Pengarang: https://news.detik.com

Jakarta – Maarif Institute menyayangkan semakin suburnya penyimpangan pemahaman dan penyalahgunaan ajaran Islam untuk membenarkan kekerasan, ekstremisme, dan  terorisme. Atas dasar itu Maarif Institute mencoba merumuskan Fikih Antiterorisme, seperti apa gambaran ide besarnya?

Dalam menyusun Fikih Antiterorisme itu, Maarif Institute bekerjasama dengan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah dan Universitas Muhammadiyah Semarang menggelar “Halaqah Fikih Antiterorisme” . Acara akan digelar di Semarang, 3-5 Mei 2016.  Pertemuan selama tiga hari ini akan dibuka secara langsung oleh Menko Polhukam Jenderal (Purn) Luhut Binsar Panjaitan dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir pada Selasa (3/5) pagi.

“Tujuan acara ini adalah membahas dan menyusun buku “Fikih Antiterorisme” berdasarkan pandangan para ulama guna membendung bahkan mendelegitimasi narasi-narasi ekstremis yang dianut kelompok-kelompok berideologi teror,” demikian dikemukan Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq kepada wartawan, Senin (2/5/2016).

Maarif Institute  menilai terorisme telah melakukan pembajakan atas nama agama selain mengeksploitasi ketidakadilan yang rentan memicu frustrasi dan kemarahan. Padahal tidak dibenarkan mengancam dan menyebarkan rasa ketakutan apalagi menghilangkan nyawa manusia tanpa proses hukum yang adil kecuali dalam situasi perang. Tafsir atas kitab suci Al Quran telah digunakan secara sewenang-wenang seakan kelompok teror ini bertindak atas nama Tuhan.

“Selama ini kelompok ekstremis dan teroris telah menyalahgunakan konsep-konsep seperti jihad, takfiri, bayat, dan khilafah untuk tujuan kekerasan dan teror yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran luhur Islam sebagai rahmat bagi semesta. Pesan Alquran jelas, membunuh satu nyawa tak berdosa sama harganya dengan merusak alam semesta. Aksi terorisme adalah kejahatan dan juga perbuatan dosa besar. Terorisme tidak identik dengan agama tertentu dan satu kelompok namun negara pun bisa masuk dalam kategori ini,” ungkap Fajar.

Menurut Direktur Program Maarif Institute, Muhd Abdullah Darraz, program “Halaqah Fikih Antiterorisme” dihelat guna melahirkan satu rumusan pemahaman yang lebih utuh dan kritis dalam memaknai ulang doktrin-doktrin kunci yang bersumber dari Alquran dan Hadist.

“Ada kebutuhan sebuah rumusan pandangan keagamaan yang kontekstual, kritis, dan operasional serta memiliki perspektif HAM untuk menyikapi persoalan terorisme kontemporer. Apalagi hal ini telah secara meluas dikampanyekan oleh kelompok ekstremis yang tergabung dalam ISIS. Mereka dengan piawai melakukan kampanye kekerasan melalui berbagai media sosial,” ujar Daraz.

Lebih lanjut Darraz menjelaskan bahwa kegiatan yang direncanakan berlangsung sejak Selasa pagi hingga Kamis ini akan dihadiri sejumlah ulama,  intelektual, perwakilan pemerintah, dan aktivis HAM yang selama ini memiliki perhatian pada isu terorisme. Di antara narasumber yang akan hadir dalam halaqah ini adalah M Busyro Muqoddas (Ketua PP Muhammadiyah), Azyumardi Azra (Cendekiawan Muslim), Komjen Tito Karnavian (Kepala BNPT), Al Yasa Abubakar (Ketua Muhammadiyah Aceh), dan Falahuddin (Ketua Muhammadiyah NTB).

Kehadiran Luhut dan Tito dalam pertemuan para ulama Muhammadiyah ini menarik mengingat sikap kritis Muhammadiyah terhadap kasus kematian Siyono, warga Klaten yang tewas tak lama setelah ditangkap Densus 88. “Mengabaikan peran Muhammadiyah jelas tidak menguntungkan pemerintah, pun memusuhi pemerintah bukanlah cara organisasi ini berdakwah. Kemauan kedua pihak untuk terus berdialog sangat positif, ini kabar buruk bagi pihak-pihak yang ingin membenturkan Muhammadiyah dengan agenda pemerintah memberantas terorisme”, pungkas Fajar.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

nineteen − 7 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.