Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan yang lebih jelas terhadap penanganan wabah Corona (Covid-19) di Indonesia. Sebelumnya, publik dibuat simpang-siur dengan berbagai informasi dan kebijakan yang setengah-setengah dan tampak tidak terkoordinasi dengan baik.
Peneliti Senior Maarif Institute, Endang Tirtana mengatakan, Jakarta yang kini sudah menjadi episentrum Corona karena jumlah kasus paling banyak, sempat dilakukan pembatasan sarana transportasi oleh Gubernur Anies Baswedan. Tak pelak antrean membeludak, ketika sebagian besar masyarakat belum bisa bekerja dari rumah.
Seruan untuk menutup sebagian wilayah atau bahkan seluruh Indonesia (lockdown) nyaring disuarakan di media sosial. Hal tersebut merujuk pada kebijakan negara seperti China yang me-lockdown Wuhan dan beberapa kota atau lockdown total seperti di Italia dan negara Eropa lainnya.
“Lockdown merupakan kebijakan paling ekstrem untuk mencegah penyebaran virus ketika transmisi lokal sudah merebak luas di tengah masyarakat. Kebijakan menutup total wilayah-wilayah terdampak tentu jauh lebih efektif dari sebatas imbauan jaga jarak sosial (social distancing),” katanya kepada merdeka.com, Jumat (20/3).
Dia menilai, pemerintah pusat tampak gamang untuk mengambil opsi lockdown atau tidak. Mengingat konsekuensi dari lockdown sangat berat, karena akan berdampak pada perekonomian. Berbeda dari negara-negara maju, sektor informal mendominasi ekonomi Indonesia dan akan sangat terpukul.
“Demikian pula dengan pekerja di sektor formal, tidak semua perusahaan segera mengambil opsi bekerja dari rumah. Akibatnya, masih banyak pekerja yang memutuskan berangkat ke tempat kerja, karena khawatir pendapatannya dipotong atau tidak dibayar,” jelasnya.
Endang mengingatkan, opsi lockdown juga mensyaratkan ketersediaan bahan pokok dalam jumlah yang memadai. Di banyak tempat aksi borong (panic buying) menyebabkan kelangkaan, dari makanan hingga masker dan hand sanitizer. Untuk itu aparat diharapkan proaktif mencegah aksi borong maupun penimbunan.
“Lebih penting dari itu semua, prioritas menyelamatkan nyawa harus diletakkan di atas segala-galanya. Melonjaknya jumlah kasus, baik positif, orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), hingga korban meninggal membutuhkan fasilitas kesehatan yang memadai,” terangnya.
Langkah pemerintah seperti dilakukan Menteri BUMN Erick Thohir dinilai tepat, dengan mengubah hotel dan aset negara sebagai ruang isolasi darurat. Jangan sampai pasien yang seharusnya diisolasi telantar seperti banyak terjadi saat kejadian luar biasa (KLB) penyakit lain, misal demam berdarah.
Presiden Jokowi tampaknya lebih memilih strategi pemeriksaan massal dengan mendatangkan test kit dalam jumlah besar. Opsi ini bisa menghilangkan kekhawatiran banyaknya kasus yang menjangkit di tengah masyarakat tanpa terdeteksi.
Strategi test massal seperti diambil Korea Selatan juga berhasil menekan angka kematian (fatality rate) akibat pandemi Corona. Saat ini angka kematian wabah Corona di Indonesia sangat tinggi mencapai 8 persen, sementara di Korsel bisa ditekan hingga di bawah 1 persen.
Pemuka Agama Diminta Bantu Pencegahan Penularan Corona
Endang menambahkan, lonjakan kasus juga harus disertai dengan tindakan untuk melandaikan kurva dengan social distancing yang efektif. Di titik ini para pemimpin agama dan ormas keagamaan berperan penting untuk mengajak masyarakat mencegah penyebaran virus.
“Kegiatan-kegiatan keagamaan yang selalu mendatangkan jamaah dalam jumlah besar harus ditunda dulu sementara waktu. Masjid, gereja, dan tempat ibadah lainnya juga harus disterilisasi dengan disinfektan dan ditutup untuk antisipasi berkembangnya virus,” terangnya.
Para pemuka agama diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih baik kepada masyarakat di tengah kuatnya pemahaman irasional dan konspirasi. Pendekatan keagamaan diperlukan, bahwa berserah diri kepada Tuhan harus diimbangi dengan ikhtiar untuk menghindarkan diri dari penyakit.
“Apalagi hampir sebulan lagi bulan Ramadhan akan segera tiba. Diprediksi puncak wabah Corona akan terjadi pada bulan April hingga Mei, ketika masyarakat biasanya akan mudik dalam rangka Lebaran. Pemerintah tidak boleh lagi terlambat untuk mengantisipasi lonjakan kasus dan penyebaran virus,” ujarnya.
Endang mengungkapkan, kebijakan menutup sekolah dan kerja dari rumah disalahartikan sebagai ‘liburan Corona’. Alih-alih berdiam diri di rumah, warga justru berbondong-bondong memenuhi tempat-tempat wisata.
“Strategi mengatasi wabah Corona pun tidak melulu domain pemerintah. Semua pihak termasuk swasta dan masyarakat harus dilibatkan. Inisiatif selebriti dan beberapa lembaga untuk memberikan donasi patut diapresiasi, untuk menambah ketersediaan alat pelindung diri (APD) misalnya,” ujarnya.
Keterbatasan peralatan baik masker atau kebutuhan medis di rumah sakit terjadi di banyak negara karena kejadian pandemi ini. Pemerintah perlu mengajak sektor manufaktur lokal untuk menggenjot produksi dalam negeri jika kesulitan mengimpor dari negara lain yang juga sedang kesulitan.
Perlindungan terhadap tenaga kesehatan sebagai ujung tombak yang berhadapan langsung dengan pasien Corona ketika yang lain memilih diam di rumah perlu dilengkapi dengan APD yang cukup. Demikian pula dengan insentif keuangan agar mereka bisa bekerja maksimal menyelamatkan warga.
“Masyarakat dapat proaktif melakukan penyemprotan disinfektan di lingkungan dan fasilitas publik. Patroli juga bisa dilakukan untuk mengurangi kerumunan, serta pengecekan kondisi warga jika mengalami gejala mirip Covid-19 dan segera membutuhkan pertolongan medis,” tutup Endang. [fik]
Sumber: Merdeka.com, Jumat, 20 Maret 2020
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!