Kewajiban bekerja, mencari kehidupan yang halal, atau mencari nafkah diperintahkan bagi setiap manusia, tanpa membedakan laki-laki ataupun perempuan. Maka, larangan bekerja dan mencari nafkah bagi perempuan tidak hanya mengingkari perintah Allah dan Rasullullah, Nabi Muhammad saw. Tetapi juga mengingkari kenyataan sejarah tentang keterlibatan perempuan di wilayah publik.
Tujuan utama penciptaan manusia di dunia, selain untuk beribadah hanya kepada Allah swt, memang untuk memakmurkan bumi (QS. Hud[11]:61). Perintah bekerja atau mencari nafkah terdapat dalam sejumlah ayat, misalnya QS. Al-Jum’ah[62]:9-10 memerintahkan menyegerakan shalat lalu mencari penghidupan di muka bumi. Laki-laki ataupun perempuan yang bekerja untuk mencari nafkah dicatat perbuatannya sebagai amal baik dan mendapatkan balasan yang setara (QS. Ali Imran[3]:195).
Apresiasi juga diberikan oleh Allah swt tanpa memandang laki-laki atau perempuan yang melakukannya, bahwa orang-orang yang berkeinginan berjumpa dengan Allah di surga kelak adalah mereka yang bekerja dengan baik dan tidak menyekutukan Allah (QS. al-Kahfi:110). Nabi Muhammad saw juga bersabda ‘Sungguh, demi Dzat yang menguasai diriku, seseorang yang menggunakan seutas tali, mencari kayu bakar dan mengikatkan ke punggungnya, (lalu menjualnya ke pasar) adalah lebih baik baginya daripada harus meminta-minta kepada orang lain, yang kadang diberi dan terkadang ditolak’ (Bukhari, Hadist 1470). Ini menunjukkan setiap muslim(ah) diperintahkan untuk bekerja mencari nafkah dengan tangan sendiri dan akan mendapatkan imbalan dari Allah swt di akhirat kelak.
Kerja-kerja yang dilakukan perempuan mendapatkan apresiasi dan sejarah mereka dicatat dalam al-Qur’an maupun hadist. Misalnya perempuan yang menjadi pemimpin politik dan negeri Saba, Ratu Bilqis (QS. al-Naml:20-24); perempuan pekerja dengan cara memintal (QS. ath-Thalaq:6), peternak perempuan yang bertanggung jawab, yakni dua putri Nabi Syuaib (QS. al-Qashah:23-28); dibolehkan menjadi ibu susuan dan memperoleh bayaran sebagaimana Halimah as-Sa’diyah dan Ibu Nabi Musa (QS. al-Baqarah[2]:233).
Siti Rahma binti Afrayim bin Yusuf, bin Yaqub as, isteri Nabi Ayyub as, yang bekerja di took roti sepanjang hari untuk menafkahi keluarganya. Di zaman Nabi Muhammad saw, ada banyak perempuan yang bekerja dan berkarir secara sukses, misalnya isteri Nabi saw, Siti Khadijah yang terkenal kaya raya. Selain itu, ada banyak perempuan yang bekerja di sektor kesehatan.
Misalnya, Rufaidah, sebagai perawat pertama dalam Islam. Adapula Laila Al-Gifariah (wafat 40 H), yang setia mengikuti perang Nabi saw dan mengobati para prajurit yang sakit atau terluka. Serta Rabayi` binti Mi`waz bin Harits Al-Anshariah (wafat 45 H) yang juga terlibat dalam perang dengan tugas mensuplai minuman bagi para pejuang, merawat dan mengobati yang terluka serta mentransportasikan pahlawan yang gugur dan yang luka-luka ke Madinah.
Itu semua adalah bukti sejarah keterlibatan perempuan di wilayah publik. Dan sejatinya tidak sebanding dengan penolakan perempuan bekerja di wilayah publik dengan menggunakan penolakan atau bahkan larangan perempuan bekerja disandarkan pada ayat QS. An-Nisaa[4]:34 tentang kepemimpinan laki-laki karena mereka sudah menafkahkan hartanya untuk perempuan dan QS. Al-Baqarah[2]:233 tentang anjuran menyusui anak oleh para ibu dan perintah menafkahi dan memenuhi kebutuhan pangan, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan lainnya oleh ayah selama ibu menjalankan proses menyusui anak tersebut.
Ada ragam pendapat ulama terkait tafsir kedua ayat ini. Pendapat pertama, melarang perempuan bekerja, dan hanya mengharuskan nafkah dicari dan dipenuhi laki-laki. Pendapat kedua, pendapat yang mengatakan, ayat ini bersifat kontekstual dan bukan ayat universal. Perintah bekerja dan mencari nafkah bagi laki-laki dan perempuan secara imbang dan balasan yang setara jauh lebih banyak disebutkan al-Qur’an dan al-Hadist, daripada hanya kedua ayat yang dimaknai larangan.
Pendapat yang kedua ini lebih rasional, apalagi didukung bukti sejarah keterlibatan perempuan di wilayah publik. Itu sebabnya, QS. An-Nisaa[4]:34 dan QS. Al-Baqarah[2]:233 sejatinya dimaknai sebagai berikut. Pertama, kedua ayat tersebut sebagai rambu-rambu dalam rumah tangga atau batasan minimal, karena batasan maksimalnya adalah perempuan juga diberikan hak yang sama dengan laki-laki untuk berekspresi mengamalkan ilmunya dengan bekerja dan beraktivitas di luar rumah.
Kedua, kepemimpinan laki-laki atas perempuan tidak berlaku umum, tetapi berlaku khusus, hanya dalam lingkup rumah tangga. Pun keputusan siapa yang menjadi pemimpin harus diserahkan pada mereka berdua, bukan ditentukan oleh orang lain. Ketiga, bila kepemimpinan dimaknai pada siapa yang mencari nafkah, maka kepemimpinan tersebut bersifat cair. Artinya, siapa saja yang bekerja dan berkontribusi menghasilkan nafkah utama dalam keluarga, maka dia-lah pemimpin itu.
Keempat, pencari nafkah utama bukan bersifat permanen. Bisa satu masa penghasilan isteri lebih besar, suami lebih kecil. Atau sebaliknya. Maka, segala sesuatu harus didiskusikan bersama, diputuskan bersama untuk membelanjakan kebutuhan keluarga, termasuk membeli barang. Siapapun pencari nafkah utama tersebut, harus saling menghargai pendapat pasangannya.
Kelima, bila isteri sedang memerankan fungsi reproduksi dan isteri memilih tidak bekerja di publik karena peran reproduksi itu, maka suami juga harus memfungsikan dirinya untuk peran-peran sosial, seperti mencari nafkah, mengasuh anak, dan terlibat membantu pekerjaan rumah tangga. Sehingga tidak semua urusan anak dan rumah tangga dibebakan pada isteri.
Keenam, bila isteri memilih peran reproduksi sekaligus juga bekerja, maka suami harus benar-benar membagi pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan domestik, termasuk pengasuhan pendidikan anak bersama isteri. Selain itu, suami juga harus menjaga stabilitas emosional isteri, agar peran reproduksinya tidak terkendala, seperti ASI tetap lancar dan kesehatan isteri dan anak terjaga.
Pada akhirnya, penting diingat bahwa perintah bekerja dan mencari nafkah adalah perintah bagi laki-laki dan perempuan secara adil yang harus ditunaikan sebagai khalifah di muka bumi. Selain itu, pekerjaan rumah tangga tidak pernah selesai sampai kapanpun, berbeda dengan pekerjaan di ruang publik, yang jelas hasil outputnya, bila sudah dikerjakan. Maka, sejatinya pekerjaan domestik harus menjadi peran bersama antara laki-laki dan perempuan, saling bantu. Sebagaimana sunnah Nabi Muhammad saw, tentang kerja publik dan domestik yang dilakukan juga dilakukan oleh beliau. Semoga.
Penulis: Yulianti Muthmainnah
Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan ITB Ahmad Dahlan Jakarta I Anggota Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Aisyiyah I Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Jaringan Intelektual Berkemajuan
Artikel ini kerjasama MAARIF Institute dan Ibtimes
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!