Oleh: Firly Annisa

Dunia maya atau biasa disebut cyber space dapat memberi peluang untuk mengartikulasikan politik identitas dan melakukan negosiasi. Dunia maya bahkan merekonstruksi identitas yang dianggap secara alamiah melekat pada gender tertentu, termasuk perempuan. Konstruksi gender yang sering dilekatkan pada perempuan umumnya menyoal perempuan harus bisa memasak, menikah, menjadi ibu rumah tangga, memiliki anak, hingga perempuan dianggap tidak bisa menjadi pemimpin yang baik.

Diskursus ini sering terjadi pada masyarakat yang berpegang teguh pada sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang otoritas utama. Sehingga dapat melakukan dominasi baik secara kepemilikan ekonomi, sosial bahkan moral publik. Konstruksi gender dan identitas ini sesungguhnya perlu diubah dan direkonstruksi. Salah satunya melalui teknologi internet dan media sosial khususnya, media ini dapat digunakan sebagai ruang untuk ekspresi dan reaksi diri perempuan dalam menawarkan negosiasi identitas.

Media Masih Bias Gender

Pada kenyataannya, baik media tradisional (cetak dan elektronik) dan media baru (jaringan digital dan teknologi informasi) menjadi bagian penting dalam membangun kesadaran atas pesan sensitif gender. Namun sayangnya struktur kepemilikan media dan teknologi yang berbasis pada nilai-nilai partiaki justru masih mendominasi. Lagi-lagi peluang untuk menciptakan pesan-pesan adil gender masih perlu diperjuangkan. Sering ditemui perempuan justru menjadi objektifikasi pesan-pesan yang merendahkan dan menghilangkan nilai tawar pada masyarakat.

Salah satu contohnya adalah pesan-pesan kampanye menikah muda yang semakin mudah ditemui di sosial media Instagram. Kampanye ini sering menempatkan posisi perempuan yang produktif (berumur 17-30 tahun) perlu suami untuk “menguatkan” posisinya di masyarakat. Pernikahan dianggap menjadi jalan solusi untuk memberikan kehormatan terbaik bagi perempuan dengan menjadi istri dan ibu. Ajakan nikah muda tentu saja sama sekali tidak salah. Namun logika-logika yang digunakan sering sesat pikir dengan menegasikan posisi perempuan yang ideal adalah di dalam keluarga, rumah dan dalam framing kerja domestik semata. Sebaliknya ajakan menikah muda sering “melupakan dan meniadakan” posisi perempuan di ruang publik, menahan mobilitas pendidikan, sehingga artikulasi dan karya-karya individu perempuan seakan dibatasi. Jamaknya pesan seperti ini diproduksi melalui pendekatan dalil-dalil agama.

Tidak itu saja pesan-pesan body shamming pada perempuan juga sering diperlihatkan dalam postingan iklan-iklan komersial di Instagram misalnya. Menyoal tubuh perempuan yang tidak langsing dan putih dianggap kurang ideal, menjadi pintu masuk sebuah produk kecantikan dipromosikan. Perlu diketahui body shaming adalah istilah yang merujuk pada kegiatan mengkritik dan mengomentari secara negatif fisik atau tubuh diri sendiri maupun orang lain yang dianggap normal untuk dilakukan. Bahkan pelakunya sering menggunakan justifikasi “hanya becanda” sehingga tidak perlu bila sang objek perundungan merasa sensitif atau marah.

Perempuan Muslim dalam Pesan Progresif

Dalam konteks literasi digital perempuan sering mengalami ketertinggalan dalam mengakses teknologi. Studi yang dilakukan oleh Suwana dan Lily pada tahun 2017 menyebutkan kemampuan penguasaan teknologi oleh perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini karena keterbatasan pendidikan, kurangnya kesempatan dan sistem patriaki yang mengakar di Indonesia. Di lain pihak, masyarakat Indonesia mengenal teknologi internet melalui alat komunikasi telepon pintar, akibatnya penggunaan internet lebih dekat dengan aktivitas konsumsi, seperti berbelanja online, menonton drama korea, atau chat online.

Situasi ini lebih kurang ikut mendorong tersebarnya misinformasi, berita hoax dan kebencian di negara-negara berkembang. Hal ini karena kemudahan mengakses informasi hanya dalam tiga langkah read, copy-paste dan share. Sedangkan di negara maju, anak-anak dan orang dewasa mengenal internet untuk pertama kali melalui perangkat teknologi komputer yang bertujuan memproduksi karya dan kerja-kerja produktif.

Literasi digital adalah kemampuan untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat, dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif (Japelidi, 2017). Pada kenyataannya kemampuan literasi digital dapat mendorong potensi luar biasa untuk memberdayakan perempuan secara ekonomi, sosial, dan politik. Penguasaan perempuan pada teknologi internet akan mendorong mendapatkan akses pemberdayaan ekonomi perempuan, partisipasi politik dan inklusi sosial melalui inisiatif yang mendukung peningkatan produktivitas, peningkatan pendapatan, mobilisasi dan akuntabilitas.

Penguatan Literasi Digital Perempuan Muslim

Oleh karenanya perlu dilakukan penguatan literasi digital kepada perempuan. Khususnya dalam konteks perempuan Muslim. Dorongan menguasai teknologi informasi akan meningkatkan partisipasi dalam memproduksi pesan-pesan yang konstruktif dan positif. Penguasaan teknologi informasi pada perempuan Muslim juga akan mendorong “artikulasi politik” perempuan. Sebagai contoh dalam ranah politik, apabila perempuan melek digital maka ia akan mudah mendapatkan informasi mengenai calon kepala daerah atau calon legislatif yang akan dipilihnya dalam Pemilu.

Tidak itu saja, ketika perempuan yang berpendidikan agama memiliki akses teknologi ia dapat menyampaikan ceramah-ceramah agama yang anti misoginis (membenci perempuan) dalam ruang publik. Tafsir-tafsir agama yang berkeadilan gender akan semakin mudah dijumpai dalam ruang-ruang publik karena mediatisasi agama yang dilakukan dengan proporsional dan progresif. Selain itu, dalam literasi digital perempuan dapat didorong untuk memproduksi konten-konten online. Seperti menulis blog/artikel, fotografi, desain visual, sharing pengetahuan parenting atau cerita-cerita asiknya memiliki profesi di luar rumah akan dapat semakin membongkar streotipe tubuh perempuan.

Tafsir ulang terhadap identitas Muslim dapat dilakukan melalui partisipasi perempuan sendiri. Tentu perempuan juga aktif memproduksi dan mereproduksi pesan-pesan positif, konstruktif dan toleran di masyarakat. Keuntungan lain bagi perempuan untuk melek digital akan memberikan akses pada sumber-sumber ekonomi dan pendapatan untuk keluarga, memahami konteks sosial dan politik di masyarakat,. Selian itu yang paling penting adalah mendapatkan akses untuk menampilkan karya-karya mereka dalam ruang publik. Teknologi digital dengan cara ini dapat digunakan untuk memfasilitasi perempuan untuk terlibat dalam politik gender, memberikan konteks baru di mana individu dapat merekonstruksi identitas sehingga perempuan dapat bebas dari stereotip tubuh.

*Pengajar ilmu komunikasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Salah satu hobinya menuliskan pengalaman dan refleksi kehidupan sehari-hari dengan perspektif budaya dan media. Sekarang ia aktif menjadi mahasiswa PhD di Media, Communication and Culture, Keele University, United Kingdom. Melalui jarak jauh Firly juga aktif melakukan aktivitas gerakan literasi media digital dengan organisasi Japelidi (Jaringan Pegiat Literasi Digital).

Artikel ini kerjasama MAARIF Institute dengan Rahma.id

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 × 2 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.