Telinga kita mungkin tak asing lagi mendengar nama Buya Syafii, panggilan akrab seorang Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif yang kini telah berusia 84 tahun. Salah satu dari “Tiga Pendekar dari Chicago” ini dikenal sebagai tokoh lintas agama yang tak pernah lelah menggaungkan toleransi dan rasa kemanusiaan di negaranya. Pemikirannya tersebut membuka pintu cakrawala keilmuan pemuda-pemudi penerus bangsa yang mempunyai kesamaan pikiran.

Selain dikenal sebagai tokoh lintas agama, cendekiawan, dan sejarawan, mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1998-2005 ini juga dikenal sebagai Guru Bangsa. Sepeninggalan tokoh-tokoh besar seperti Prof. Nurcholish Madjid dan KH. Abdurrahman Wahid, mungkin hanya Buya Syafii yang sampai hari ini menjadi guru bangsa yang tersisa, tanpa bermaksud menafikan nama dan tokoh lainnya.

Mengabdi untuk Kemanusiaan

Selain dikenal sebagai akademisi yang mumpuni dalam bidang sejarah, Buya Syafii juga terlibat aktif dalam mengadvokasi golongan-golongan minoritas. Ia merupakan tipikal intelektual yang tidak betah berdiam lama dibalik tembok kampus. Jiwanya senantiasa resah, ia seolah tiada jemu memikirkan persoalan yang mendera bangsanya. Sosoknya yang pluralis, inklusif, dan toleran memang acapkali memicu pro-kontra atas keputusan yang telah diambilnya.

Kendati demikian seorang Buya Safii tak mau ambil pusing, ia tahu bahwa semua ini adalah konsekuensi logis dari apa yang ia yakini dan perjuangkan selama ini. Bahkan, ia semakin tertantang untuk lekas memberi sumbangsih peran untuk mengeluarkan anak bangsa dari penjara keterbelakangan.

Melalui tulisan-tulisannya, Buya banyak berbicara tentang nilai-nilai kemanusiaan universal, nasehat-nasehatnya kepada anak-anak muda yang kelak menjadi penerus bangsa sangatlah inspiratif, misalnya saja nasehat Buya Syafii pada acara purna santri Muallimin, dilansir dari beritaterbit.com (2008).

“Jadi pemimpin itu sangat berat, tapi mulia dan menantang. Pelajari riwayat pendiri negara, agar tahu kenapa bangsa dan negara kita harus merdeka. Jadikan politik untuk menegakkan keadilan, bukan mata pencaharian. Kita harus mampu bergaul dengan siapa saja, bahkan yang mengaku tidak beriman. Lakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar di manapun. Jadilah ikan laut, hidup di air yang asin tapi tidak dengan dagingnya. Ketika kondisi negara tidak baik seperti saat ini, tidak cukup hanya dengan membantu. Berkemajuan adalah memperbanyak kawan dan meniadakan musuh. Di semua unit peradaban, minoritas yang berkualitas adalah penentu. Perbanyak membaca, merenung, dan menulis.”

Menjunjung Tinggi Kemanusiaan

Menurut Moh. Shofan seperti dikutip dalam buku “Merawat Kewarasan Publik: Refleksi Kritis Kader Intelektual Muda tentang Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif (2018),” menuliskan, cerita kehidupan seorang Buya adalah cerita keteladanan, cerita seorang cendekiawan dengan kepribadian yang humanis yang memandang bahwa setiap manusia harus dihormati sebagai seorang manusia seutuhnya, bukan karena dia bijaksana atau tolol, baik atau jelek, dan tanpa memandang agama, ras, suku, bahasa, atau budaya.

Humanisme selanjutnya, adalah pilar utama agama, dan tiada agama tanpa humanisme. Agama yang humanis pastinya menempatkan harkat dan martabat yang tinggi pada manusia. Dan Islam jelas Buya, adalah agama yang paling banyak bercerita tentang keluhuran budi manusia. Menjadi manusia adalah undangan dari Tuhan untuk berbuat baik kepada sesamanya. Seperti ini pula yang dikumandangkan oleh Giovanni Pico Della Mirandola (seorang filsuf humanis zaman Renaissance Eropa), Hermes Trimegistus, Asclepius (seorang filsuf Yunani kuno) tentang manusia.

Pemikiran Egaliterianisme Islam Buya Syafii

Amirullah dalam buku “Merawat Kewarasan Publik (2018),” menyatakan bahwa, secara substantif Islam sebagai agama tauhid mendeklarasikan pesan egaliter untuk mengibarkan panji-panji persamaan dan keadilan bagi kepentingan manusia. Tauhid menjadi sumber dari egaliterianisme itu sendiri. Dalam pemikiran Buya Syafii, umat manusia punya sisi yang sama di hadapan Tuhan dan sejarah. Bila disana-sini tampak perbedaan, hal tersebut dimata Buya Syafii adalah karena yang satu berhasil mengembangkan potensi fisik dan ruhaninya, sedangkan yang lain menelantarkan potensi itu dengan sia-sia. Perbedaannya hanyalah terletak pada persoalan prestasi. Landasan etis inilah yang turut memperkuat keyakinan Buya Syafii tentang arti pentingnya egaliterianisme.

Pandangan Buya Syafii yang berbasis pada tauhid ini memiliki kesamaan sekaligus dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Iqbal, Iqbal sendiri dalam bukunya “The Reconstruction of Religious Thought in Islam,” menyatakan bahwa intisari tauhid adalah persamaan, solidaritas, dan kebebasan. Artinya, meskipun bersifat teosentris tapi doktrin tauhid membagun kesadaran untuk mengaktualisasikan kehendak Tuhan untuk membangun tatanan kemanusiaan yang lebih baik.

Dengan kata lain, di dalam ajaran tauhid mengandung nilai seperti kebebasan (liberty), persaudaraan (fraternity), persamaan (equality) dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Pendapat semacam ini juga mendapat penegasan dari cendekiawan Kuntowijoyo, menurutnya, Islam adalah sebuah humanisme, yaitu agama yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan sentral. Baginya, pusat keimanan Islam memang Tuhan, namun ujung aktualisasinya adalah manusia.

Jalan Terjal Buya Syafii

Dalam kerja-kerja kemanusiaannya seringkali Buya membela orang-orang yang terdesak oleh karena ulahnya yang dianggap kontradiktif. Dari pembelaan-pembelaan itulah Buya kerap disalahpahami. Berbagai cercaan, umpatan, hinaan, bahkan sampai hujatan pun dialamatkan kepadanya. Tak hanya dikecam, banyak tulisan liar dan pernyataan pendek di media sosial yang memintanya agar segera bertobat dan kembali ke jalan yang benar.

Seperti kasus Ahok misalnya, Buya dianggap kafir karena membela orang kafir. Bahkan, mereka menuduh Buya telah “dibeli”. Namun, disinilah letak keagungan akhlak Buya. Ia lebih memilih untuk memberi maaf kepada mereka yang telah menghujatnya. Sebab Buya menyadari sebagaimana pepatah Arab bahwa, “Manusia adalah musuh apa saja yang tidak (belum) dipahaminya.”

Dalam melakukan advokasi terhadap kalangan minioritas Buya berpesan kepada generasi muda, bahwa harus ada keberanian untuk melakukan terobosan dengan berpijak atas dalil-dalil agama yang dipahami secara benar dan cerdas, tekstual sekaligus kontekstual. Buya ingin agar Islam yang dikembangkan di Indonesia adalah sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap berbagai persoalan bangsa dan negara.

The Next Ahmad Syafii Maarif

Umur Buya Syafii telah memasuki masa senja 84 tahun sudah tenaga serta pemikirannya tentang kebudayaan, kemanusiaan, dan toleransi telah dipersembahkan. Hal tersebut semata-mata untuk menjaga keutuhan, persatuan dan kedaulatan negerinya.

Dalam rangka menjaga nafas gerakan, pemikiran kritis, dan sikap moral-intelektualnya, seorang Ahmad Syafii Ma’arif perlu adanya regenerasi dikalangan generasi muda yang berasal dari berbagai pelosok daerah di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar dapat menggerakan gairah intelektual generasi muda ditingkat lokal serta membentuk jaringan intelektual atau aktivis yang mampu merespon tantangan persoalan keindonesiaan dengan melakukan advokasi sosial di tingkat akar rumput.

Saat ditanya Khadafi dalam wawancaranya bersama Mojok X Gusdurian Jogja perihal siapa penerus pemikiran Buya Syafii Ma’arif atau the next Buya Syafii, Buya menjelaskan bahwa banyak dari kalangan muda yang mewarisi pemikirannya seperti Zuhairi Misrawi, Ahmad Nadjib Burhani, Fajar, M Abdullah Darraz, Hasibullah Satrawi, dan masih banyak lagi anak muda yang mewarisi dan terus mengkaji pemikiran Buya Syafii Ma’arif.

Hal ini bisa kita temui pada buku terbitan Maarif Institute, dimana dalam buku tersebut merupakan sekumpulan refleksi kritis kader muda selama mengikuti Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Ma’arif (SKK-ASM) tentang pemikiran Buya Syafii, tentu tidak hanya dari kalangan Islam saja melainkan juga dari kalangan non-muslim pun turut mengkaji sekaligus mengapresiasi pemikiran Buya Syafii terhadap kerja-kerja kemanusiaannya.

Artinya pemikiran Buya Syafii tentang toleransi dan kemanusiaan adalah bingkai dalam bergerak maju, terbuka, ramah, progresif, dan rahmatan lil ‘alamin. Sementara itu, menekankan bahwa setiap manusia haruslah bersikap dinamis dan sangat manusiawi dengan memberi rasa keadilan, keamanan, serta perlindungan bagi setiap manusia secara menyeluruh.

Seperti pesan Buya Syafii bahwa, “Sebagai orang tua, saya berpesan agar generasi yang akan datang kemudian mau belajar sejarah nasional. Jangan sampai membiarkan bangsa dan negara ini berkuah darah lagi dalam sengketa sesama saudara.” Maka dengan ini kita sebagai generasi penerus bangsa sudah seharusnya untuk saling mengasihi, meghargai, dan menghormati sesama. Seperti yang pernah dikatakan Ali R.A, “Jika kita tidak sama dalam pemahaman, kita bersaudara dalam iman. Jika kita tak sama dalam iman, kita bersaudara dalam kemanusiaan”.

Sumber: Pijarnews.id  22 Februari  2020

Kepekaan DPR Terasa Kian Lemah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ahmad Syafii Maarif

Saya harus mengatakan sesuatu tentang DPR yang diujung masa jabatannya seperti kehilangan kewarasan dan kepekaan dalam mengebut penyelesaian perundang-undangan, seperti revisi UUKPK, RKUHP, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, RUU Pertambangan Mineral dan Batubara. Semua UU ini akan sangat menentukan berhasil atau gagalnya pelaksanaan demokrasi dalam bentuknya yang kongkret untuk kepentingan rakyat banyak.

Untunglah untuk RKUHP ditunda pengesahannya oleh presiden. Susah, mereka yang mengaku wakil rakyat jalan yang ditempuhnya sering tidak sesuai dengan kehendak dan penilaian rakyat. Kusutnya suasana bangsa dan negara ini karena kusutnya struktur otak para elite politik.

Sudah menjadi rahasia umum betapa kuatnya pengaruh tangan-tangan kotor dalam setiap pembuatan perundang-undangan di DPR. Dan jauh sebelum itu, saat MPR di awal abad ini melakukan serentetan amandemen terhadap UUD 1945 yang kini beberapa fasalnya dinilai sudah melenceng dari ruh konstitusi asli. Amendemen UUD memang dilakukan di saat sedang menggebunya tuntutan proses demokratisasi di semua lini kehidupan sebagai antithesis terhadap politik authoritarian yang telah merusak sendi-sendi demokrasi terlalu jauh. Tetapi ada produk gerakan reformasi yang bagus, yaitu lahirnya KPK, MK. PPATK, dan KY.

Saya akan membatasi diri untuk menyoroti revisi UU KPK dan pada saatnya nanti akan sedikit menyinggung MK. Berbeda dengan pendapat yang sedang dominan di publik sekarang agar tidak ada revisi UU KPK, saya punya pandangan lain. Bagi saya semua UU sangat tergantung kepada nuansa dan tuntutan zaman. UU KPK No. 30 Th. 2002 dan mulai efektif tahun 2003 memang sudah masanya ditinjau, bukan untuk melemahkan lembaga ini, tetapi untuk mengoreksi beberapa pasalnya yang mencoreng rasa keadilan.

Pimpinan dan pegawai KPK adalah  manusia biasa yang tidak boleh tanpa pengawasan. Mereka bukan manusia suci. Saya sudah lama berpendapat bahwa dibentuknya badan pengawasan untuk lembaga ini bukan sesuatu yang tabu dengan syarat badan ini tidak sampai menyandera lembaga anti korupsi ini.

Kasus-kasus seperti nasib tersangka yang tidak segera diproses ke pengadilan bahkan ada yang sampai mati sebagai tersangka tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Harus ada SP3, jika memang bukti tidak cukup untuk menjerat tersangka diajukan ke pengadilan. Suara-suara ini harus didengar oleh mereka yang mati-matian anti revisi UU KPK. Kekuasaan KPK selama ini demikian mutlak di tangan manusia yang serba nisbi.

Inilah alasan saya mengapa setiap UU itu perlu dikaji dalam perjalanan waktu agar rasa keadilan publik tetap bisa dijaga dan dijawab dengan cara-cara yang benar.

Hampir sama dengan posisi legal KPK yang super body sekalipun bersifat sementara itu, lembaga MK juga punya kekuasaan mutlak dalam memutus perkara. Ungkapan keputusan MK bersifat final dan mengikat seperti yang tercantum dalam UU MK No. 24 Thn. 2003, Pasal 10 ayat (1) adalah bukti tentang betapa kuatnya posisi MK itu. Oleh sebab itu DPR sebagai badan legislasi bersama presiden perlu memupuk dan meningkatkan kepekaannya dalam memberikan respons terhadap pendapat publik dalam setiap kemungkinan perubahan UU. Tanpa kepekaan ini, rasa keadilan masyarakat luas tidak akan pernah terpenuhi. Lalu mahasiswa berdemo lagi karena merasa tersumbatnya komunikasi dengan lembaga negara. Energi kita banyak terkuras oleh kesalahan cara-cara elite politik mengelola bangsa dan negara ini.

Sekilas tentang MK. Lembaga ini pernah gaduh beberapa tahun yang lalu karena ketuanya main uang tanpa mengingat martabatnya sebagai negarawan yang harus menjaga konstitusi dengan benar, maka pimpinan MK mengambil kebijakan untuk membentuk Dewan Etik, sekalipun tidak ada ketentuannya dalam UU MK. Dewan inilah yang ditugasi mengawasi prilaku Hakim MK agar secara etik tidak melenceng dari ketentuan UU. Memang sudah sangat bejat, manakala seorang Ketua atau Hakim MK dengan standar gaji cukup tinggi, matanya masih juga hijau melihat uang.

Pada Bab II Bagian Kedua Pasal 4 a menjelaskan tugas Dewan Etik: “Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan prilaku Hakim, serta Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim Konstitusi, supaya Hakim tidak melakukan pelanggaran antara lain berupa: 1) melakukan perbuatan tercela; 2) tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; 3) melanggar sumpah atau janji jabatan. (Lih. Kepaniteraan dan Sektariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Peraturan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Mekanisme Kerja Dan Tata Pemeriksaan Laporan dan Informasi. Jakarta, 2014, hlm. 7).

Untuk mengembalikan marwah MK perlu waktu beberapa tahun kemudian agar lembaga ini kembali dipercaya publik. Dengan kenyataan ini, bukan saja kepekaan anggota DPR yang lemah, lembaga-lembaga negara lainnya juga tidak kebal dari penyimpangan moral dan etik. Sebuah bangsa barulah dikatakan beradab jika bangsa itu mampu menjaga nilai-nilai moral dan etik. Indonesia sampai sekarang masih rapuh dalam masalah moral dan etik ini!

BJ Habibie dengan Hati Putihnya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Pada 20 Oktober 1999, BJ Habibie meletakkan jabatannya sebagai presiden ketiga RI setelah dipegangnya sejak 21 Mei 1998. Mengapa demikian singkat anak bangsa yang berhati putih ini diberi kesempatan untuk memimpin Indonesia? Jawabannya adalah karena ranjau politik yang tajam sedang mengadangnya, terutama karena pertanggungjawabannya atas lepasnya Timtim (Timor Timur) ditolak MPR.

Dalam perjalanan waktu yang singkat, belum lama menjabat presiden, beberapa teman dekatnya mulai pula mengkritiknya dengan alasan yang dicari-cari, tetapi manusia berjiwa besar ini tidak pernah dendam. Bagi saya, lepasnya Timtim dari Indonesia memang sudah semestinya. Bukankah wilayah ini bukan termasuk jajahan Belanda yang dulu dikenal dengan Hindia Timur Belanda yang sekarang menjadi Indonesia?

Timtim adalah bekas jajahan Portugis selama 450 tahun. Tahun 1976, tentara Indonesia mengambilnya secara paksa dengan persetujuan Amerika Serikat yang berdalih karena wilayah ini akan menjadi pusat Marxisme Fretilin sebagai tetangga dekat Indonesia.

Pada 1970-an itu, Perang Dingin antara blok Barat dan Uni Soviet masih belum tampak ujungnya. Tembok Berlin dan Federasi Uni Soviet masih terlihat kokoh. Sedangkan Indonesia juga baru 10 tahun berhasil mematahkan kekuatan PKI.

Itulah suasana politik global pada 1970-an itu. Tetapi saat Habibie jadi presiden, peta dunia sudah berubah secara drastis, ancaman Marxisme telah sangat melemah. Dinding Berlin telah runtuh dan Uni Soviet telah berantakan karena rapuh dari dalam. Namun, Indonesia yang telah berhasil merebut Timtim yang bukan bagian Hindia Belanda itu berkukuh menjadikan wilayah ini sebagai provinsinya yang ke-27.

Semangat ultra-nasionalisme inilah yang melatarbelakangi alasan MPR menolak pertanggungjawaban presiden Habibie. Maka itu, presiden ketiga RI ini menjadi yang terpendek masa jabatannya, dibandingkan semua presiden Indonesia lainnya.

Tak lama setelah penolakan MPR itu, Ir Salahuddin Wahid dan saya menemui Pak Habibie di Petra Kuningan sebagai tanda kekecewaan terhadap sikap MPR. Di luar dugaan kami, wajah Habibie tidak menunjukkan tanda-tanda gusar karena posisinya sebagai presiden telah beralih ke tangan lain.

“Karena hatinya putih seputih kapas, jabatan politik puncak baginya bukanlah suatu yang harus dipertahankan mati-matian dengan segala cara”.

Selama 17 bulan berkuasa, Habibie telah berbuat banyak untuk bangsa dan negara. Keran demokrasi dibukanya, mungkin terlalu besar, UU Otonomi Daerah digulirkannya, inflasi diatasinya, dan nilai tukar rupiah yang turun bebas sebelumnya dari 1:15 menjadi 1:6,7. Tahanan politik dibebaskannya. Sebuah prestasi kenegaraan yang spektakuler bagi sebuah negara yang sedang gaduh, yang nyaris gagal.

Semua prestasi ini gara-gara hengkangnya Timtim tidak dipertimbangkan dengan arif oleh sidang MPR, termasuk oleh mantan-mantan pendukungnya. Saya tidak perlu menyebut nama para mantan itu yang ketika Habibie wafat berbalik memujinya.

Salahuddin Wahid dan saya memang pencinta Habibie. Itulah sebabnya kami segera datang mengunjunginya. Siapa tahu batinnya akan sedikit terhibur oleh kunjungan kami dalam suasana politik kenegaraan yang sedang kritikal.

Memang sepeninggal Dr Hasri Ainun Basari (1937-2010), pendamping setia Habibie, batin Bapak Demokrasi kedua setelah Hatta ini telah mengalami keguncangan yang berat. Ainun terlalu mulia di hatinya. Seorang perempuan yang sangat lembut dan penyabar ini harus pergi sembilan tahun lebih dulu sampai Habibie menyusulnya pada 11 September 2019 pukul 18.05 WIB di RS Gatot Subroto.

Bukan saja Indonesia yang berkabung, bahkan bagian dunia lainnya, seperti Jerman dan Malaysia juga menangisi kepergian seorang Habibie dengan segala prestasinya di bidang ilmu dirgantara yang diakui dunia, dan dalam upaya sungguh-sungguhnya mengatasi krisis ekonomi-politik Indonesia yang berantakan pada masa terakhir Orde Baru.

“Ainun terlalu mulia di hatinya. Seorang perempuan yang sangat lembut dan penyabar”.

Amat disayangkan kemudian, industri pesawat terbangnya di Bandung kurang dihargai oleh para penggantinya. Padahal, dengan PT Dirgantara Indonesia itu nama Indonesia telah melambung tinggi, banyak negara lain yang iri karenanya.

Maka itu, orang yang paling berjasa merealisasikan gagasan besar Bung Karno puluhan tahun yang lalu itu adalah BJ Habibie. Sekarang otak besar dan jiwa pemaaf ini telah berangkat ke alam sana mengikuti Ainun, belahan jantung-hatinya. Selamat jalan Pak Habibie, kami adalah pencintamu dengan cinta yang tulus!

Nyanyian Keabadian Iqbal, Telinga Mana yang Masih Hirau?

Oleh: Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Gagasan Iqbal tentang proyek Pakistan disampaikannya pada 29 Desember 1930 dalam sebuah pidato terkenal di Allahabad, delapan tahun sebelum dia wafat. Negara Pakistan merdeka terbentuk pada 15 Agustus 1947 sebagai sebuah bangsa dan negara baru yang berpisah dengan India. Ketika pidato bersejarah itu disampaikan, Iqbal mencatat jumlah penduduk Muslim India berada pada angka 70 juta.

Boleh jadi Iqbal tidak pernah membayangkan bahwa proyek impiannya itu tidak pernah terwujud seperti yang dia inginkan. Pakistan dalam perkembangan sejarahnya telah terlepas dari prinsip universalisme Islam. Tidak ada bedanya Pakistan dengan negara-negara bangsa lainnya. Bahkan jauh lebih parah, Pakistan tidak mampu mempersatukan suku-suku yang membentuk bangsa dan negara itu. Maka tidaklah mengherankan Pakistan ditengarai sebagai sebuah negara gagal.

Mengapa demikian? Saya membacanya karena gagasan visioner Iqbal tidak dipahami dengan baik oleh para elite Pakistan setelah negara itu terwujud. Atau Iqbal datang terlalu awal, saat masyarakat Pakistan masih sebagian besar buta huruf dengan pemahaman Islam yang masih dangkal di samping beban sejarah yang teramat berat. Bahwa puisi-puisinya dihafal dan dilombakan memang benar, tetapi filosofi yang termuat dalam puisi itu tidak dipahami dengan benar dan cerdas sehingga sebuah gagasan besar dari seorang penyair-filsuf dibiarkan tergantung di awan tinggi.

Di sinilah gagasan Iqbal itu menemui nasib tragis. Saya yang dulu mengagumi Pakistan sebagai contoh negara Islam modern harus menghela napas panjang, karena ternyata telah berujung pada sebuah kegagalan yang memilukan. Kita mewarisi sebuah Islam yang sudah lama tercemar oleh daki-daki sejarah dalam bentuk sunnisme, syi’isme, dan kharijisme, buah dari sengketa politik kekuasaan elite Arab Muslim generasi awal pasca-nabi, sebagaimana telah muncul dalam Resonansi terdahulu dalam beberapa seri.

Kegagalan Pakistan mewujudkan gagasan besar Iqbal punya dampak serius terhadap berbagai gerakan politik Islam di muka bumi. Ternyata membangun sebuah negara dengan merek Islam atau yang sejenis adalah ibarat meraba dalam gelap gulita atau bahkan, sebuah utopia dari mereka yang putus asa berhadapan dengan tantangan modernitas yang kejam. Dalam perspektif inilah saya pernah mengatakan bahwa upaya mendirikan sebuah khilafah pada era modern adalah pekerjaan sia-sia yang menguras energi untuk sesuatu yang mustahil. Dalil-dalil agama yang dipakai oleh pengusungnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam timbangan ilmiah kontekstual.

Kembali kepada nyanyian Iqbal. Apakah Iqbal menolak peradaban Barat in toto? Ternyata juga tidak. Pendekatan induktif (berdasarkan observasi dan eksperimen) dari peradaban Barat modern dinilai Iqbal tidak berlawanan dengan semangat Alquran yang anti klasik sebagai warisan khazanah Yunani kuno yang serbadeduktif. Iqbal menulis: “…metode observasi dan eksperimen dalam Islam bukan sebagai buah kompromi dengan pemikiran Yunani kuno, tetapi sebagai hasil peperangan intelektual panjang dengannya…[sebuah warisan] yang telah mengaburkan visi Muslim tentang Alquran.” (Lih. Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Kashmiri Bazar-Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1971, hlm. 131).

Barat yang bertumpu pada akal semata bagi Iqbal tidak akan membawa kestabilan untuk sebuah peradaban. Inilah sebuah dunia cita-cita yang dibayangkan Iqbal untuk masa depan dalam bentuk perkawinan antara warisan Timur dan warisan Barat seperti terbaca dalam bait di bawah ini:

Di Barat, intelek adalah sumber kehidupan.

Di Timur, Cinta adalah dasar kehidupan.

Melalui Cinta, Intelek tumbuh berkenalan dengan Realitas,

Dan Intelek memberikan stabilitas kepada pekerjaan Cinta,

Bangkitlah dan letakkan fondasi sebuah dunia baru,

Melalui perkawinan Intelek dengan Cinta.

(Lih. kutipan William O. Douglas dalam Hafeez Malik (ed.), //Iqbal, Poet-Philosopher of Pakistan//. New York-London: Columbia University Press, 1971, hlm. x). 

Saya tidak tahu untuk berapa lama lagi kesadaran kemanusiaan sejagat mau bergerak ke jurusan dunia cita-cita seperti yang digagas Iqbal. Pada era politik pasca-kebenaran ini, gagasan-gagasan besar seperti tak berdaya, tetapi tentu akan datang masanya kelak, umat manusia akan talak tiga dengan yang serbadangkal dan palsu. Maka pada saat itu, perkawinan antara Intelek dan Cinta bukan sebuah kemustahilan!

Hijrah, Titik Penentu Sejarah Islam (I)

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Seminggu yang lalu pada 11 September 2018, kalender Islam memasuki tahun ke-1440 Hijriyah yang dimulai pada 1 Muharram. Adalah keputusan Khalifah Umar bin Khattab yang kabarnya atas saran Ali bin Abi Thalib untuk mengawali hitungan tahun Islam berdasarkan peristiwa hijrah Nabi ke Yastrib yang kemudian bernama Madinah atau madînat al-nabî (Kota Nabi) pada September 622. Tidak ada kepastian tanggal tentang momen itu, tetapi semua sepakat pada bulan September, mungkin saja tanggal 17.

Kejadian hijrah ini demikian mengesankan yang dilakukan oleh Nabi bersama sahabat setianya Abu Bakr al-Shiddîq, yang dicatat sebagai titik balik dalam perjalanan kenabian. Nabi terpaksa meninggalkan kampung halamannya, tetapi pada saatnya harus direbut kembali, karena tanpa menguasai Makkah sebagai pusat spiritual Muslim, Islam tidak punya kiblat.

Sebenarnya, banyak peristiwa penting lainnya yang terjadi sebelum hijrah itu. Misalnya, hari kelahiran Muhammad, saat pertama kali turunnya wahyu dan pengangkatannya sebagai Nabi dan Rasul pada tahun 610 miladiyah.

Tetapi, Umar memilih peristiwa hijrah sebagai awal kalender Muslim yang berlaku sampai sekarang. Jika demikian, seberapa penting sebenarnya makna hijrah itu bagi sejarah Nabi dan agama Islam yang dibawanya, sedangkan Nabi sendiri sebelumnya tidak menentukannya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua sumber utama yang dapat dijadikan dasar: Alquran dan sejarah. Alquran sama sekali tidak menyebut tanggal peristiwa, tetapi melukiskan apa yang berlaku atas diri Nabi yang hendak dihabisi nyawanya oleh elite Quraisy pada periode Makkah (610-622) itu.

Mengapa Nabi harus dibunuh? Karena tatanan sosial masyarakat Makkah terancam oleh gerakan egalitarian Nabi yang dapat merubuhkan sistem oligarki Quraisy yang zalim itu.

Nabi berjuang agar keadilan tegak dengan kukuh dalam masyarakat komersial Makkah dan sekitarnya. Maka itu, ajaran tauhid yang dibawa Nabi langsung membidik struktur piramida sosial yang sangat timpang itu.

Jika semata mengajak mereka untuk percaya kepada Allah sebagai Pencipta langit dan bumi, perlawanan sengit itu tidak akan meledak, karena kepercayaan semacam itu sudah mereka miliki.

Alquran dalam Surah al-Zumar (39) ayat 38 menegaskan: “Dan jika engkau menanyai mereka tentang siapa Yang menciptakan langit dan bumi, sungguh mereka akan menjawab: ‘Allah yang menciptakannya’.” Penegasan serupa diulang dalam Surah al-‘Ankabût (29) ayat 61, Surah Luqmân (31) ayat 25, Surah al-Zukhruf (43) ayat 9.

Percaya kepada Allah sebagai Pencipta alam semesta tanpa bersinggungan langsung dengan perbaikan nasib manusia di muka bumi berupa tegaknya keadilan yang menyeluruh untuk semua anggota masyarakat bukanlah Islam Qurani dan bukan pula Islam kenabian.

Kejatuhan peradaban Muslim dalam berbagai periode sejarah bisa dilacak pada absennya semangat awal misi Nabi akhir zaman ini. Ini adalah pengkhianatan nyata terhadap hakikat Islam yang sejati, tetapi ironisnya berulang-ulang dilakukan oleh mereka yang mengaku sebagai pemeluk Islam sempurna, sebuah pengakuan palsu yang masih berlangsung sampai hari ini.

Dalam surah-surah Makkiyah terdapat banyak informasi tentang ketimpangan sosial-ekonomi yang parah di kota perdagangan Makkah. Untuk menghapuskannya sukar sekali, ibarat pendakian di jalan yang terjal (al-‘âqabah).

Muhammad dengan mata telanjang setiap detik menyaksikan panorama ketidakadilan masif yang sangat menggelisahkan batinnya ini. Dengan rahmat Allah Yang Mahaasih, wahyu diturunkan ke dalam hatinya sebagai pedoman untuk melancarkan perubahan sosial yang radikal.

Perhatikan, antara lain, kesaksian Alquran dalam Surah al-Balad (90) ayat 11-16 dalam terjemahan puitis HB Jassin:

Tapi ia tiada menempuh jalan yang terjal (al-‘aqabah).

Bagaimana kau tahu

Apakah jalan yang terjal?

(Itulah) membebaskan hamba dari perbudakan.

Atau memberi makan pada hari kelaparan

Kepada anak yatim bertalian kerabat,

Atau orang miskin terlunta-lunta.

(Lihat: HB Jassin, Al-Qur’an Bacaan Mulia. Jakarta: Yayasan 23 Januari 1942, 1982, hlm. 862).

Sopir Taksi yang Pengacara dan Jokowi

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Benarlah kata orang bahwa “Everyone has his/her story” (setiap manusia punya kisahnya sendiri). Kisah itu bisa mirip, tetapi perbedaannya pasti lebih besar dan masing-masing bersifat unik. Saya rekamkan di sini tuturan seorang sopir taksi tentang percikan kisah hidupnya.

Teman ini well-informed (kaya informasi) dan kenal baik dengan Presiden Jokowi karena berasal dari daerah yang sama dan sama-sama alumnus SMP I Manahan, Solo.

Taksi yang dikemudikannya hari itu, Jumat, 24 Agustus 2018, bernomor AB 1547 AH, berangkat dari Nogotirto Elok 2 menuju Bandara Adisutjipto sekitar 08.10 pagi. Pertama kali menjemput saya.

Baru saja buka pintu mobil, Bung Joko Surodo SH langsung pegang kepalanya sambil menyebut nama saya dengan perasaan girang. Selang beberapa menit berjalan, sahabat kita ini langsung menyebut ungkapan Teologi Maut yang sudah jadi milik publik sejak dua-tiga tahun terakhir.

Tentu saja saya sedikit kaget, sopir taksi kenal dengan istilah ini yang untuk Indonesia mungkin saya yang pertama kali melontarkannya ke media. Ternyata Bung Joko seorang sarjana hukum alumnus UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret) Solo tahun 1981. Dia suka baca, termasuk mahir dalam ber-WA.

Joko sangat terkesan dengan istilah Teologi Maut itu. Demikianlah sekitar 40 menit dalam perjalanan kami terlibat dalam pembicaraan yang mengasyikkan. Dalam hati saya berbisik: “Jangan salah duga dengan seorang sopir taksi yang ternyata juga akrab dengan literasi.”

Joko Surodo pernah mengambil kuliah bahasa Inggris, tetapi tidak dirampungkannya untuk kemudian pindah ke Fakultas Hukum UNS. Menurut ceritanya saat mendaftar jadi mahasiswa, IPB juga membuka pintu untuknya. Artinya, dia punya otak cerdas. Maka, tuan dan puan tidak perlu heran jika ungkapan Teologi Maut itu selalu diingatnya.

Pembicaraan berlanjut ke masa sekolah di SMP I Manahan, satu angkatan, tetapi lain kelas dengan Joko Widodo (presiden ketujuh RI), seperti telah disebut di atas.

Saat di SMA keduanya berpisah: Joko Surodo di SMA 5, sedang Jokowi di SMA 6 Solo. Keduanya kenal baik. Empat tahun yang lalu, menurut Surodo, Jokowi masih kirim ucapan selamat Natal kepadanya.

Punya foto kebanggaannya bersama orang nomor satu di Indonesia ini. Foto itu diambil beberapa tahun yang silam. Lalu saya sambung, sejak tiga tahun terakhir, Presiden Jokowi juga mengirimkan gudeg asli Solo kepada saya di Yogya.

Joko Surodo pernah punya taksi sendiri di Solo sambil praktik sebagai pengacara, tetapi kemudian perusahaan yang diikutinya bangkrut, lalu sejak tiga tahun yang lalu jadi sopir taksi Pamungkas di Kota Gudeg.

Sebagai pengacara pun sudah jarang dapat klien. Tiga kali dalam seminggu: Senin, Rabu, dan Jumat dia bolak-balik Solo-Yogya-Solo dengan kereta api Prameks (Prambanan Ekpsres) yang murah, tetapi nyaman, sekalipun sering padat penumpang.

Sebagai penganut Kristen Protestan, Joko Surodo rajin ke gereja. Putra tunggalnya Karmia Adi masih belajar di SMP, sedangkan tiga kakaknya “sampun dipendhet” (wafat) saat kecil, kenang Joko dengan rasa pilu, sebuah nasib yang juga saya pernah alami.

Untunglah, kata Joko, Karmia sehat yang jadi buah mata dari keluarga. Kematian anak bagi yang sudah mengalami sungguh mengguncangkan. Maka adalah di luar kelaziman kemanusiaan, jika ada orang tua yang membunuh anaknya sendiri dengan beraneka penyebab.

Kembali kepada lanjutan cerita Joko Surodo tentang Jokowi. Dikatakannya bahwa sewaktu masih dalam posisi sebagai wali kota Solo, agar Jokowi lebih tangkas berbicara di depan publik, dosen-dosen UNS-lah sebagai mentornya.

Berhadapan dengan kaum intelektual ada kiatnya, dengan rakyat biasa ada pula caranya, dengan tokoh agama lain lagi strateginya. Joko Surodo mengamati bahwa Jokowi adalah seorang yang tidak malu-malu untuk senantiasa belajar dan berguru kepada siapa pun.

Pengamatan Joko Surodo ini benar adanya. Bahkan, saat saya berbicara empat mata dengan Presiden Jokowi, tidak saja dia dengarkan dengan baik, tetapi komputer kecil dimainkannya untuk merekamnya, padahal dia seorang presiden.

Mungkin saja apa yang kita sampaikan itu sudah diketahuinya, tetapi secara etika dia masih sabar untuk memperhatikannya. Tidak banyak presiden mau bersikap empati seperti itu.

Akhirnya, Joko Surodo akan sangat berbahagia jika Presiden Jokowi masih ingat dan sempat lagi mengirimkan kartu Natal kepadanya!

Buya Syafii Maarif Ditunjuk sebagai Anggota Dewan Etik MK

JAKARTA, KOMPAS.com – Panitia Seleksi (Pansel) Dewan Etik Mahkamah Konstitusi telah menunjuk anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Buya Ahmad Syafii Maarif untuk menjabat sebagai anggota Dewan Etik Mahkamah Konstitusi menggantikan Gus Solah.

“Dari tiga nama, memang sudah mengerucut ke Buya Ahmad Syafii Maarif dan panitia seleksi memang menunjuk beliau untuk menggantikan jabatan Gus Solah di Dewan Etik MK,” kata juru bicara MK Fajar Laksono di Gedung MK RI, Jakarta, Rabu (1/8/2018), seperti dikutip Antar.

Fajar mengatakan, Buya Syafii sudah menyatakan bersedia untuk menjadi anggota Dewan Etik MK menggantikan Gus Solah.

Selain Buya Syafii, Pansel Dewan Etik MK sebelumnya mengantongi dua nama lain, yaitu mantan Wakil Ketua Umum PBNU K.H. As’ad Said Ali dan penasihat KPK periode 2005-2013 Abdullah Hehamahua.

Adapun panitia seleksi terdiri dari tiga orang, yaitu mantan Dewan Etik MK Hatta Mustafa, anggota Dewan Etik MK Bintan Saragih, dan mantan Hakim Konstitusi Mohammad Laica Marzuki.

Gus Solah mengundurkan diri dari jabatan anggota Dewan Etik MK atas kesadaran dan kemauannya sendiri setelah mengalami stroke dan merasa kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk bertugas sebagai Dewan Etik MK. Selain Gus Solah, dua pejabat Dewan Etik MK yang tersisa pada saat ini adalah Achmad Roestandi selaku Ketua Dewan Etik MK dan Bintan Saragih selaku anggota.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Buya Syafii Maarif Ditunjuk sebagai Anggota Dewan Etik MK”, https://nasional.kompas.com/read/2018/08/01/19105371/buya-syafii-maarif-ditunjuk-sebagai-anggota-dewan-etik-mk.

Keserasian Islam dengan Demokrasi (II-Habis)

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Kritik pahit dan tajam tentang gejala despotisme Muslim diberikan oleh Muhammad Iqbal (w. 1938): “Tatapan mata raja-raja Muslim semata-mata berpusat pada kepentingan-kepentingan dinasti mereka. Selama kepentingan itu terlindungi, mereka tidak ragu-ragu menjual negerinya kepada penawar yang tertinggi.

Untuk menyiapkan massa Muslim untuk sebuah perlawanan terhadap situasi yang demikian itu di dunia Islam merupakan misi khusus Syed Jamal-ud-Din Afghani.” (Lihat Muhammad Iqbal dalam Syed Abdul Vahid (ed), Thoughts and Reflections of Iqbal. Kashmiri-Bazar-Lahore: Sh Muhammad Ashraf, 1973, hlm 279).

Iqbal memang menjadi salah seorang pemberi penghargaan tinggi kepada karier hidup al-Afghani. Kutipan berikut adalah saksi untuk itu: “Jika energinya yang tanpa lelah tetapi terpecah itu telah dapat dibaktikan seluruhnya untuk Islam sebagai sebuah sistem iman dan perilaku manusia, maka dunia Islam, secara intelektual, akan berada di atas satu landasan yang lebih kukuh sekarang ini.” (Lihat Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Kashmiri-Bazar-Lahore: Sh Muhammad Ashraf, 1971, hlm 97).

Dengan latar belakang singkat ini, saya harus mengatakan dengan yakin bahwa pemahaman Muslim Indonesia terhadap diktum Alquran tentang konsep syûrâ (lihat Alquran surah III: 159 dan surah XXXXII: 38) lebih dekat kepada gagasan demokrasi sebagaimana dipahami di era modern. Dalam sistem ini dijamin dan dihormati keikutsertaan rakyat dengan bebas dan aktif dalam proses pengambilan keputusan dalam urusan bangsa dan negara, sesuatu yang haram dalam sistem despotisme.

Jauh sebelum hari kemerdekaan Indonesia tahun 1945, para pendiri bangsa, sebagian besar Muslim, telah memilih demokrasi sebagai sebuah sistem politik untuk hari depan Indonesia. Ada satu contoh yang menarik untuk dikenang di sini: berdirinya Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) tahun 1945 di bawah pimpinan intelektual Muslim adalah salah satu bukti komitmen umat kepada sistem demokrasi.

Partai ini dikenal sebagai pejuang demokrasi dan konstitusi yang tangguh dan berani hingga pada akhirnya harus menjadi martir (bubar/dilarang) karena perjuangannya itu di akhir 1960 berhadapan dengan sistem politik otoritarian di era itu.

Dalam ungkapan lain, adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa mayoritas mutlak Muslim Indonesia percaya kepada demokrasi sebagai yang serasi dengan gagasan politik Alquran, sekalipun juga diakui bahwa demokrasi bukanlah sebuah sistem yang sempurna.

Tetapi, jika dibandingkan dengan sistem politik lain yang berkembang dalam sejarah Muslim seperti kerajaan, khilafah, keimaman, dan bentuk-bentuk yang lain, demokrasi jelas lebih unggul dalam substansi dan dalam kualitas. Adapun demokrasi modern Barat telah pula melahirkan seorang Adolf Hitler dari Jerman dan seorang Donald J Trump dari Amerika Serikat adalah cerita lain yang saya segan berkomentar.

Sebagai kesimpulan, bagi saya sungguh waktunya sudah sangat mendesak dan tinggi bagi Muslim untuk berpikir ulang dan memberi penghargaan secara intelektual dan kritikal terhadap upaya pengembangan konsep syûrâ sebagai sistem politik yang layak, efektif, egalitarian, dan demokratik, demi menjawab tantangan zaman yang berubah dengan kencang ini. Jika jalan ini tidak ditempuh secara berani dan cerdas, saya khawatir dunia Muslim akan tetap berkubang dalam iklim kegagalan dan keterbelakangan dalam mengurus bangsa dan negara di abad ke-21 ini.

Demokrasi yang terkubur dalam kafan ‘Ali bin Abi Thalib harus dibongkar kembali, karena kejadian itu adalah sebuah malapetaka sejarah yang dilakukan oleh elite Arab Muslim masa awal dengan membuang konsep syûrâ dalam Alquran sebagai pedoman dan prosedur bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, di dalamnya pesan egalitarianisme mendapatkan tempat yang amat terhormat.

Tak seorang pun tahu untuk berapa lama lagi umat Islam dapat bertahan di lingkungan politik busuk, despotik, dan primitif sebagaimana telah disebutkan di atas. Sebenarnya apa yang terjadi dalam Musim Semi Arab yang mati suri itu tidak lain dari perlawanan rakyat terhadap despotisme yang menindas dan antikeadilan yang tidak jarang dilakukan atas nama agama. Alangkah kejinya, alangkah dustanya!

PDRI, Sebuah Drama Sejarah (III)

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Para tokoh PDRI tidak saja sebatas mengatur strategi perjuangan untuk memenangkan RI, tetapi di tempat di mana mereka menetap juga aktif mencerahkan masyarakat sekitar dengan menyelenggarakan berbagai kursus tentang politik, ekonomi, koperasi, dan kesehatan.

Kegiatan semacam telah semakin merapatkan hubungan emosional antara tokoh dan rakyat jelata yang menjadi tulang punggung logistik di desa terpencil itu. Semuanya serba mengaharukan, semuanya serba indah, apalagi bila diteropong dari jarak waktu yang jauh.

Menurut tuturan St. Mohammad Rasjid, di Koto Tinggi tidak kurang dari 700 rombongan PDRI yang tinggal sekitar tiga bulan di sana. Rombongan besar inilah yang ditampung dan dijaga rakyat desa kecil itu. Begitu pula di Bidar Alam, rakyat dengan perasaan rela dan bahkan bahagia telah menyatu dengan pemimpin gerilya ini.

Artinya, rakyat Indonesia sampai jauh di pelosok memang sudah menjatuhkan talak-tiga kepada sistem penjajahan. Semuanya ini tidak terlepas dari buah rentetan sejarah sejak permulaan pergerakan nasional awal abad ke-20, kegiatan PI (Perhimpunan Indonesia) di negeri Belanda tahun 1920-an, Sumpah Pemuda tahun 1928, dan puncaknya pekik Proklamasi 17 Agustus 1945.

Belanda sebagai bekas penjajah rupanya tidak rela Indonesia terlepas dari tangannya, sekalipun dengan cara hina telah diusir oleh tentara pendudukian Jepang pada bulan Maret 1942. Demikianlah usai PD (Perang Dunia) II, Belanda dibantu pasukan Inggris datang kembali ke Indonesia yang kemudian memicu perang mempertahankan kemerdekaan di pihak Indonesia yang belum lama menyatakan kemerdekaannya, sekalipun Belanda baru mengakuinya akhir 1949.

Selama empat tahun perang kemerdekaan ini, banyak cobaan dan rintangan yang mesti dilalui. Ada gesekan politik di antara elite nasional, ada pemberontakan PKI, dan ada deklarasi DI (Darul Islam) di Jawa Barat. Maka PDRI adalah kekuatan penyelamat Indonesia pada saat pemimpin puncaknya jadi tawanan musuh.

Perkembangan politik nasional sejak April 1949 menjadi terbelah antara PDRI dengan pemimpin tawanan di Bangka yang melakukan perundingan pra-KMB (Konferensi Meja Bundar) dengan pihak Belanda. Pihak Indonesia dipimpin oleh Mohammad Roem vs van Roijen sebagai wakil Belanda.

PDRI tidak diajak dalam proses diplomasi antara April-Mei 1949 itu. APRI (Angkatan Republik Indonesia) yang berada di bawah komando Jenderal Soedirman juga tidak setuju dengan cara-cara diplomasi itu, karena Belanda sering benar berkhianat.

Dalam situasi serba terbelah ini, peran Mohammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX sangat menentukan, sehingga dengan hati-hati dan susah payah, pada ujungnya para pemimpin gerilya itu bisa saling mengerti, sekalipun di pihak PDRI dirasakan sakit dan kecewa, baik sayap utara di bawah komando St. Mohammad Rasjid maupun sayap  selatan sebagai pusat PDRI di bawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara.

Kemudian baru bulan Mei 1949 kedua sayap ini bertemu di desa Sumpur Kudus/Silantai. Di desa inilah PDRI mengadakan rapat besar untuk menentukan sikap terhadap hasil Perundingan Roem-Roijen yang diadakan di Jakarta dan berakhir pada pada 7 Mei 1949 yang dinilai cacat oleh pimpinan PDRI. Sumpur Kudus dipilih adalah hasil kompromi antara Sjaruddin dan Mohammad Rasjid yang semula saling mengajak berunding di tempatnya tinggalnya masing-masing.

Sekiranya kompromi ini tidak terjadi, maka Sumpur Kudus yang terletak agak di tengah antara Bidar Alam dan Koto Tinggi, maka desa ini akan berlalu begitu saja dalam sejarah PDRI. Di desa ini rombongan PDRI tinggal dari 5 Mei sampai dengan 21 Juni 1949, pusat PDRI terpendek dibandingkan dengan Bidar Alam dan Koto Tinggi.

Sama halnya sambutan hangat rakyat di Bidar Alam dan Koto Tinggi, rakyat Sumpur Kudus dan negeri tetangga Silantai telah menanti kedatangan para pemimpin gerilya itu dengan antusiasme yang sangat tinggi. Semuanya dikorbankan untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan tanahair.

Bahkan seorang saudagar gambir dan karet bernama Halipah telah memberikan hartanya senilai ratusan juta rupiah (dalam hitungan sekarang) untuk kepentingan perjuangan PDRI. Semua tokoh puncak PDRI kenal baik dengannya. Bahkan Teuku Muhammad Hasan setelah perang masih melakukan kontak dengan saudagar Sumpur Kudus ini.

Adapun ayah saya di Calau (sekarang bernama Sumpur Kudus Selatan) di samping menyerahkan sebagian rumahnya untuk dipakai sebagai zender radio PDRI, juga menyediakan logistik bagi para pejuang ini. Di rumah inilah Komodor Muda Soejono dan Kapten Udara Dick Tamimi dan jajarannya memimpin radio PDRI sebagai sumber informasi untuk disampaikan kepada Sjafruddin Prawinegara yang tinggal di Sumpur Kudus dan Silantai, keduanya berada dalam jarak dekat di kecamatan Sumpur Kudus.

Jasa anggota AURI dalam PDRI sungguh luar biasa, di samping Angkatan Darat dan Angkatan Laut yang semuanya masih dalam usia belia saat itu.

Sekarang semua drama itu sudah berlalu dan Indonesia telah merdeka sejak 17 Agustus 1945, lebih dari 72 tahun yang silam. Masih ada sekitar 43% desa tertinggal di seluruh Indonesia dan aliran listrik ke Sumpur Kudus baru masuk tahun 2005. Bidar Alam dan Koto Tinggi telah lebih dulu mendapatkan cahaya lampu pijar itu.

Akhirnya, kajian yang cukup komprehensif tentang PDRI dengan beberapa kesalahan kecil, dilakukan oleh sejarawan berbakat Prof DR Mestika Zed dari Universitas Negeri Padang di bawah judul: “Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan”. Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, 1997, tebal 308 halaman.