Tag Archive for: toleransi

Toleransi dan Kearifan Lokal Tanah Air

Oleh Ust. Ahmad Imam Mujadid Rais

“Hai seluruh manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.al-Hujurat aya 13).

Keragamaan dan kekayaan khazanah bangsa Indonesia merupakan asset berharga yang harus dirawat oleh segenap anak bangsa. Keragaman yang ada di tengah bangsa, mulai dari suku, etnis, dan agama merupakan anugrah Allah Swt agar kita saling mengenal, saling menghormati dan berlomba dalam kebaikan. Keragaman yang ada bukan malah justru memecah belah. Andai Allah menginginkan, tentu umat manusia akan dijadikan satu umat saja. Tapi Allah Swt tidak menghendaki hal demikian upaya umat manusia berpikir dan mencari hikmah d baliknya.

Keragaman etnis dan suku bangsa ini sejatinya memperkaya khazanah bangsa dalam hal toleransi, tepa selira, dan hormat menghormati baik antar umat beragama ataupun antar suku dan etnis yang berbeda. Setidaknya ada dua modal utama bangsa Indonesia yang dapat menjaga dan merekatkan ikatan bangsa yang besar dan majemuk ini. Pertama adalah agama-agama yang mengajarkan kerukunan dan harmoni. Kedua adalah kesepakatan dasar bangsa yakni Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Materi ini akan lebih memberikan penekanan pada aspek modal kedua, terutama Bhinneka Tunggal Ika yang mewujud pada kearifan local (local wisdom) yang ada di tengah masyarakat. Khazanah kearifan local ini menjadi modal sosial yang secara substansi merupakan objektivasi nila-nilai universal. Alih-alih menggunakan konsep atau kosa kata agama masing-masing yang mungkin sulit diterima oleh kelompok agama yang berbeda, dengan adanya objectivasi khazanah local justru nilai-nilainya menjadi universal dan dapat diterima oleh banyak pihak. Sebagai contoh misalnya di Sumatera Utara, struktur kekerabatan di Suku Batak (Tarombo) merekatkan hubungan kekeluargaan dan persaudaraan walau berbeda agama antara satu dengan yang lain. Toleransi dan sikap saling menghormati bukan sekedar menjadi kewajiban, namun sudah menjadi norma dan tradisi yang lazim ditemukan dalam hubungan intra Suku Batak.

Demikian halnya bila kita menuju Indonesia Timur, mulai dari Sulawesi Utara, Maluku, hingga Tual. Di Sulawesi Utara, titik temu toleransi ada pada nilai-nilai kearifan lokal atau bahkan genius local yang hidup di tengah masyarakat. Di antaranya adalah penghormatan kepada orang tua, filosofi “Sitou Timou Tumou Tou” yang berarti “manusia hidup untuk menghidupi sesama”. Selain itu ada pula ungkapan “Torang Samua Basudara”. Kerukunan di Minahasa juga terkait dengan asal nama Minahasayang artinya ‘Mina Esa atau ‘yang dipersatukan’. Banyak nilai-nilai baik yang telah berkembang sebagai kearifan local di Minahasa. Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka hubungan antar etnis dan suku melalui temali perkawinan merupakan hal yang biasa dan mudah ditemukan. Saat Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado, banyak dari anggota pasukannya yang menikah dengan warga setempat.

Demikian pula di Tanah Maluku bagaimana kearifan lokal menjadi metode yang efektif untuk bangkit setelah konflik horizontal di awal tahun 2000-an. Memori kolektif orang maluku punya prinsip bahwa walaupun berbeda tapi semua merasa bersaudara (Katong Samua Basudara) atau orang-orang basudara betapapun berbeda Beta tetap Maluku dan tingginya rasa saling memiliki di antara mereka. Hal ini sebagaimana petuah-petuah tetua orang Maluku ale rasa beta rasa, yang artinya apa yang kamu rasa saya turut merasakannya. Lalu ada filosofi yang artinya senada dengan sebelumnya, yaitu potong di kuku rasa di daging. Ada pula sagu salempeng bagi dua yang bermakna sepotong sagu dibagi dua atau ain ni ain yaitu satu untuk semua, semua untuk satu. Kearifal local lainnya adalah pentingnya merawat persaudaraan sejati seperti janji-janji leluhur Maluku di Nunusaku Nusa ina Pulau seram yaitu Nunu pari hatu, hatu pari Nunu yang artinya bersatulah seperti pohon beringin melingkari batu karang dan batu karang mendekap akar beringin.

Prinsip atau petuah adat yang memiliki substansi yang sama juga akan ditemukan di Tanah Kei atau Tual. Bahkan, menurut para tokoh agama dan adat di Tanah Kei, jauh sebelum Pancasila dilahirkan, filosofi Kei telah mewarnai denyut nadi kehidupan sehari-hari rakyat Kei. Hal ini semakin meneguhkan bahwa kearifan dan kebijaksanaan lokal di Tanah Air sangat kaya dan sudah seharusnya terus menerus dihidupkan dan diperkaya untuk konteks kebangsaan secara lebih luas. Kekayaan khazanah lokal inilah yang terus menerus menjaga Indonesia untuk terus tumbuh-berkembang dan maju secara toleran, demokratis dan penuh kemajemukan.

Tanah Kei, yang dikenal sebagai, Tanah Evav atau Nuhu Evav merupakan daerah yang mencakup Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual—setelah keduanya dimekarkan pada tahun 2007. Daerah ini merupakan daerah yang cepat pulih dan bangkit saat terjadi konflik sosial di Maluku dan sekitarnya pada tahun 2000an. Faktor kearifan lokal inilah yang turut menjaga harmoni di Tanah Kei.

Dalam Musyawarah Besar Pemuka Agama Untuk Kerukunan Bangsa 2018, beberapa kesepakatan penting dilahirkan oleh para pemuka agama. Salah satunya adalah terkait etika kerukunan antara dan intra umat beragama. Dalam etika antar umat beragama dijelaskan bahwa masing-masing pemeluk umat beragama diminta untuk tidak mencampuri urusan rumah tangga masing-masing. Persoalan doktrin, konflik internal di agama lain tidak perlu dicampuri oleh penganut agama lain. Kerapkali, hal inilah yang menjadi persoalan dalam hubungan antar agama. Terlebih, dengan penggunaan media sosial yang kian luas, ujaran kebencian atau ceramah yang sudah mengalami plintiran turut memperburuk situasi. Merujuk kepada filosofi di Tanah Kei, Umat Rir Rahan Raan (ada larangan adat untuk mencampuri urusan dalam rumah orang).

Selain filosofi di atas yang menasehati untuk tidak mencampuri urusan dalam rumah orang, beberapa filosofi yang dapat ditemukan di Tual antara lain Roan Kain Yaau Ning, Vuan It Bisa Did yang bermakna daun dan batang saya punya, tapi buahnya kita semua punya; Manut Ain Mehe Tilur, Fuut Ain Mehe Ngifun yang artinya telur dari satu ayam dan telur dari satu ikan, yang artinya Kita Semua Bersaudara, punya satu asal-usul yang sama; It Fau Fo Banglu Vatu, ne It Foing fo Kut Ain yang secara harfiah artinya “Kita dibentuk menjadi seperti sebutir peluru dan diikat erat menjadi seperti satu berkas sumbu api dari seludang kelapa”. Makna secara luas adalah artinya kesatuan yang erat yang tak bisa terpisahkan dan memiliki semangat kebersamaan dan kekuatan yang bertahan terus. Bahkan melihat sistem hukum dan masyarakat di Kei, maka kita akan mengenal apa yang disebut dengan hukum adat Lar Vul Nga Bal, yang mrupakan kearifan lokal yang luar biasa. Lar Vul Nga Bal merupakan dasar/panduan/pegangan, nilai dan norma hukum, bagi perilaku, perbuatan dan tata hidup masyarakat Kei, baik dari segi susila/etik maupun moral, serta pidana maupun perdata, secara adat.

Tanah air Indonesia tidak saja memiliki keindahan yang memesona. Ketinggian filosofi dan nilai hidup yang dianut masyarakatnya juga demikian memukau. Nilai-nilai inilah yang terus dirawat oleh para tokoh dan masyarakat di tanah air sehingga kerukunan dan harmoni dapat terus dijaga. Kearifan local yang tercantum dalam materi khutbah kali ini hanya sebagian kecil saja dari kekayaan kearifan local di tanah air. Benang merah kearifan local ini senada dengan nasihat suci dari al-Quran dan Hadist yang memerintahkan untuk menjaga persaudaraan dan silaturahmi antar sesama, saling menghormati walau berbeda agama dan keyakinan, serta menjunjung solidaritas yang tinggi antar sesama manusia. Wallahu a’lam bi ash-showab.[]

Ust. Ahmad Imam Mujadid Rais,pengurus Lembaga Hubungan dan Kerja Sama Internasional PP. Muhammadiyah.

Praktik Toleransi ala Rasulullah

Benni Setiawan

Dosen Universitas Negeri Yogyakarta, Anggota Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. (Q.S. al-Ahzab, 33: 21).

Ayat di atas dengan jelas menggambarkan sosok pribadi Rasulullah. Rasul Muhammad saw, merupakan pribadi hebat. Kehebatan beliau tidak hanya dalam soal wacana, namun beliau senantisa mempraktikan apa yang disampaikan. Rasul senantisa sama antara kata dan laku. Rasulullah adalah praktik baik dalam kesuaian antara kata dan laku.

Sesuainya antara kata dan laku Rasul pun tertuang dalam banyak kisah. Salah satu kisah masyhur yang dapat menjadi teladan dalam sikap dan tindakan adalah saat Rasulullah saw setiap hari menyuapi perempuan tua renta di pojok pasar Madinah.

Pelayanan Terbaik

Alkisah, seorang tua selalu sendiri di pojok Pasar Madinah. Datanglah seorang laki-laki yang senantiasa sabar menyiapi sang nenk. Laki-laki itu dengan penuh kelembutan memberi makan dari gandung/roti terbaik yang ia bawa. Tidak hanya itu, ia pun mengunyah roti tersebut, sehingga saat nenek menelan tidak mendapat kesulitan.

Sang nenek pun mengucap terima kasih kepada laki-laki itu, sembari berujar, “hai anak muda, janganlah engkau berteman dengan Muhammad. Dia seorang pembohong dan pendusta”. Hampir setiap hari pesan itu terlontar dari bibir tua sang nenek. Laki-laki itu pun masih tetap dengan sabar dan selalu datang untuk memberikan pelayanan terbaik kepada seorang Yahudi itu.

Tibalah sebuah massa, disaat ia tidak dapat memberikan pelayanan itu, karena Sang Khalik telah memanggilnya. Laki-laki itu adalah Muhammad Sang Rasul. Sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq, pascameninggalnya Nabi Muhammad saw kemudian bertanya kepada putrinya ‘Aisyah. Sang ayah berujar, “Hai putriku, tolong sampaikan kepadaku sunnah Rasul yang belum pernah aku lakukan”. Sang anak pun menjawab, “Semua sunnah baginda Rasulullah saw telah engkau lakukan ya Ayah. Namun hanya satu yang belum pernah engkau lakukan”. Sang ayah pun terperanjat kaget. ‘Apa itu wahai anakku”, tanyanya. Aisyah pun menjawab, “Ayah belum pernah menyuapi perempuan tua buta di pojok pasar Madinah”.

Sebagai sahabat terpilih, Abu Bakar kemudian bergegas menuju pojok pasar Madinah. Kemudian dia menyuapi sang nenek. Sang nenek pun berteriak keras. “Hai siapa kamu? Kamu bukan pemuda yang setiap hari menyuapiku”, serunya. “Ke mana pemuda baik yang telah menyuapiku dengan kelembutan itu”, tanya sang nenek.

Abu Bakar pun menjawab, “Wahai nenek, mengapa engkau tahu kalau aku bukan orang yang menyuapimu setiap hari?”. “Caramu menyuapiku beda, pemuda yang biasa menyuapiku sabar dan roti yang aku makan langsung masuk ke dalam mulut dan perutku. Aku tidak mengalami kesulitan saat makan”, jawabnya.

“Ketahuilah nenek, bahwa orang yang setiap hari menyuapimu telah meninggal dunia. Dia adalah Muhammad saw”, sambung Abu Bakar. Seketika tangis pecah dari mata buta sang nenek. Dia pun berujar, “orang yang selalu ini aku cari maki, dengan perkataan yang kotor, ternyata adalah orang yang setiap hari berbuat baik kepadaku”. Setelah itu kemudian sang nenek bersyadahat di depan Abu Bakar ash-Shiddiq.

Rahmat bagi Semua

Cerita di atas menunjukkan betapa akhlak Rasulullah sangat mulia. Rasul Sang Uswatun Hasanah memberikan teladan luar biasa kepada ummatnya. Yaitu bagaimana berhubungan dengan orang lain, termasuk nonmuslim.

Rasul tanpa ragu memberikan makanan terbaik bagi seorang Yahudi. Memberikan makan kepada seorang Yahudi yang setiap hari mencaci-makinya dilakukan dengan penuh kasih sayang. Rasul tidak marah saat dia diserang secara pribadi. Bahkan Rasul dengan kesabarannya membantu mengunyah roti, sehingga sang nenek tidak kesulitan dalam menelan.

Rasul dari kisah di atas telah mempraktikan hidup damai, bersahabat, dan saling membantu/tolong menolong dalam kebaikan kepada siapa saja. Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. al-Maidah (5: 2)

“Dan saling tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan saling tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya”.

Tolong menolong yang dipraktikan Rasulullah telah melampaui tradisi keagamaan yang sempit. Rasul melakukan tolong menolong kepada siapa saja tanpa memandang agama. Bahkan dengan cara itu, Rasul mendatangkan hidayah kepada orang lain. Terbukti, sang nenek kemudian bersyadahat dihadapan Abu Bakar.

Perilaku baik yang dipraktikan oleh Rasul mendatangkan rahmat kepada siap saja. Rasul dengan keteguhan dan ketulusan jiwa menggajarkan arti toleransi yang sesungguhnya. Toleransi yang tidak hanya manis dibibir namun kering dalam praktik keseharian.

Toleransi hari ini seringkali hanya mudah diucapkan, namun, dalam keseharian sulit diwujudkan. Toleransi semu itu hanya akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Perlu dibangun komitmen toleransi sejati. Yaitu dengan membantu tanpa harus melihat atau memandang agama yang dianut.

Memberikan pertolongan kepada sesama hidup menjadi perilaku agung dalam kehidupan. Praktik hidup yang baik yang telah dilakukan oleh Rasulullah selayaknya memberikan gambaran dan teladan kepada kita umatnya. Hal ini sebagaimana janji kita dalam syahadat, bahwa Rasulullah Muhammad saw adalah Rasul terpilih. Kita telah bersaksi Muhammad saw adalah manusia mulia dengan kemudiaan Allah disisinya. Setiap tindakannya selalu menjadi panduan dalam bertindak di dunia ini.

Barangsiapa mengikuti Rasul, maka Allah akan menurunkan rahmat dan mengampuni dosa-dosa. Sebagaimana Firman Allah,

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran, 3: 31).

Sudah sangat jelas, bahwa Rasul telah memberikan teladan (praktik baik/best practices) dalam membangun hubungan baik dengan siapa saja, termasuk di dalamnya kepada pemeluk selain Islam. Rasul Muhammad yang selalu dipandu oleh wahyu dalam hidupnya saja melakukan hubungan baik dengan siapa saja. Termasuk kepada seorang Yahudi yang selalu menghardiknya. Beliau tidak marah sedikit pun, bahkan Rasulullah selalu datang dan memberikan hal terbaik bagi seorang Yahudi itu.

Tak heran jika Anas RA berkata, “Sungguh, Rasulullah saw benar-benar manusia dengan akhlak paling mulia. (HR Bukhari-Muslim).

Praktik hidup Rasulullah selayaknya menjadi panduan hidup bagi kita yang mengaku umatnya. Semoga dengan itu, kita benar menjadi bagian dari ummat Rasulullah yang mendapatkan syafaat (pertolongan) baik di dunia dan di akhirat kelak.

Pada akhirnya, mari meneladani Rasulullah saw dengan segala keterbatasan yang kita miliki. Melenadani beliau berarti mendekatkan diri kita pada kehidupan utama, sebuah tata hidup yang penuh pemaafaan, penghormatan, dan pengakuan terhadap hak-hak hidup. Walllahu a’lam.[]