Penguatan Pendidikan untuk Menjaga Kebinekaan

Oleh: Moh Shofan, Direktur Program MAARIF Institute

DALAM sebuah acara refleksi kebangsaan bertajuk Spirit Guru Bangsa—Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii—dalam Aspek Bernegara Masa Kini yang diselenggarakan Jaringan Gusdurian, Nurcholis Madjid Society, dan Maarif Institute di Djakarta Theater, beberapa waktu lalu, saya—salah satu di antara narasumber lain, seperti Ulil Abshar Abdalla, Alissa Wahid, dan Musdah Mulia—menyampaikan apa yang menjadi kekhawatiran Buya Syafii, yaitu jika kita tidak hati-hati dan gagal mengelola kebinekaan Indonesia yang kaya ini, tidak tertutup kemungkinan bahwa bangsa ini akan masuk museum sejarah pada suatu hari.

Kegelisahan Buya Syafii di atas—dan pada hakikatnya juga menjadi kegelisahan dua sahabat dekatnya: Cak Nur dan Gus Dur—selalu disampaikan berulang-ulang saat melihat ada masalah yang tidak beres di negerinya. Bagi Buya Syafii, di bumi Indonesia, setiap elemen masyarakat dan bangsa harus mendapat perlakuan yang setara tanpa membedakan latar belakang etnik, budaya, atau agama.

Buya Syafii selalu menegaskan pentingnya anak-anak bangsa untuk menjalin persaudaraan, bekerja sama dengan berbagai pihak, baik intra maupun antaragama, untuk membangun Indonesia yang lebih baik di masa depan.

Mengapa anak muda? Karena dalam beberapa tahun terakhir ini, ada kecenderungan sikap intoleran dan segregatif di kalangan anak-anak muda sebagai agen perubahan yang semestinya dapat berperan aktif dalam mempromosikan toleransi agama, toleransi budaya, toleransi politik, serta mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dan hak asasi manusia. Dari sejumlah isu-isu terkait, tampaknya isu toleransi beragama dan toleransi politik yang senantiasa berpotensi menggerus kohesi kebangsaan kita. Persoalan itu merambah pada sendi-sendi kehidupan, tidak terkecuali pendidikan.

Fenomena intoleransi

Sejumlah penelitian mengonfirmasi sikap keterbukaan dan penghargaan terhadap perbedaan, termasuk terhadap kelompok minoritas dan marginal, serta aktor-aktor pendidikan kita masih lemah (PPIM, 2017, 2018; Wahid Institute, 2019). Di ranah pendidikan tinggi, misalnya, sejumlah studi menunjukkan merebaknya ekstremisme di kalangan perguruan tinggi (Setara Institute, 2019); kegiatan keagamaan di lingkungan kampus mendorong tumbuh suburnya pandangan keagamaan yang eksklusif (CISForm, 2018).

Sementara itu, survei yang dilakukan INFID dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) tentang sikap dan pandangan generasi Z dan milenial di Indonesia terhadap toleransi, kebinekaan, dan kebebasan beragama di 18 provinsi pada Agustus–September 2021, menunjukkan siswa dan mahasiswa merasa bahwa pendidikan agama memiliki porsi yang besar dalam memengaruhi mereka agar tidak bergaul dengan pemeluk agama lain.

Di sisi lain, media sosial juga dapat bermanifestasi sebagai media intoleran dan ekspresi radikal. Media sosial menjadi platform utama dalam penyebaran konten yang mengarah pada tindakan intoleransi, termasuk ujaran kebencian dan hoaks (Burhanuddin et al, 2021). Sejak 2015 intolerasi dan radikalisme agama di Indonesia semakin menguat yang ditandai dengan menguatnya narasi-narasi negatif dan ujaran kebencian di media mengenai sentimen primordial keagamaan (George, 2016). Hasil survei yang dilakukan Mastel pada 2019 mengungkapkan hoaks terkait dengan SARA menduduki posisi kedua setelah hoaks mengenai isu politik (Kuntarto et al, 2021).

Tingginya kasus intoleransi di sejumlah instansi pendidikan, maraknya saling hujat di media sosial (medsos) menjadi cermin rendahnya tingkat toleransi masyarakat. Sikap intoleransi itu tidak hanya terjadi pada level masyarakat mayoritas, tetapi juga tumbuh subur pada masyarakat minoritas.

Bahkan, kasus terbaru yang terjadi di kawasan Pasir Putih Kambang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, yakni penelanjangan dan penceburan ke laut terhadap dua perempuan yang diduga sebagai pemandu karaoke—sumber berita lain mengungkap bahwa keduanya hanya pengunjung yang datang bersama teman temannya—menambah rentetan panjang kasus kekerasan terhadap perempuan yang beririsan dengan moralitas keagamaan.

Pandangan keagamaan yang eksklusif, absolutis, merasa paling benar dalam memahami sesuatu, dan melakukan hal yang bertentangan dengan arus utama seolah menjadi kewajaran di lingkungan masyarakat kita.

Benar-benar sebuah kemalangan bahwa di abad ke-21, kita masih harus menyaksikan kekejian seperti ini. Betapa doktrin keagamaan sangat berpotensi menjadi alat legitimasi tindakan kekerasan dan dalam batas yang paling ekstrem ialah berani menempuh jalan ekstrem seperti mengakhiri hidup demi membela ajarannya.

Kekerasan demi kekerasan itu tidak hanya dapat mengganggu kebebasan umat beragama dalam menunaikan ajaran agamanya, tetapi juga dapat mencederai dan menodai sendi-sendi ajaran agama itu sendiri. Keadaan itu pada gilirannya akan menghancurkan hak-hak heterogenitas (keragaman) dan memorak-porandakan kesatuan bangsa.

Berperang atas nama agama, menurut Buya Syafii, ialah sebuah bentuk ‘teologi maut’ yang dapat memonopoli kebenaran terhadap kelompok lain. Cara beragama seperti itu merupakan pengkhianatan terhadap kitab sucinya yang pada hakikatnya berkhianat pada nilai nilai kemanusiaan.

Penguatan pendidikan toleransi dan kebinekaan

Kita berharap akan hadirnya intelektual-intelektual organik dan tokoh-tokoh agama yang berani menyerukan agar tiap-tiap umat beragama memiliki cara beragama yang inklusif, mengajak kembali ke agama autentik, yakni modus keberagamaan yang tidak sekadar bersetia dengan doktrin skriptural yang statis, tetapi juga sebuah iman yang hidup dan menghidupi kemanusiaan universal untuk mewujudkan sistem kehidupan yang berkeadilan, berkesetaraan, dan menciptakan kehidupan yang manusiawi.

Habib Ali al-Jufri, dalam bukunya berjudul Al-Insaniyyah Qabl at-Tadayyun (Kemanusiaan sebelum Keberagamaan) menjelaskan, agama dan kemanusiaan pasti sejalan mengingat misi utama agama ialah kemanusiaan itu sendiri. Agama-agama Tuhan diturunkan dengan misi yang sama, yaitu untuk menjaga dan mengelola alam semesta serta memperbaiki keadaan para penghuninya, terutama umat manusia. Sebuah agama dikatakan agama karena ia memuat seperangkat ajaran (keyakinan) dan perbuatan yang mengantarkan pemeluknya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Orang yang menghormati jati diri setiap agama pasti tidak akan mengatakan semua agama ialah sama. Setiap agama tentu memiliki perbedaan. Setiap agama mempunyai pemahaman dan konsepsi sendiri-sendiri. Seperti dikatakan dalam kaidah ushul: al-ashl fi al-‘ibadah al-ittiba’. Namun, dalam hal yang berkaitan dengan etika dan moral, seperti kasih sayang, toleransi, perdamaian, keadilan, kesetaraan, dan persamaan hak merupakan ajaran yang diutamakan semua agama.

Nilai-nilai tersebut bisa diaplikasikan dalam konteks sosial untuk membangun kebersamaan dan kesepahaman. Dari sini kita berharap semoga masa depan umat manusia bisa lebih menjanjikan bagi datangnya era baru yang sejahtera, damai, dan tanpa prasangka dengan berpijak pada nilai-nilai moral dan spiritual yang mengikat dalam etika global.

Pendidikan toleransi dan kebinekaan yang memiliki prinsip menghargai perbedaan, menyemai keragaman, dan menguatkan nilai-nilai kebangsaan sejatinya menjadi budaya di sekolah. Lembaga pendidikan ialah media yang paling tepat untuk mereparasi mindset seseorang. Guru punya posisi strategis dan punya peran penting dalam pembentukan nilai-nilai, pandangan, serta pemikiran siswa. Sejauh ini para guru agama masih jauh dari memainkan peran itu.

Pendidikan agama yang seharusnya diarahkan menjadi media penyadaran umat, pada kenyataannya sampai saat ini masih memelihara kesan eksklusivitas. Itu sehingga akan tumbuh pemahaman yang tidak inklusif, harmonisasi agama-agama di tengah kehidupan masyarakat tidak dapat terwujud. Kesadaran seperti itu niscaya akan menghasilkan corak paradigma beragama yang rigid dan tidak toleran.

Untuk itu, diperlukan adanya upaya-upaya untuk mengubah paradigma pendidikan yang eksklusif menuju paradigma pendidikan agama yang toleran dan inklusif. Model pengajaran agama yang hanya menekankan kebenaran agamanya mau tidak mau harus ‘dibongkar ulang’. Itu karena cara pemahaman teologi yang eksklusif dan intoleran pada gilirannya akan dapat merusak harmonisasi agama-agama serta menghilangkan sikap untuk saling menghargai kebenaran dari agama lain.

Dalam pendidikan toleransi, guru bisa menggunakan beragam metode: ceramah, diskusi, dan tanya jawab dengan menyajikan gambar-gambar atau video-video terkait dengan permasalahan toleransi, seperti kasus penyegelan, perusakan tempat ibadah, pengusiran terhadap kelompok tertentu yang berbeda keyakinan. Dengan memakai beragam metode dan menyajikan data-data pelanggaran kebebasan beragama, peserta didik akan terlatih dan mampu berpikir secara kritis.

Guru harus punya cara dan kreativitas untuk menanamkan nilai toleransi kepada peserta didik agar bisa menghargai perbedaan pendapat serta tidak mudah terjebak pada perdebatan normativitas dan sakralitas. Dengan demikian, siswa diharapkan mampu untuk melakukan pengamatan serta sikap apa saja yang perlu dikembangkan dalam ruang-ruang kebinekaan.

Dengan memahami kebinekaan sebagai sebuah kenyataan hidup, yakni setiap orang harus berusaha sampai sikap saling memahami satu sama lain, serta memberikan implikasi positif bagi para pemeluk agama untuk saling berlomba melakukan yang terbaik sesuai dengan doktrin ajaran masing-masing, pendidikan toleransi yang merupakan salah satu usaha dalam mewujudkan sustainable development goals (SDGs) yaitu, pendidikan bermutu akan terwujud dengan baik.

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/575346/penguatan-pendidikan-untuk-menjaga-kebinekaan

Dua Dasawarsa Maarif Institute dan Tantangan Era Media

Fenomena ”post truth” dan meredupnya kepakaran seiring munculnya alternatif informasi di ruang publik jadi tantangan berat bagi bangsa. Pada hakikatnya, ini tantangan Maarif Institute juga lembaga-lembaga lainnya.

Pada 28 Februari 2023, Maarif Institute, lembaga yang concernterhadap isu-isu keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan genap memasuki perjalanan dua dekade. Sejak awal berdiri, Maarif Institute secara kultural berkomitmen menjadi salah satu tenda bangsa yang bergerak untuk kerja-kerja kemanusiaan, merawat kebinekaan, mendorong penegakan hak asasi manusia, memperjuangkan kebebasan beragama, mengampanyekan watak dan ciri khas Islam Indonesia sebagai agama rahmatan lil alamin, inklusif, toleran, egaliter dan nondiskriminatif, yang memiliki kesesuaian dengan demokrasi yang berpihak kepada keadilan sosial, sebagaimana dicita-citakan Buya Syafii Maarif.

Apa yang telah dilakukan Maarif Institute selama dua dekade tidak lain merupakan ikhtiar bersama untuk merealisasikan gagasan besar Buya Syafii yang terangkum dalam konsep keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Setelah wafatnya Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bisa dikatakan Buya Syafii merupakan sosok dari sedikit tokoh yang mampu mewarnai diskursus terkait isu-isu kebangsaan, keislaman, dan kemanusiaan.

Baca Juga: Warisan Buya Syafii Maarif untuk Indonesia

Sepanjang perjalanan karier intelektualnya, Buya Syafii tak pernah absen dari ruang-ruang kelas keindonesiaan, keislaman, dan kemanusiaan. Dengan kata lain, Buya Syafii selalu konsisten menyuarakan kebenaran dan keadilan, gigih menyuarakan pengamalan Pancasila secara otentik, menegaskan pentingnya anak-anak bangsa untuk menjalin persaudaraan, bekerja sama dengan berbagai pihak, baik intra maupun antar-agama, menuntun manusia menapaki langkah demi langkah agar mengenali ajaran agama sebagai panggilan kemanusiaan.

Kegelisahannya atas pelbagai persoalan bangsa dan keterlibatannya secara langsung sejalan dengan konsep ”Intelektual Organik” yang digagas Antonio Gramsci. Pada diri Buya Syafii melekat karakter sebagai man of ideasekaligus sebagai man of action.

Matinya kepakaran

Berbeda dengan Cak Nur dan Gus Dur yang lebih dahulu meninggalkan kita, Buya Syafii yang wafat tahun lalu masih mengalami hidup di era teknologi dan keterbukaan informasi di mana masyarakat bisa beropini atau menyuarakan pendapatnya dengan bebas, serta dapat memproduksi berita dan membentuk opini melalui platform media sosial.

Era saat berbagai layanan informasi dan aplikasi internet, baik dari sumber yang jelas maupun anonim, tidak jarang bernada provokatif dan menyesatkan. Namun, anehnya, berita-berita bohong bernada provokatif yang berpotensi memecah-belah umat inilah yang justru banyak diikuti dan dipercaya dibandingkan dengan pandangan pakar.

Orang seperti Buya Syafii yang punya integritas moral yang tinggi bisa menjadi korban bully(perundungan) untuk sikap pilihan berdasarkan prinsip-prinsip kokoh yang dimiliki. Berbagai cacian, hinaan, bahkan sampai hujatan yang tidak pernah dilakukannya pun menjadi makanan harian.

Namun, agaknya, Buya tidak hirau dengan persetujuan atau perlawanan. Yang ia pedulikan adalah orang harus jujur pada hati nuraninya sendiri, bersikap adil kepada siapa pun, termasuk kepada orang yang tidak kita sukai. Hingga di usia senjanya, Buya tak surut dan berhenti menyuarakan kebenaran dan keadilan. Justru volumenya semakin kuat.

Sepeninggal Buya Syafii, Gus Dur, dan Cak Nur, bangsa besar ini tentu membutuhkan otoritas pakar atau figur yang memiliki kepedulian terhadap kaum minoritas yang terpinggirkan, menghadirkan keadilan sosial.

Di era post truth, orang tidak lagi mempercayai fakta-fakta obyektif, tetapi merujuk sesuatu yang didasarkan atas kepercayaan yang tidak didukung fakta. Fenomena post truth dan meredupnya kepakaran seiring menyeruaknya berbagai alternatif informasi di ruang-ruang publik menjadi tantangan berat bagi bangsa—yang pada hakikatnya menjadi tantangan bagi Maarif Institute serta lembaga-lembaga lain yang punya perhatian yang sama terhadap isu-isu kebangsaan, keislaman, dan kemanusiaan.

Sepeninggal Buya Syafii, Gus Dur, dan Cak Nur, bangsa besar ini tentu membutuhkan otoritas pakar atau figur yang memiliki kepedulian terhadap kaum minoritas yang terpinggirkan, menghadirkan keadilan sosial, memperjuangkan hak-hak dan kebutuhan dasar masyarakat yang selama ini tidak tersapa, serta mampu merespons persoalan ekonomi dan politik yang berkembang.

Meredupnya kepakaran sejatinya adalah cerminan perilaku kita saat ini di dunia maya. Adanya kelas sosial baru yang dicirikan dengan kebebalan dan bicara tanpa otoritas keilmuan yang memadai, dialog publik yang tidak memiliki ketelitian intelektual, serta banyaknya orang awam yang mengabaikan fakta, namun berani ’ugal-ugalan’ menyerupai para pakar. Namun, hebatnya, mereka dapat menggerakkan dan membentuk ruang publik kita.

Krisis intelektual organik

Berhadapan dengan kenyataan yang cukup mencemaskan ini, akhirnya kita berharap akan hadirnya intelektual-intelektual organik di negeri ini. Konsep intelektual organik ini sendiri sebenarnya dicetuskan oleh Antonio Gramsci.

Gramsci (1999), menilai bahwa peran intelektual sangat penting sebagai bagian dari suprastruktur. Mereka merupakan suatu kelompok sosial yang otonom dan independen. Dalam dunia suprastruktur, kaum intelektual menampilkan fungsi organisasional dan konektif di dalam wilayah masyarakat sipil.

Figur intelektual organik yang mampu merasakan denyut emosi, semangat, dan apa yang dirasakan oleh kaum papa, serta memihak kepada mereka masih sangatlah langka. Selama ini makna intelektual lebih dipahami secara tradisional yang lekat kaitannya dengan profesi, seperti dosen, guru, ilmuwan, peneliti, dan hanya dipahami sebatas sebagai ’orang yang gemar berwacana tanpa melakukan aksi-aksi nyata’.

Para akademisi di lembaga-lembaga pendidikan bagaikan mesin; memproduksi—jika tak boleh dikatakan ”menghamba”—kepada karya ilmiah, jurnal internasional untuk kepentingan pragmatis kenaikan pangkat dan jabatan. Mereka disibukkan dengan standar sistem penilaian kualitas intelektual yang terlalu administratif dan birokratis dibandingkan menjadi sebagai seorang pemikir yang penuh risiko.

Baca Juga: Identitas dan Pendidikan Berwawasan Kebangsaan

Jika pun mereka memantik kesadaran, itu hanya sebatas berhenti di ruang-ruang kelas, di ruang seminar dan pelatihan, tanpa kemudian mendorong keadaran dan memicu masyarakat luas untuk melakukan aksi-aksi nyata. Kesadaran kritis di ruang-ruang tersebut pada akhirnya menjadi kerupuk dalam ruang terbuka yang lama-lama melempem. Masalah lain yang membuat gerakan-gerakan menjadi tidak masif adalah karena jarak keterhubungan antara intelektual dan masyarakat sangatlah jauh.

Intelektual dalam pengertian tradisional ini biasanya menempati posisi-posisi strategis di ruang lingkup pemerintahan yang secara posisi turut diuntungkan dengan adanya agenda penguasa, misalnya hibah proyek, janji kenaikan pangkat, jaminan tunjangan gaji, dan keuntungan-keuntungan materi lainnya. Maka, tidaklah mengherankan jika di kemudian hari ada akademisi yang turut membenarkan kebijakan-kebijakan bermasalah yang merugikan masyarakat luas, tetapi menguntungkan kelompok oligarki yang sedang berkuasa.

Menurut Robert Brym (1993), intelektual adalah orang-orang yang karena pekerjaannya terutama terlibat dalam produksi ide-ide. Ide-ide ini kemudian membantu pemerintah dalam membangun bangsa. Mereka ini tidak terikat kepada kepentingan tententu, independen dan otonom untuk menyatakan kebenaran, serta mampu mentransformasikan pengetahuan kepada masyarakat sipil sebagai bentuk penyadaran.

Sebagai lembaga yang concernterhadap isu-isu agama dan sosial-kemasyarakatan, Maarif Institute, yang kini menapaki usia yang ke-20 tahun, masih harus bekerja keras lagi untuk merawat keindonesiaan dengan cara membangun kerja sama dengan pihak-pihak tertentu yang mempunyai visi yang sama, terlibat dan bertumbuh kembang dalam permasalahan bangsa, menciptakan solusi serta membangkitkan kesadaran kritis untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan sosial.

Baca Juga: Catatan tentang Keadilan Sosial

Terakhir, ruang publik memiliki peran lebih besar dengan membuka pandangan, bersikap obyektif terhadap suatu permasalahan, menghindari bias informasi, dan menerima masukan dari para pakar. Hal yang tak kalah penting adalah menunda kematian kepakaran hanya mungkin dilakukan jika peran intelektual organik mampu memosisikan diri sebagai pembebas.

Moh Shofan, Direktur Program Maarif Institute

sumber:

https://www.kompas.id/baca/opini/2023/02/26/dua-dasawarsa-maarif-institute-dan-tantangan-era-media

Pilar Kemandirian Muhammadiyah

Abd Rohim Ghazali Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Direktur Eksekutif Maarif Institute

SEJARAH Muhammadiyah ialah sejarah kemandirian. Sejak usia sangat dini, KH Ahmad Dahlan, pendiri organisasi itu, sudah berkorban dengan harta miliknya untuk menggerakkan Muhammadiyah. Wejangannya, hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah, menjadi pedoman siapa pun yang bersedia memimpin Muhammadiyah dari masa ke masa. Yang enggan berkorban sebaiknya tidak menjadi pemimpin Muhammadiyah.

Kalaupun ada bantuan dari pihak lain pada Muhammadiyah, dari pemerintah, misalnya, sifatnya tidak mengikat atau tanpa syarat. Dengan adanya bantuan tidak membuat Muhammadiyah dependen. Karena ada atau tidak adanya bantuan dari pihak lain, Muhammadiyah akan tetap berdiri dan berkiprah memajukan umat dan bangsa.

Pada saat membuka Muktamar Muhammadiyah-Aisyiyah ke-48 di Stadion Manahan Surakarta (Solo), Jawa Tengah, 19 November tahun lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan apresiasi atas kontribusi Muhammadiyah dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa dan mengucapkan terima kasih karena telah membantu penanganan covid-19 pada tiga tahun terakhir.

Kontribusi Muhammadiyah yang diapresiasi presiden tidak mungkin muncul jika organisasi yang berdiri pada 18 November 1912 itu tidak memiliki kemandirian. Mengamati dari dekat atau bahkan terlibat langsung dalam pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah, saya merasakan betul betapa mandirinya Muhammadiyah. Indikasinya bisa dilihat, setidaknya dari dua hal: pertama, pembiayaan muktamar; dan kedua, tidak adanya intervensi dari pihak mana pun (termasuk dari pemerintah) dalam memilih pimpinan

Dari segi pembiayaan, semua ditanggung sendiri. Setiap anggota, peserta, dan penggembira muktamar datang dengan biaya sendiri, baik secara institusional maupun individual. Karenanya, tidak terdengar isu muktamar dibiayai/ditanggung baik oleh si A, si B, maupun oleh kementerian atau BUMN A, B, dan lain-lain.

Yang penting dicatat, setelah selesai muktamar hingga saat ini, tidak ada pimpinan atau panitia yang dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan Agung untuk dimintai keterangan karena terindikasi korupsi atau setidaknya melakukan penyelewengan uang negara karena muktamar tidak menggunakan uang negara. Itu yang pertama.

Yang kedua, dalam proses pemilihan, ada sistem (dengan memilih 13 formatur yang sejak awal sudah diseleksi dari bawah) yang membuat pihak mana pun sulit melakukan intervensi. Terpilihnya (kembali) Haedar Nashir sebagai ketua umum dan Abdul Mu’ti sebagai sekretaris umum, murni berdasarkan kehendak anggota muktamar yang memiliki hak pilih yang tecermin dalam jumlah perolehan suara keduanya.

Tidak ada intervensi dari pihak mana pun, telah membuat Muktamar Muhammadiyah ke-48 berjalan damai, mulus tanpa gejolak, sangat kontras, misalnya, dengan aksi ‘adu jotos’ yang mewarnai Musyawarah Nasional (Munas) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) XVII yang digelar setelah Muktamar Muhammadiyah, 21-23 November 2022, di kota yang sama.

Tiga pilar

Ada tiga pilar yang menopang kemandirian Muhammadiyah, yakni ekonomi, politik, dan sumber daya manusia (SDM). Pertama, pilar ekonomi. Dalam laporan Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2015-2022, keuangan yang beredar di pimpinan pusat saja, dengan menghitung amal usaha yang dikelolanya, jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Untuk keuangan di tingkat wilayah (provinsi), daerah (kabupaten/kota), cabang (kecamatan), dan ranting (desa/kelurahan) yang dilaporkan di tingkat permusyawaratan masing-masing jumlahnya bisa variatif.

Bisa dibayangkan, jika semua aset Muhammadiyah yang–sesuai laporan saat muktamar–terdiri dari 171 perguruan tinggi, 1.364 SMA (sederajat), 1.826 SMP (sederajat), 2.817 SD (sederajat), 20.233 TK/PAUD, 440 pesantren, 355 rumah sakit/klinik, dan 562 panti asuhan, berikut tanah, gedung, dan lain-lain ikut dihitung. Lalu, termasuk tanah wakaf serta aset yang ada di luar negeri, jumlahnya diperkirakan bisa mencapai lebih dari Rp330 triliun. Dengan aset sebanyak ini, Muhammadiyah bisa menjadi organisasi Islam terkaya, tak hanya di Indonesia, mungkin di dunia.

Sayangnya, tidak semua aset itu telah dikelola secara profesional dan sistemis sehingga bisa dimanfaatkan secara lebih optimal dalam memajukan Muhammadiyah khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sebagian aset Muhammadiyah masih dikelola secara konvensional dengan mengandalkan prinsip keikhlasan. Keikhlasan itu baik, tapi jika tidak dibarengi dengan profesionalitas dan akuntabilitas akan menjadi persoalan tersendiri. Meskipun demikian, kekayaan Muhammadiyah ini, diakui ataupun tidak, telah menjadi pilar utama kemandirian Muhammadiyah secara ekonomi.

Kedua, kemandirian ekonomi Muhammadiyah berimplikasi pada kemandirian secara politik. Dalam setiap perhelatan politik seperti pemilu dan pilkada, Muhammadiyah tidak bisa ‘dibeli’ baik oleh parpol maupun kandidat pejabat publik. Bahkan, untuk kandidat yang berasal dari kader/aktivis Muhammadiyah pun tidak bisa memanfaatkan organisasi Muhammadiyah untuk kepentingan politiknya.

Dalam setiap menjelang pemilu, Muhammadiyah biasanya mengeluarkan semacam pedoman politik yang menjadi panduan semua warga Muhammadiyah. Dalam panduan, terdapat sejumlah langkah yang boleh dan tidak boleh dilakukan, termasuk pelarangan pimpinan amal usaha Muhammadiyah untuk menjadi caleg atau tim sukses. Semua amal usaha, seperti sekolah, rumah sakit, panti asuhan, panti jompo, panti rehabilitasi, dan lain-lain dilarang digunakan sebagai fasilitas kampanye.

Ketiga, kemandirian dalam bidang SDM. Hal inilah yang membuat pengelolaan semua amal usaha Muhammadiyah (AUM) dijalankan SDM yang digaji secara profesional. Bisa dari kader Muhammadiyah sendiri, bisa juga dari luar Muhammadiyah. Prinsip tata kelolanya mengacu pada sistem meritokrasi. Demikian juga dengan Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM) yang terdiri atas perusahaan dan lembaga keuangan. Intinya, dalam soal SDM, Muhammadiyah tidak memiliki ketergantungan kepada pihak mana pun.

Namun, harus diakui, dalam hal SDM ini terdapat kerumitan tersendiri manakala para profesional yang dimiliki Muhammadiyah menjadi bagian dari aparatur pemerintah. Pada saat pemerintah membutuhkan, tidak ada pilihan lain bagi Muhammadiyah selain melepaskannya. Inilah yang terjadi pada saat ada ribuan guru Muhammadiyah yang diangkat menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Mereka yang telah lama dididik dan bekerja di sekolah-sekolah Muhammadiyah harus hengkang karena ditempatkan di sekolah-sekolah negeri.

Ini seyogianya menjadi catatan penting bagi pemerintah. Agar tidak merugikan Muhammadiyah, juga organisasi-organisasi yang lain, seharusnya guru-guru yang diangkat menjadi PPPK itu tetap diberi kebebasan untuk berkhidmat di tempat mengajarnya. Di mana pun mereka mengajar, pada hakikatnya mengabdi untuk negara. Karena Muhammadiyah, juga lembaga-lembaga swasta yang lain, ialah bagian dari negara. Kepada lembaga-lembaga ini seharusnya pemerintah membantu atau menyubsidi ketersediaan guru, bukan malah mengambilnya.

Kekuatan penyeimbang pemerintah

Dalam setiap negara, dibutuhkan satu mekanisme yang secara sistemis bisa mengatur agar negara tetap survive dan mampu meraih cita-cita yang diimpikannya. Sebagai negara, Indonesia memiliki tujuan mulia sebagaimana tercantum dalam pembukaan konstitusi (pembukaan UUD NRI 1945), yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Untuk mencapai cita-cita tersebut, dalam menjalankan pemerintahan, Indonesia menganut sistem demokrasi yang membagi kekuasaan menjadi tiga, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sistem pembagian kekuasaan itu pertama kali dikemukakan filsuf Inggris John Locke (1632-1704) yang kemudian dikembangkan pemikir Prancis Mostesquieu (1689-1755) menjadi trias politika yang diimplementasikan seperti pembagian kekuasaan yang ada di Indonesia saat ini.

Dalam praktik, trias politika tak selalu berjalan sesuai dengan harapan. Masalah yang muncul biasanya kekuasaan eksekutif terlalu dominan sehingga memandulkan dua kekuasaan yang lain, legislatif dan yudikatif. Dominannya kekuatan eksekutif akan menjadikan kekuasaan yudikatif cenderung terkooptasi dan kekuatan legislatif yang seharusnya menjalankan fungsi kontrol terhadap eksekutif, justru menjadi pendukung yang melegitimasi kebijakan-kebijakan eksekutif. Kondisi semacam itu pernah dialami Indonesia pada era Orde Baru

Setelah Orde Baru tumbang, terjadi penataan sistem politik secara menyeluruh. Tiga cabang kekuasaan berjalan relatif lebih baik dan indeks demokrasi Indonesia juga membaik, dari negara nondemokratis menjadi negara demokratis meskipun masih jauh dari sempurna.

Yang amat disayangkan, kualitas demokrasi Indonesia tidak kunjung naik kelas, stagnan atau bahkan cenderung mengalami penurunan. Salah satu indikatornya ialah melemahnya fungsi kontrol lembaga legislatif. Sebagaimana disinyalir Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta, Paryanto, dalam rubrik Opini Media Indonesia (11/01/2023) bahwa kekuatan legislatif saat ini memiliki kecenderungan kembali sebagai rubber stamp (tukang stempel), sebagaimana yang terjadi pada era Ode Baru.

Dalam situasi politik semacam itu, meskipun bukan sebagai kekuatan politik formal, kemandirian Muhammadiyah bisa menjadi kekuatan penyeimbang yang berada di luar pemerintah. Mandulnya fungsi kontrol lembaga legislatif, sebagai akibat dari koalisi jumbo partai-partai politik pendukung pemerintah, membuat fungsi penyeimbang beralih pada kekuatan masyarakat sipil yang terdiri atas lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi (kampus), kelompok penekan (pressure groups), media massa, dan organisasi kemasyarakatan (Ormas). Hal itu sesuai dengan pendapat Alexis de Tocqueville (1805-1859) yang memandang masyarakat sipil sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara.

Namun, dengan kekuatan minimalis, LSM pun tidak cukup kuat untuk menjadi lembaga yang mampu mengontrol jalannya pemerintahan, kecuali pada kasus-kasus kebijakan parsial. Begitu juga akademisi (kampus) karena terlampau sibuk dengan urusan akreditasi kelembagaan dan upaya memenuhi tuntutan menulis dalam jurnal ilmiah (sinta atau scopus), baik berstandar nasional maupun internasional, tidak sempat lagi membuat kajian mendalam yang bisa mengevaluasi kebijakan pemerintah.

Untuk itu, satu-satunya harapan itu ada pada ormas, tentu dengan catatan yang memiliki kemandirian. Kemandirian Muhammadiyah secara ekonomi, politik, dan SDM patut menjadi pelajaran bagi siapa pun (baik individu maupun organisasi). Dengan kemandiriannya, Muhammadiyah mampu berperan sebagai penyeimbang pemerintah yang konstruktif dengan cara tidak asal mengkritik (nyinyir) dan tidak asal mendukung (tanpa reserve).

Kritik-kritik Muhammadiyah terhadap pemerintah senantiasa dilandasi dengan argumentasi yang memadai karena didahului dengan rapat/rembukan yang menghadirkan para ahli di bidangnya. Jika ada kritik yang kurang argumentatif, bisa dipastikan berasal dari individu yang mungkin saja aktivis atau bahkan pimpinan Muhammadiyah, tetapi kritik yang dilontarkan sejatinya tidak mewakili Muhammadiyah secara kelembagaan.

Kekuatan kritik itu selain karena didasarkan pada argumentasi, karena kemandirian. Jika Muhammadiyah selalu berharap pada bantuan pemerintah atau memiliki ketergantungan pada pemerintah, tidak mungkin bisa mengritik. Ormas yang rajin meminta bantuan pada pemerintah atau memiliki ketergantungan pada pemerintah, alih-alih menjadi penyeimbang, malah menjadi kuasi pemerintah.

Sumber: https://m.mediaindonesia.com/opini/556520/pilar-kemandirian-muhammadiyah

Serangan Umum 1 Maret 1949

Sebenarnya SU ini juga untuk menebus perasaan hina akibat jatuhnya ibu kota negara Yogyakarta pada 19 Desember 1948 yang sangat memalukan itu.

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

Masih banyak peristiwa sejarah Indonesia modern yang belum tuntas dijelaskan. Salah satunya adalah SU (Serangan Umum) 1 Maret 1949, sebuah serbuan heroik besar-besaran atas ibu kota negara Yogyakarta yang menggentarkan pihak penjajah dan dunia internasional.

Saat itu Panglima Besar Sudirman dalam keadaan sakit masih sedang memimpin perang gerilya di Jawa dan Sjafruddin Prawiranegara memimpin gerilya di Sumatra. Sekalipun ibu kota negara itu sempat diduduki oleh pasukan republik hanya setengah hari, resonansinya amatlah dahsyat dalam mengobarkan semangat juang, demi kemerdekaan bangsa yang sedang dipertaruhkan.

Sebenarnya SU ini juga untuk menebus perasaan hina akibat jatuhnya ibu kota negara Yogyakarta pada 19 Desember 1948 yang sangat memalukan itu. Sejak itu timbullah tekad dari TNI untuk juga mempermalukan Belanda dengan SU itu.

Perencanaannya sudah dimulai sebelumnya dengan pengetahuan Panglima Besar Sudirman yang sedang bergerilya. SU ini memang diperkirakan tidak akan lama berlangsung karena pasukan musuh di Magelang, Solo, dan Semarang masih belum bisa ditandingi yang pasti akan memperkuat pertahanannya di Yogyakarta yang sempat jebol itu.

Tetapi setidak-tidaknya dengan SU ini dunia akan tahu bahwa TNI masih ada dan RI belum terkalahkan, sekalipun ibu kota sudah angkat bendera putih. Apalagi di Sumatra, PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) masih memegang kedaulatan negara secara sah dan para pemimpinnya tidak pernah tertangkap, berkat seni gerilya yang mereka kembangkan dengan semangat jihad yang sangat tinggi.

Sebenarnya SU ini juga untuk menebus perasaan hina akibat jatuhnya ibu kota negara Yogyakarta pada 19 Desember 1948 yang sangat memalukan itu.

Nama-nama yang terkait langsung atau tidak langsung dengan SU banyak sekali: Panglima Besar Sudirman, Kolonel TB Simatupang, Kolonel AH Nasution, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Gubernur sipil Mr KRMT Wongsonegoro, Kolonel Bambang Sugeng, Kolonel Gatot Subroto, Kolonel Wijono, Letkol Suharto, Letkol M Bachrun, Letkol Achmad Yani, Letkol Sarbini Martodihardjo, Letkol Dr Wiliater Hutagalung, Mayor Ventje Sumual, Mayor Sardjono, Mayor Kusno, Letnan Amir Murtono, Letnan Masduki, Letnan Marsudi, dan masih ada yang lain.

Letkol Suharto sebagai komandan Briagade 10/Wehrkreise III adalah pimpinan lapangan SU ini. Sekalipun sebagian besar para pelaku SU itu dari etnis Jawa, etnis Batak dan Manado telah menyatu di situ.

Artinya, semangat Sumpah Pemuda 1928 telah mempertemukan berbagai etnis itu, demi menjaga kelangsungan kemerdekaan bangsa yang terancam oleh musuh. Afiliasi agama tidak menonjol. Semuanya bahu membahu dan bersatu padu.

Mengapa harus Yogyakarta yang harus diserang? Alasannya tidak terlalu sulit untuk dikemukakan: Pertama, Yogyakarta adalah ibu kota negara yang sedang dikuasai Belanda; kedua, banyak wartawan asing berada di kota ini; ketiga, anggota delegasi UNCI (United Nations Commission for Indonesia) juga berada di kota ini.

SU adalah kejutan mendadak yang sangat mengagetkan Belanda, sekalipun setelah enam jam dapat dikuasainya kembali. Dengan SU ini, Belanda akhirnya mau berunding kembali setelah sebelumnya dengan pongah sudah merasa menang. SU telah meruntuhkan moral Belanda. Ini diketahui oleh publik dunia.

Sekalipun sebagian besar para pelaku SU itu dari etnis Jawa, etnis Batak dan Manado telah menyatu di situ.

Siapa sebenarnya inisiator SU ini? Ada yang menyebut Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sedangkan pelaksana di lapangan adalah Letkol Suharto. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa baik inisiator mau pun pelaksana SU adalah Letkol Suharto, sebuah kesimpulan yang mengada-ada.

Dalam bacaan saya, SU adalah kerja kolektif dalam keadaan sulit dengan semangat juang yang kuat untuk menebus penghinaan kolonial. Kolonel Bambang Sugeng sebagai Panglima Divisi III/GM III sebelumnya telah memerintahkan rencana serangan SU itu.

Dengan demikian, klaim inisitor seseorang kemudian jelas tidak punya bukti yang kuat. Karena itu harus ditolak. Tugas sejarawan adalah mendudukkan sebuah peristiwa, peran tokoh, dan sebagainya pada tempat yang tepat dan benar, berdasarkan fakta yang tersedia.

Nama yang agak jarang disebut, sekalipun seorang Pahlawan Nasional adalah Letkol Dr Wiliater Hutagalung (20 Maret 1910-29 April 2002), seorang dokter ahli paru yang turut merawat Jenderal Sudirman. Hutagalung dan keluarganya setelah turun gunung kemudian menempati pavilion rumah Pangsar Sudirman di Jalan Widoro No 10, Yogyakarta.

Semasa gerilya, Hutagalung yang menjadi penasihat Gubernur Militer III telah menyampaikan gagasan brilian yang telah disetujui oleh Jenderal Sudirman. Pertama, serangan dilakukan serentak di seluruh wilayah Divisi III yang melibatkan Wehrkreise I, II, dan III.

Kedua, mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III. Ketiga, mengadakan serangan terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III. Keempat, harus berkoordinasi dengan Divisi II agar mendapatkan efek yang lebih besar. Kelima, serangan tersebut harus diketahui dunia internasional.

Dalam bacaan saya, SU adalah kerja kolektif dalam keadaan sulit dengan semangat juang yang kuat untuk menebus penghinaan kolonial.

Untuk itu perlu mendapat dukungan dari Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio AURI dan Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan. (Lih. Wikipedia Serangan Umum 1 Maret 1949, https:id.m.wikipedia.org).

Hutagalung adalah penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima Divisi II Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng yang sekaligus menjadi atasan Letkol Suharto. Maka tidaklah salah jika orang menyimpulkan bahwa otak yang menyusun grand design SU itu adalah Letkol Dr Wiliater Hutagalung yang ikut pula dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Dengan fakta di atas, kita akan sulit menentukan peranan siapa yang terbesar dalam SU itu. Oleh sebab itu, marilah kita bersikap rendah hati dengan tidak membesar-besarkan peran tokoh yang kita sukai dan mengecilkan peran orang yang kurang kita sukai.

Prinsip ini pernah diteorikan oleh Ibn Khaldun beberapa abad yang silam. SU bukan satu-satunya serangan heroik yang dilakukan pihak Indonesia menghajar Belanda.

Jauh sebelum itu, kita juga kenal pertempuran hebat di Medan, Oktober 1945; Pertempuran November di Surabaya, 1945; pertempuran Palagan, Desember 1945; Bandung Lautan Api, April 1946; Perang Puputan Margarana Bali, Nopember 1946; Pertempuran Palembang, Januari 1947. Tetapi bahwa SU 1 Maret itu terasa lebih penting karena Yogyakarta adalah ibu kota negara yang dikuasai Belanda.

Jenderal Soedirman yang Legendaris (II)

Rakyat Jepang sangat menghormati Jenderal Soedirman sehingga patungnya dibangun di halaman kantor Kementerian Pertahanan.

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

Di antara prestasi kemiliterannya sebelum pertempuran Palagan, dapat pula ia dicatat sebagai komandan yang berhasil melucuti senjata pasukan Jepang dalam jumlah besar di wilayah Banyumas, tanpa harus menumpahkan darah.

Rakyat Jepang sangat menghormati Jenderal Soedirman sehingga patungnya setinggi empat meter dibangun di halaman kantor Kementerian Pertahanan negara itu. Patung ini diresmikan pada 14 Januari 2011. Ini satu-satunya patung pahlawan dari negara asing yang dibangun di Negeri Sakura itu.

Soedirman diangkat menjadi panglima besar TKR oleh Presiden Sukarno pada 18 Desember 1945, pada usia sangat belia berdasarkan prestasi gemilangnya dalam pertempuran Palagan.

Sekalipun dalam memimpin perang gerilya selama agresi Belanda kedua pada Desember 1948-Juli 1949 secara fisik dalam keadaan sakit berat yang harus ditandu prajurit Indonesia, Soedirman tak kenal menyerah.

Presiden Sukarno pernah memintanya berobat di rumah sakit, tetapi Soedirman memilih bergerilya bersama anak buahnya di wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur. Kemudian pada Juli 1949, ia kembali ke Yogyakarta setelah perang usai.

Presiden Sukarno pernah memintanya berobat di rumah sakit, tetapi Soedirman memilih bergerilya bersama anak buahnya di wilayah Yogyakarta.

Penyakit paru-paru mulai terpantau pada Mei 1948. Semakin lama semakin parah. Itulah sebabnya Jenderal Soedirman tak bisa langsung memimpin pasukan untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun, September 1948.

Sebelum kita lanjutkan perjuangan heroik Soedirman ini, ada baiknya kita surut ke belakang dengan menambahkan keterangan tentang masa kecil sosok istimewa ini. Sekalipun telah banyak ditulis orang, ingatan kolektif kita umumnya lebih tertuju pada prestasi kemiliteran dan drama gerilyanya yang mengharukan.

Karena drama ini demikian mengesankan, kita sering melupakan perjuangan gerilya PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) pimpinan Sjafruddin Prawiranegra di Sumatra, yang tidak kurang dramatisnya.

Soedirman dan Sjafruddin, dua pemimpin gerilya yang setanding, satu di Jawa yang lain di Sumatra, dalam waktu bersamaan. Dalam menghadapi sistem penjajahan, kedua tokoh bersikap sama.

Soedirman dan Sjafruddin, dua pemimpin gerilya yang setanding, satu di Jawa yang lain di Sumatra, dalam waktu bersamaan.

Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiradji dan Siyem di Desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Sejak bayi, Soedirman diambil sebagai anak angkat oleh pamannya, R Tjokrusunarjo, asisten wedana di Rembang.

Di samping pamannya ini tak punya keturunan, ada pertimbangan lain Soediman harus dipungutnya, yaitu alasan ekonomi orang tua tokoh kita ini yang sangat sederhana. Diharapkan, Soedirman kecil tak patah di tengah jalan dalam pendidikannya.

Dengan bimbingan sang paman, Soedirman menamatkan HIS (Hollandsch Inlandsche School/SD zaman Belanda untuk anak negeri) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/Sekolah Menengah masa penjajahan dengan kata pengantar bahasa Belanda), masing-masing pada 1930 dan 1935.

Dengan latar belakang pendidikan ini, Soedirman kecil telah dikenalkan kepada sistem pendidikan Barat modern. Sampai batas tertentu, Soedirman tentu kenal kultur Belanda sebagai kultur penjajah.

Sampai batas tertentu, Soedirman tentu kenal kultur Belanda sebagai kultur penjajah.

Pengetahuan ini turut membentuk karakter Soedirman dewasa yang sangat antipenjajahan Belanda yang licik dan licin, sebagaimana akan dibicarakan saat membaca perbedaan paham antara Presiden Sukarno dan Jenderal Soedirman pada Desember 1948.

Perbedaan ini membuat Soedirman menulis surat untuk berhenti dari tentara, tetapi Presiden Sukarno menolaknya. Telah kita bicarakan, pertempuran Palagan meroketkan nama Jenderal Soedirman sebagai tokoh militer papan atas.

Umumnya, elite sipil dan militer sepakat tentang sosok Soedirman untuk dijadikan panglima besar TKR, kemudian panglima besar TNI, dengan basis TNI-AD.

Pengalaman Soedirman selama di HW dan Pemuda Muhammadiyah, di samping pendidikannya di Perguruan Taman Siswa, memperkaya dan mempertebal disiplin dan kejujuran sang jenderal.

Tentu latihan militer selama di Peta (Pembela Tanah Air) buatan Jepang itu, menjadi sangat krusial bagi Soedirman dalam mata rantai kariernya sebagai tentara-pejuang Indonesia yang fenomenal, sekalipun berasal dari pasangan orang tua rakyat kecil di perdesaan.

Bayangkan, dalam usia 31 tahun, Jenderal Soedirman dipercaya menjadi pemimpin tertinggi angkatan perang sebuah bangsa yang baru merdeka, tetapi masih saja berada di bawah ancaman mantan penjajah yang tak sadar tentang tiupan dahsyat angin kemerdekaan di Asia dan di Afrika pasca-PD (Perang Dunia) II.

Dalam usia 31 tahun, Jenderal Soedirman dipercaya menjadi pemimpin tertinggi angkatan perang sebuah bangsa yang baru merdeka.

Soedirman muda sedang berada dalam pusaran tiupan angin kemerdekaan yang tak mungkin dilawan itu. Belanda amat disayangkan masih saja mengidap mentalitas kolonialisme yang lapuk dan busuk.

Perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan Jenderal Soedirman sebagai salah seorang pemimpin puncaknya, bertugas menghancurkan mentalitas lapuk ini, sekalipun ternyata juga tidak mudah.

Diperlukan waktu empat tahun untuk membuktikan kepada dunia bahwa cita-cita Indonesia merdeka adalah tuntutan mutlak sejarah, yang tak mungkin dipatahkan. Apa yang dikenal dengan ‘semangat 1945’, terwakili dengan hampir sempurna pada pribadi Soedirman. Tak semua jenderal AD mampu mempertahankan ‘semangat 1945’ itu.

Jenderal Soedirman yang Legendaris (I)

Siapa tak akan bergetar hatinya membaca perjalanan militer heroik dari seorang Jenderal Soediman.

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

Bagi saya, Januari adalah bulan Soedirman. Di bulan inilah, tokoh legendaris ini lahir dan di bulan ini pulalah dia wafat. Dalam artikel ini, legendaris berarti menakjubkan, istimewa, dan mengundang rasa hormat mendalam.

Siapa tak akan bergetar hatinya membaca perjalanan militer heroik dari seorang Jenderal Soediman (24 Januari 1916–29 Januari 1950) selama perang mempertahankan kemerdekaan bangsa yang sedang diancam musuh?

Sosok yang pernah dilatih dalam kepanduan Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah, baik masih di Cilacap maupun saat melanjutkan sekolah di HIK (Hollandse Indische Kweekschool/Sekolah Guru Bantu) Muhammadiyah Solo ini memang manusia langka.

Dengan pangkat tinggi yang disandangnya, hidupnya tetap sederhana. Soedirman adalah manusia teladan dalam makna sebenarnya. Sekolah HIK tak sempat diselesaikannya karena kesulitan ekonomi. Kemudian, Soedirman kembali ke Cilacap untuk jadi guru SR Muhammadiyah.

Jalan hidupnya yang lurus, disiplin yang tinggi, keberanian, dan kecermatan membaca peta medan perang adalah di antara kualitas yang menyatu dengan pribadi Soedirman, sosok kelahiran Purbalingga ini.

Jalan hidupnya yang lurus, disiplin yang tinggi, keberanian, dan kecermatan membaca peta medan perang adalah di antara kualitas yang menyatu dengan pribadi Soedirman.

Kemenangan dalam pertempuran di Palagan, Ambarawa, mengangkat nama Kol Soedirman ke langit tinggi perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Untuk sekadar menyegarkan ingatan kita tentang pertempuran Palagan ini, sketsa ringkas berikut ini mungkin bisa menolong kita berdasarkan sumber http://id.m.wikipedia.org.

Jika pihak sekutu menaati janji dengan Gubernur Jawa Tengah Mr Wongsonegoro untuk tidak mengganggu RI, pertempuran Palagan tidak perlu meledak.

Kejadiannya begini. Pada 20 Oktober 1945, pasukan sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang untuk mengurus tawanan tentara Jepang di Jawa Tengah.

Entah ada perjanjian atau tidak, tiba-tiba pasukan NICA (Netherland Indies Civil Administration) memboncengi tentara sekutu dengan maksud melumpuhkan hak hidup Indonesia merdeka.

Kelicikan mereka terlihat saat pasukan sekutu dan NICA sampai di Ambarawa dan Magelang dalam rangka membebaskan tawanan tentara Belanda, justru yang berlaku adalah para tawanan itu dipersenjatai.

Ini jelas perbuatan gila. TKR (Tentara Keamanan Rakyat) menjadi marah, maka terjadilah kontak senjata semula di Magelang, kemudian meluas ke kota-kota lain. Di Magelang, pihak sekutu jelas sekali berpihak pada Belanda dengan mencoba melucuti TKR di bawah komandan Letkol M Sarbini.

Pasukan Sarbini membalas provokasi tersebut melalui pengepungan pasukan sekutu dari segala penjuru. Hanyalah berkat campur tangan Presiden Sukarno untuk menenangkan situasi, sehingga tentara sekutu bisa meninggalkan Magelang menuju ke benteng Ambarawa.

Letkol Sarbini terus mengejar mereka yang tertahan di Desa Jambu karena diadang pasukan Angkatan Muda pimpinan Oni Sastrodihardjo. Tentara sekutu kembali diadang Batalyon I pimpinan Letkol Soejosoempeno di Desa Ngipik.

Saat mundur ini, pasukan sekutu menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. TKR di bawah pimpinan Letkol Isdiman berusaha membebaskan dua desa ini tetapi perwira ini gugur dalam menjalankan tugasnya.

Mengetahui perwira andalan ini telah tewas, Kol Soedirman, komandan Divisi V Banyumas cepat bergerak ke Ambarawa.

Mengetahui perwira andalan ini telah tewas, Kol Soedirman, komandan Divisi V Banyumas cepat bergerak ke Ambarawa. Kedatangan Soedirman ini memberikan semangat baru kepada tentara Indonesia. Segera dilakukan koordinasi.

Bala bantuan juga berdatangan dari Yogyakarta, Surakarta, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan kota lain. Karena merasa semakin terdesak, pasukan sekutu malah mengerahkan tawanan-tawanan Jepang untuk menggempur TKR yang kemudian harus pindah ke Bedono.

Situasi medan selama berpekan-pekan panas dan kritikal sekali. Pada 11 Desember 1945 Kol Soedirman mengatur strategi perang bersama para komandan sektor TKR dan kelompok-kelompok laskar. Pada 12 Desember 1945, pukul 04.30 Subuh serangan mulai dilancarkan.

Maka berkobarlah pertempuran sengit di Ambarawa yang langsung dipimpin Kol Soedirman. Musuh terjepit. Setelah bertempur selama empat hari, pada 15 Desember 1945 perang berhenti dan pasukan Soedirman berhasil merebut Ambarawa, musuh mundur ke Semarang.

Selama pertempuran ini, korban di pihak Indonesia cukup tinggi, yaitu 2.000 tewas, pihak sekutu 100 tewas dan 75 dieksekusi.

Pemenuhan Hak-hak Disabilitas dalam Islam

“Carilah untuk-ku orang-orang yang lemah di antara kalian. Karena kalian diberi rejeki dan kemenangan karena membantu orang-orang yang lemah di antara kalian.” (HR. Abu Dawud)

“Kalian diberi kemenangan dan rejeki karena membantu orang-orang yang lemah di antara kalian.” (HR. Bukhari)

 

Penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia, sudah sepantasnya penyandang disabilitas mendapatkan perhatian khusus karena selama ini dirasakan adanya kesulitan yang dihadapi penyandang disabilitas dalam mengakses dan menikmati haknya sebagai warga negara. Hal ini dapat menghambat perwujudan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi.

Menurut data yang dihimpun oleh Kemensos melalui Sistem Informasi Manajemen Penyandang Disabilitas (SIMPD), hingga tanggal 13 Januari 2021, jumlah penyandang disabilitas yang terdata sejumlah 209.604 individu. Angka ini jauh lebih kecil dari perkiraan WHO yang memprediksi bahwa jumlah penyandang disabilitas di setiap negara  diprediksi mencapai  15% dari jumlah  penduduk. Bila jumlah penduduk  Indonesia 237.641.326 jiwa, maka menurut perkiraan WHO-PBB jumlah penyandang disabilitas di Indonesia menjadi setara dengan 35 juta jiwa.

Penyandang disabilitas di Indonesia masih mendapatkan perlakuan diskriminatif. Mereka mengalami hambatan dalam mengakses layanan umum, seperti akses dalam layanan pendidikan, kesehatan, maupun dalam hal ketenagakerjaan. Dalam kehidupan beragama, kekurangan akses dan fasilitas yang berpihak pada penyandang disabilitas juga perlu menjadi perhatian kita semua. Di sinilah pentingnya menyusun konsep utuh tentang fikih yang ramah terhadap penyandang disabilitas. Selain memberikan dasar teologis keberpihakan Islam terhadap mereka, juga memberikan panduan bagi mereka untuk melakukan ibadah sesuai dengan kondisi dan kemampuannya.

Sebagian besar masyarakat menganggap disabilitas adalah takdir dari Tuhan. Tuhan yang menentukan apakah seseorang memiliki keterbatasan atau tidak. Manusia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah menjalaninya. Sebagian beranggapan bahwa disabilitas adalah aib atau bahkan kutukan.

Terhadap kelompok disabilitas, orang yang memiliki cara pandang ini akan meminta agar mereka bersabar dan berdoa semoga diberi kekuatan di tengah berbagai keterbatasan mereka. Sementara, terhadap masyarakat, mereka meminta agar masyarakat menyantuni mereka karena mereka memang dianggap memiliki keterbatasan. Menyantuni kelompok-kelompok disabilitas adalah kebajikan.

Cara pandang inilah yang melahirkan stigma terhadap penyandang disabilitas. Beberapa bentuk stigma terhadap kaum disabilitas adalah bahwa mereka  kelompok yang lemah, tidak berdaya, tidak memiliki kemampuan, tidak dapat berbuat sesuatu yang berarti, tidak beruntung, sakit, tidak normal, tidak lengkap, dan sejenisnya.

Stigma ini biasanya diikuti dengan berbagai bentuk diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas. Diskriminasi ini tidak hanya dalam fasilitas-fasilitas publik yang tidak memberi akses yang memadai bagi penyandang disabilitas, tetapi terutama akses informasi, pendidikan, dan pekerjaan.

Cara pandang seperti ini harus diperbaiki, bahwa disabilitas bukan hanya soal takdir, juga bukan semata-mata fenomena manusiawi. Disabilitas adalah konstruksi sosial-politik. Oleh karena itu, tanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak disabilitas tidak hanya dipikul oleh penyandang disabilitas sendiri dan keluarganya, tetapi juga tanggung jawab masyarakat, ormas dan terutama negara (pemerintah). Dengan cara pandang ini, maka membangun situasi sosial yang ramah disabilitas adalah kewajiban, bukan sekadar kebaikan. Inilah yang diamanatkan dalam UU no. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Namun, hingga saat ini, layanan dan fasilitas publik yang ramah disabilitas masih sangat terbatas. Layanan pendidikan dan kesehatan sebagai kebutuhan dasar setiap manusia juga masih jauh dari harapan. Banyak pengalaman penyandang disabilitas yang memprihatinkan ketika berobat. Sementara lembaga pendidikan pada umumnya masih sangat sedikit yang mampu mengakomodasi dan memberi kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk bisa mendapat pendidikan sebagaimana layanya anak-anak didik lainnya.

Hambatan kalangan disabilitas dalam melaksanakan hak-hak keagamaan nyaris tidak kalah seriusnya. Tempat-tempat ibadah misalnya masjid, nyaris tidak ada yang aksesible terhadap disabilitas. Hambatan kelompok disabilitas di bidang keagamaan tidak terbatas pada aspek-aspek ibadah, tetapi juga aspek-aspek lain. Beberapa aspek lain dari bidang keagamaan antara lain:

Pertama, terbatasnya bahan bacaan keagamaan (Qur’an, hadits, fiqh, dst) untuk kaum disabilitas untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama. Keterbatasan bahan-bahan bacaan ini terutama untuk tuna netra tentu membuat akses mereka untuk bisa memperoleh pengetahuan agama secara mandiri menjadi sangat terbatas.

Kedua, terbatasnya da’i dan ustadz dari kalangan disabilitas. Ini menjadi persoalan karena para da’i dan ustadz yang ada sekarang tidak sepenuhnya punya perspektif yang ramah disabilitas. Akibatnya, kalangan disabilitas seringkali merasa tidak nyaman dengan ustadz-ustadz atau da’i yang tidak memiliki sensitivitas terhadap disabilitas.

Ketiga, majlis ta’lim atau kegiatan-kegiatan keagamaan tidak assesible terhadap kalangan disabilitas. Disamping tempat penyelenggaraan kegiatan-kegiataan keagamaan tersebut kurang  aksesible, jamaah sendiri seringkali punya stigma atau prasangka negative terhadap kelompok disabilitas, sehingga mereka juga tidak merasa enjoy berada di tempat pengajian. Belum lagi penceramahnya jarang yang punya sensitivitas terhadap kelompok disabilitas.

Keempat, sebagian besar penyandang disabilitas tidak memiliki pemahaman keagamaan yang memadai. Ini bisa dimaklumi karena akses untuk memperoleh pengetahuan agama sangat terbatas. Akses untuk ini hanya bisa dipenuhi oleh keluarga, itu pun jika keluarganya memiliki pengetahuan agama yang memadai dan punya waktu yang cukup untuk mengajari.

Kelima, problem disabilitas muslimah. Ini lebih rumit lagi karena perempuan memiliki masalah yang lebih kompleks dari laki-laki. Sehingga mereka memiliki hambatan dan kesulitan yang jauh lebih sulit ketimbang kelompok disabilitas laki-laki.

Islam tak memandang penyandang disabilitas itu secara negatif. Islam memandang hal itu sebagai ujian. Pertama, ujian bagi yang penyandang disabilitas, apakah yang bersangkutan bisa sabar atau tidak. Kedua, juga ujian bagi pihak lain, apakah mereka memiliki kepedulian pada penyandang disabilitas atau tidak. Bahkan, dalam perspektif Islam, orang-orang dengan sejumlah keterbatasan itu dinilai sebagai sumber kekuatan. Rasulullah Saw bersabda:

“Carilah untuk-ku orang-orang yang lemah di antara kalian. Karena kalian diberi rejeki  dan kemenangan karena membantu orang-orang yang lemah di antara kalian”. (HR. Abu Dawud)

“Kalian diberi kemenangan dan rejeki karena membantu orang-orang yang lemah di antara kalian”. (HR. Bukhari)

Terlebih mereka menyandang disabilitas bukan atas kehendak mereka sendiri. Karena itu, dalam perspektif Islam, menghargai penyandang disabilitas adalah menghargai ciptaan Allah. Mereka punya hak untuk dihormati dan dihargai sebagaimana manusia pada umumnya. Artinya, seperti manusia lain, penyandang disabilitas juga memiliki karamah insaniyah (martabat kemanusiaan). Allah berfirman dalam al-Qur’an:

“Dan sungguh Kami muliakan anak cucu Adam.” (QS Al-Isro’, 70)

Karena penyandang disabilitas tetap diwajibkan menjalankan syari’at Islam, maka negara punya kewajiban bukan hanya membuat kebijakan melainkan juga menyediakan fasilitas publik yang ramah terhadap penyandang disabilitas. Kepala negara bertanggung jawab atas warga negaranya. Rasulullah SAW bersabda:

“Kepala Negara harus bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Dan dia akan dimintai pertanggung jawaban.” (HR. Bukhari)

Dari hadits inilah lahir kaidah ushul fiqh yang sangat populer: tasharruful ilam ala al-ra’iyah manuthun bil mashlahah. Kebijakan pemimpin (kepala negara) terhadap rakyat harus berorientasi pada kemaslahatan, tentu saja termasuk kemaslahatan penyandang disabilitas.

 

Ust. Masykurudin Hafidz, direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta.

 

e-Buletin Jumat edisi 48, tanggal 31 Desember 2021 M. / 27 Jumadil Awal 1443 H., dapat diunduh disini

 

Beban Bumi Semakin Berat

Kehidupan di bumi adalah sebuah drama dahsyat yang tidak mudah dipahami.

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

Angka-angka penduduk bumi berikut ini adalah perkiraan belaka, tetapi menarik untuk dicatat yang diramu dari berbagai sumber.

Dari PRB (Population Reference Bureau) Amerika Serikat, sampai tahun 2016 manusia yang pernah hidup di muka bumi berjumlah 108, 2 miliar. Sebagian besar telah mati ditelan tanah. Tahun 1900, jumlah manusia seluruhnya adalah 1,5 miliar; tahun 2017 ada pada angka 7,6 miliar; tahun 2021 angka itu naik menjadi 7.854.965.732. Menurut perkiraan PBB, tahun 2050 akan melonjak menjadi 9,8 miliar.

Bagaimana dengan umat Muslim tahun 2050? Akan ada pergeseran angka yang perlu disimak. Jika pada 2021 ini penduduk Muslim terbesar masih berada di Indonesia. Tahun 2050 akan disalib oleh Muslim India dan Pakistan, maka jumlah Muslim India menjadi yang terbesar (310,66 juta), Pakistan (273,11 juta), Indonesia (256,82 juta), Bangladesh (182,36 juta).

Dengan perubahan demografis ini, dalam tempo 29 tahun yang akan datang, akuan bahwa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa Muslim terbesar di muka bumi akan menjadi kenangan belaka.

Dari 9,8 miliar penduduk bumi pada 2050, umat Muslim 2,76 miliar jiwa, sedangkan umat Kristen akan berada pada angka 2,92 miliar, menurut Global Religious Futures. Karena pertambahan penduduk Muslim cenderung semakin meninggi, maka dalam perjalanan waktu, selisih umat Kristen dan umat Muslim di dunia menjadi menyempit. Berapa pula penganut Hindu dan Buddha? Menurut Pew Research Center, pada 2050, Hindu pada angka 1,032 miliar, Buddha 500 juta.

Tanpa kecuali, semua agama itu juga terpecah ke dalam sekte-sekte atau mazhab. Bahkan dalam satu mazhab, terdapat pula aliran-aliran pemikiran yang berbeda, sehingga menjadi sulit mempertahankan kesatuan.

Tanpa kecuali, semua agama itu juga terpecah ke dalam sekte-sekte atau mazhab. Bahkan dalam satu mazhab, terdapat pula aliran-aliran pemikiran yang berbeda, sehingga menjadi sulit mempertahankan kesatuan. Fenomena ini sudah berlangsung selama berabad-abad.

Di kalangan umat Muslim pun, bukan saja berbeda dalam mazhab, peperangan sesama mereka masih saja berlangsung sampai hari ini dengan penyebab yang serba-artifisial. Gempuran pasukan Arab Saudi atas Yaman adalah yang paling brutal dilakukan pada era kita ini.

Kita tidak tahu, untuk peperangan sesama Muslim pada masa yang akan datang. Jika berpedoman kepada sejarah, perang itu masih akan terus berlaku.

Kembali kepada beban bumi. Menurut perkiraan PBB, penduduk bumi pada tahun 2100 akan mencapai angka 11,2 miliar. Sekarang rata-rata pertambahan penduduk bumi sekitar 83 juta per tahun. Kecenderungan ini akan terus berlanjut, sekalipun sejak 1960-an angka kelahiran mengalami penurunan.

PBB juga memperkirakan pada 2050 itu, jumlah penduduk India akan menggeser Cina dan Nigeria akan menggeser Amerika Serikat yang sekarang berada pada posisi ketiga setelah Cina dan India.

Melihat kecenderungan pertambahan jumlah penduduk ini, separuh dari penduduk bumi, di luar Cina, akan terpusat pada sembilan negara: India, Indonesia, Nigeria, Kongo, Pakistan, Etiopia, Tanzania, Amerika Serikat, dan Uganda. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia pasti akan dihadapkan kepada masalah kependudukan yang semakin rumit.

Pulau Jawa yang sekarang dihuni oleh sekitar dua pertiga penduduk Indonesia, pada tahun 2100 itu (79 tahun lagi) belum dapat dibayangkan betapa sesaknya, sementara lahan pertanian sekarang saja sudah berubah menjadi permukiman.

Abad yang lalu, seingat saya, Prof Sumitro Djojohadikusumo pernah mengatakan bahwa Pulau Jawa bisa berubah menjadi gurun pasir, bilamana strategi penggunaan lahan dibiarkan menjadi semakin liar.

Pertanyaan saya: apakah para politikus sekarang yang mulai sibuk dengan Pemilu 2024 mau membaca pertumbuhan penduduk Indonesia yang semakin membengkak itu?

Angka 79 tahun itu tidak terlalu lama. Pertanyaan saya: apakah para politikus sekarang yang mulai sibuk dengan Pemilu 2024 mau membaca pertumbuhan penduduk Indonesia yang semakin membengkak itu? Jika mentalitas rabun ayam tidak juga berubah di kalangan mereka, Indonesia yang akan datang sudah bisa diperkirakan dari sekarang akan berada pada tanda tanya besar.

Sekarang saja, kerusakan alam nusantara sudah sangat mencemaskan. Tentu para pengusaha yang juga rabun ayam turut bertanggung jawab atas kemungkinan nasib buruk negeri ini dalam tempo yang tidak terlalu lama lagi.

Oleh sebab itu, imbauan saya kepada generasi milenial yang menjadi pewaris Indonesia masa depan, pahami dengan baik dan jujur perjalanan bangsa dan negara ini untuk tidak mengulangi kecerobohan generasi yang nyaris punah ini.

Anda semua akan hidup dalam suasana yang lain sama sekali. Perkembangan teknologi informasi akan mengubah segala-galanya, sedangkan perubahan sosial akan pontang-panting karena tidak mampu mengikutinya.

Di atas itu semua, penguasa alam semesta ini bukanlah jenis manusia, melainkan Zat Gaib yang tak terjangkau oleh kekuatan persepsi intelektual kita yang sangat terbatas ini. Bagaimana ujungnya nasib bumi yang sudah sarat dengan beban ini juga nasib planet lain yang jumlahnya jutaan itu, tak seorang pun yang tahu.

Kehidupan di bumi adalah sebuah drama dahsyat yang tidak mudah dipahami. Namun, bahwa kiamat pasti akan datang sebagaimana Alquran dalam banyak ayat telah memberi tahu, tampaknya ilmu pengetahuan juga sudah menyimpulkan demikian.

Meluruskan Makna Syirik

Syirik merupakan salah satu bahasan penting dalam Islam. Pembahasan ini sudah banyak dilakukan oleh para ulama, khususnya ulama kalam (ahli teologi), baik ulama klasik maupun mutakhir. Secara sederhana, syirik adalah menyekutukan Allah dengan lainnya dalam lingkup akidah. Namun, belakangan ada berkembang pandangan yang memperluas makna syirik tidak hanya dalam lingkup akidah tetapi juga ke wilayah hukum dan sistem lain selain hukum Allah Swt. Menurut pandangan kelompok ini, berpegang dan menjalankan hukum selain hukum Allah disebut syirik, bahkan disebut ‘syirik akbar’; syahadatnya batal dan bahkan disebut kafir. Pandangan ini didasarkan pada ayat:“Dan Allah tidak menyekutukan dalam ‘hukum’-Nya pada seorangpun.” (Qs. Al-Kahf: 26).

Dari ayat tersebut mereka berkesimpulan bahwa setiap orang yang menyekutukan hukum Allah Swt., yakni menganut hukum yang tidak dibuat oleh Allah Swt., maka mereka termasuk golongan orang yang musyrik. Termasuk, orang-orang yang membuat peraturan perundang-undangan melalui lembaga kenegaraan seperti parlemen (DPR/MPR), para pembuat kebijakan yang tidak merujuk kepada Al-Quran sebagai representasi hukum Allah Swt., orang yang membuat dan mengikuti hukum positif, para pelaksana hukum positif seperti hakim, pengacara, jaksa dan polisi. Menurut mereka, para pembuat dan pelaksana hukum positif telah merebut hak membuat peraturan yang hanya dimiliki oleh Allah Swt. Mereka menyekutukan Allah dalam pembuatan hukum atau peraturan.

Hal ini bisa dilihat dari firman Allah SWT dalam Qs. Al-Anʽam ayat 82:

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman.”

Ketika ayat ini disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada para sahabat, mereka heran. Mereka merasa bahwa mereka tidak bisa terlepas dari perilaku zalim. Mendengar hal itu, kemudian Rasul mengatakan, “Tidak itu, yang dimaksud zalim dalam ayat ini adalah sebagaimana pesan Luqman kepada putranya, Inna al-Syirka la dzulmun ʽadzīm (Qs. Luqman: 13), yaitu syirik.”

Hubungan kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa syirik bukanlah berpaling dari Allah menuju tuhan lain selain Allah, melainkan menduakan Allah atau menganggap dzat lain sama dan memiliki persamaan dengan Allah.

Abdurrahman al-Saʽdī (w. 1376 H) memberikan definisi yang lebih gamblang. Menurutnya, yang dimaksud syirik adalah menyembah makhluk sebagaimana menyembah Allah atau mengagungkan makhluk sebagaimana mengagungkan Allah, atau menyandarkan hal-hal yang menjadi kekhususan Tuhan (rubūbiyyah dan ulūhiyyah) kepada makhluk,  seperti berdoa dan memohon kepada makhluk sebagaimana berdoa dan memohon kepada Allah, takut kepada makhluk seperti takut kepada Allah, atau melakukan hal-hal lain dalam hal ibadah kepada makhluk.

Menurut Ibn Mandzūr, syirik adalah menyekutukan Allah dalam hal ketuhanan, yakni menuhankan dzat lain selain Allah, padahal tidak ada yang mampu menyamai Allah Swt.  Sedangkan menurut Ibn ʽAsyur (w. 1393 H), syirik adalah menyekutukan Allah dengan hal lain dalam perkara ketuhanan dan ibadah.  Ibn Mandzur menambahkan dengan mengutip Abu al-ʽAbbas, bahwa syirik bukan berarti hanya menyembah selain Allah dan meninggalkan Allah. Yang dimaksud syirik adalah menyembah Allah dan sesembahan lain selain Allah.  Atau dalam bahasa lain, menduakan Allah.

Dalam al-Quran, kata syirik dan derivasinya ditemukan sebanyak 168 kata dengan 63 kata yang berbeda. Namun tidak semua derivasi kata syirik tersebut menjelaskan syirik sebagaimana yang dimaksud dalam definisi di atas. Al-Raghib al-Asfahānī hanya menyebutkan 11 ayat yang berkaitan dengan syirik kepada Allah dan membaginya menjadi dua bagian: Pertama, ayat-ayat yang menjelaskan syirik besar (al-Syirk al-adhim), seperti Qs. Al-Nisā’: 48 dan 116, Qs. Al-Maidah: 72, Qs. Al-Mumtahanah: 12, dan Qs. Al-Anʽam: 148. Kedua, ayat-ayat yang menjelaskan syirik kecil: Qs. Al-A’raf: 190, Qs. Yūsuf: 106, Qs. Al-Kahf: 110, Qs. Al-Taubah: 5 dan 30, dan Qs. Al-Ḥāj: 17.

Dari ayat-ayat tentang syirik di atas terlihat bahwa syirik dalam al-Quran selalu berkaitan dengan empat hal. Pertama, kafir. Yakni tidak menyembah Allah Swt dan ber-Islam, melainkan beragama Yahudi, Nasrani dan agama-agama lain di luar Islam, sebagaimana tercantum dalam Qs. Al-Hajj: 17, al-Taubah: 5, al-Anʽam: 148, dan al-Maidah: 172. Walaupun demikian kategori pertama ini tidak bisa serta merta diperangi, kecuali kafir yang memerangi muslim terlebih dahulu.

Kedua, menyekutukan Allah Swt. atau menyembah, meminta dan menghamba kepada hal lain selain Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Qs. Al-Nisa’: 48 dan 116, dan Qs. Al-Mumtahanah: 12.

Ketiga, riya’(pamer) dalam beribadah. Yakni beribadah tidak semata-mata diniatkan karena Allah Swt. melainkan karena orang lain. Syirik ini disebut oleh Rasul sebagai syirik kecil, yakni syirik yang bisa terjadi ke semua muslim. Sebagaimana disebutkan dalam Qs. Al-Kahf: 110.

Keempat, terlena dengan nikmat yang diberikan oleh Allah Swt dan lupa bersyukur kepada Allah Swt. Sebagaimana kisah Nabi Adam dan Hawa yang memiliki putra namun lupa bersyukur, sebagaimana dijelaskan dalam Qs. Al-A’raf: 190. Juga lupa kepada Allah saat bahagia, dan baru ingat kepada Allah saat sengsara, sebagaimana disebutkan dalam Qs. Yūsuf: 106.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa syirik selalu berkaitan dengan tiga hal, yaitu syirik ilahiyah,seperti menyekutukan Allah Swt.; syirik rububiyah,seperti menganggap atau berkeyakinan bahwa ada hal lain yang bisa mengatur segala hal di alam semesta selain Allah Swt.; dan yang terakhir adalah syirik asghar,seperti meniatkan amalan ibadah yang dilakukan bukan untuk Allah Swt.

Kata “hukum” dalam Qs. Al-Kahf: 26 yang dijadikan landasan ‘syirik dalam hukum dan pemerintahan’sebetulnya tidak tepat. Kata “hukum” di situ berarti ketentuan Allah terhadap ashabul kahfi, jumlah mereka, berapa lama mereka tertidur, dan bagaimana mereka kembali terbangun. Allah tidak membagi kekuasaan-Nya pada orang lain , mengatur semua kisah ajaib yang terjadi pada ashabul kahfi. Bukan “hukum” dalam artian hukum atau sistem yang digunakan dalam sebuah negara.

Hal ini diperkuat dengan pendapat para mufassir yang menyebutkan bahwa kata “hukum” dalam ayat tersebut berkaitan dengan masa atau waktu tidur ashabul kahfi.Al-Baghawi (w. 516 H.) misalnya mengatakan bahwa maksud “hukum” dalam Qs. Al-Kahf: 26 adalah pengetahuan tentang perkara gaib seperti detail cerita ashabul kahfi yang ajaib. Hukum dalam konteks ini adalah ilmul gaib, yang maksudnya bahwa Allah Swt. tidak bersekutu dengan seorangpun dalam mengetahui perkara gaib.”

Menurut Imam Nawawi al-Bantani dalam Marāḥ Labīdz,ayat tersebut menunjukkan bahwa kita tidak boleh bertanya pada seorangpun tentang apa yang sudah diberitahukan Allah Swt. terkait jumlah ashabul kahfi serta lamanya mereka tertidur dalam gua. Kita memang diperbolehkan untuk mendiskusikan kisah ashabul kahfidi dalam gua, tapi harus dibatasi pada keputusan Allah Swt. Kita tidak diperbolehkan untuk menyekutukannya terkait pengetahuan atas peristiwa ini.

Jika memang benar bahwa Allah Swt., menolak hukum yang dibuat oleh manusia, maka Allah Swt. tidak mungkin menyuruh manusia untuk bermusyawarah yang tujuannya adalah membuat keputusan atau produk hukum sebagaimana ditunjukkan dalam Qs. Al-Syuara ayat 38.

Wallahu a’lam bi al-Shawab.

Ust. M. Alvin Nur Choironi,redaktur Islamidotco, mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, alumni Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences.

 

e-Buletin Jumat edisi ke 47 tanggal 24 Desember 2021 M. / 20 Jumadil Awal 1443 H. dapat diunduh disini

Pencabulan Itu Sebuah Gunung Es

Ibarat gunung es, besar kemungkinan pencabulan ini berlangsung lama di berbagai daerah

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

Peristiwa mahabiadab itu terjadi beruntun. Titik-titik hitamnya tersebar di beberapa kota: Bandung, Tasikmalaya, Cilacap, dan teranyar di Depok.

Ada pula perbuatan oknum polisi yang merenggut perawan seorang gadis dengan janji membantu sang ayah yang sedang terjerat hukum. Semua kejadian ini, panorama kelam dan busuk yang mengotori bumi Pancasila ini.

Ibarat gunung es, besar kemungkinan kebiadaban ini berlangsung lama di berbagai daerah, tetapi belum ketahuan saja. Ada pula pencabulan terjadi sporadis dalam bentuk lain, yang masih hangat, di Padang dan Tamparungo, Kecamatan Sumpur Kudus, Sumatra Barat.

Di Kota Padang, pencabulan dilakukan pada dua bocah perempuan usia lima dan tujuh tahun. Bukan oleh orang lain, melainkan oleh kakek, kakak, bahkan tetangga ikut dalam pesta kemesuman ini. Setan hitam seperti apa yang telah membunuh rasa kasihan manusia gelap mata ini?

Di Tamparungo, kasusnya tak kurang tragisnya. Seorang ayah tiri memperkosa anak tirinya dalam usia kelas satu SD dengan ancaman dibunuh jika ibunya diberi tahu.

Setan hitam seperti apa yang telah membunuh rasa kasihan manusia gelap mata ini?

Ayah tiri ini selalu siap dengan pisau agar si anak tak berkutik dan berlangsung sejak 2020. Bahkan, menurut pihak kepolisian Sijunjung, ayah tiri jahanam ini pernah memelintir tangan kanan gadis malang ini hingga menjerit kesakitan.

Pelaku baru ditangkap pada Selasa, 7 Desember 2021, di rumahnya. Sebagai seorang yang juga berasal dari kecamatan itu, saya sungguh marah dan memprotes kejadian yang menimpa perempuan ingusan bernasib malang ini.

Apa artinya ini? Pengawasan aparat, orang tua, dan masyarakat terhadap perbuatan mesum itu terasa lemah dan kurang peduli.

Di Bandung, pencabulan dilakukan si hidung belang bertopeng kiai atas 12 santriwati, sebagian sudah hamil. Di Tasikmalaya, dikerjakan si hidung belang lain dalam topeng guru pesantren terhadap sembilan santriwati.

Saya kutip pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum, tentang kebiadaban yang mencoreng di wilayahnya pada 10 Desember  2021, “Kami menghendaki pelaku dapat ditindak tegas oleh para aparat penegak hukum agar dijerat hukuman yang berlaku. Kepada petugas kepolisian, jangan ragu dan terus usut tuntas. Kami komunitas pondok pesantren akan ikut mengawal dan mendukung para penegak hukum. Saya merasa prihatin sebagai komunitas pondok pesantren [atas] kejadian semacam ini.”

Di Cilacap, pelakunya seorang guru agama terhadap 15 siswi SD, yang tak lain anak asuhannya sendiri. Iming-imingnya, diberi nilai agama yang bagus. Dalam ungkapan Melayu kuno, ini namanya ‘pagar makan tanaman’.

Jika di atas saya sebut setan hitam, di Cilacap tampaknya yang bermain setan merah melalui guru agama. Jika agama dijadikan mainan semacam ini, lama-lama agama bisa jadi musuh manusia.

Jika di atas saya sebut setan hitam, di Cilacap tampaknya yang bermain setan merah melalui guru agama. Jika agama dijadikan mainan semacam ini, lama-lama agama bisa jadi musuh manusia.

Terbaru, di Depok (Tangerang), guru ngaji (55) mencabuli 10 muridnya yang berusia antara 10-15 tahun. Modusnya, menurut keterangan polisi, tersangka membujuk atau mengancam korbannya agar mau melayani nafsunya. Lalu para korban diberi Rp 10 ribu.

Korban diancam agar perbuatan bejatnya tak dilaporkan kepada orang tuanya. Lalu, bagaimana hukumannya? Menurut keterangan polisi, hukumannya paling sedikit lima tahun, paling tinggi 15 tahun dengan denda paling banyak Rp 15 miliar.

Pesan saya, jangan hanya diserahkan kepada tanggung jawab polisi, tetapi yayasan, masyarakat, dan orang tua santriwati harus disadarkan tentang kelakuan si hidung belang ini yang berkeliaran di pesantren, sekolah, dan tempat mengaji.

Bagi saya, kejadian ini sudah pada tingkat SOS (save our soul/selamatkan jiwa kami). Dengan peristiwa itu, pesantren atau majelis taklim menjadi tidak aman lagi oleh ulah guru dan kiai gadungan, yang bibirnya komat-kamit melafazkan tasbih.

Manusia tipe ini harus ditebas pada kuncupnya. Tindakannya tipuan atas nama Tuhan. Alangkah kejinya, alangkah nistanya. Dunia ini ternyata sarat kejadian yang menegakkan bulu roma kita. Di negara lain, tragedi yang mirip juga tidak kurang.

Manusia tipe ini harus ditebas pada kuncupnya. Tindakannya tipuan atas nama Tuhan. Alangkah kejinya, alangkah nistanya.

Pertanyaannya: jika binatang saja tidak akan memerkosa anak-anaknya yang kecil, mengapa manusia yang dianugerahi akal dan budi luhur bisa mengalahkan binatang dalam pesta kemesuman ini?

Ratusan tahun lalu, Alquran mengingatkan manusia atas kemungkinan ini, “Dan sungguh Kami telah sediakan untuk neraka jahanam berapa banyak dari jenis jin dan manusia. Mereka punya hati, [tetapi] tidak dipergunakannya untuk mengerti, mereka punya mata, [tetapi] tidak dipergunakannya untuk melihat, mereka punya telinga, [tetapi] tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka seperti binatang, bahkan lebih sesat lagi. Merekalah orang yang lalai (surah al-A’râf ayat 179).”

Seramnya lagi, di Indonesia, perbuatan kumuh itu dilakukan guru agama, guru ngaji, dan kiai. Namun, masyarakat jangan sampai tiarap, enyahkan manusia tipe ini dari muka bumi. Mereka ini mengotori alam kemanusiaan atas nama Tuhan.

Hukuman dunia untuk mereka harus diperberat. Sebagai puncak gunung es, kita mungkin masih akan dikejutkan lagi oleh kejadian yang mirip dalam tempo dekat ini. Sungguh kelam. Sungguh tragis penderitaan gadis cilik!